Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi
Pertanyaan:
Siapakah yang disebut dengan wali?
Jawaban:
Ini adalah sebagian perkataan ulama tentang batasan (definisi) wali:
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata (Fathul Baari, 9: 187),
قال بن بطال اختلفوا في الولي فقال الجمهور ومنهم مالك والثوري والليث والشافعي وغيرهم الأولياء في النكاح هم العصبة وليس للخال ولا والد الأم ولا الإخوة من الأم ونحو هؤلاء ولاية وعن الحنفية هم من الأولياء واحتج الأبهري بأن الذي يرث الولاء هم العصبة دون ذوي الأرحام قال فذلك عقدة النكاح
“Ibnu Bathal berkata, ‘Para ulama berbeda pendapat mengenai wali (dalam pernikahan). Mayoritas (jumhur) ulama, termasuk Malik, Ats-Tsauri, Al-Laits, Asy-Syafi’i dan lainnya, berpendapat bahwa para wali dalam pernikahan adalah para ‘ashabah (kerabat laki-laki dari jalur ayah); sedangkan paman dari pihak ibu, ayah dari ibu, saudara laki-laki dari ibu, serta yang semisal dengan mereka, mereka tidak memiliki hak kewalian. Adapun menurut mazhab Hanafi, mereka (yang disebut terakhir) termasuk wali. Al-Abhari berdalil bahwa yang mewarisi hubungan perwalian adalah para ‘ashabah, bukan kerabat dari jalur rahim (dzawil arham). Maka, merekalah yang memegang ikatan pernikahan.”
Ibnu Hazm rahimahullah berkata di kitab Al-Muhalla (9: 451),
ولا يحل للمرأة نكاح – ثيبا كانت أو بكرا – إلا بإذن وليها الأب، أو الإخوة، أو الجد، أو الأعمام، أو بني الأعمام – وإن بعدوا – والأقرب فالأقرب أولى؛ وليس ولد المرأة وليا لها إلا إن كان ابن عمها، لا يكون في القوم أقرب إليها منه – ومعنى ذلك -: أن يأذن لها في الزواج، فإن أبى أولياؤها من الإذن لها: زوجها السلطان
“Dan tidak halal bagi seorang wanita untuk menikah, baik janda maupun gadis, kecuali dengan izin walinya, yaitu ayahnya, atau saudara laki-lakinya, atau kakeknya, atau para pamannya, atau anak-anak dari para paman (sepupu laki-laki) meskipun jauh hubungannya. Yang lebih dekat kekerabatannya lebih berhak (menjadi wali) daripada yang lebih jauh. Dan anak laki-laki dari seorang wanita bukanlah wali baginya, kecuali jika ia adalah anak dari pamannya (sepupu laki-laki) dan tidak ada seorang pun dalam keluarganya yang lebih dekat kekerabatannya dengannya selain dia. Makna dari hal ini adalah: (wali adalah) yang memberikan izin kepadanya untuk menikah. Jika para walinya enggan memberikan izin, maka penguasa (sultan) yang menikahkannya.”
Ash-Shan’ani rahimahullah berkata (Subulus Salama, hal. 988),
والولي هو الأقرب إلى المرأة
“Wali adalah yang paling dekat hubungan kekerabatannya dengan perempuan.”
Al-Khiraqi rahimahullah berkata dalam Mukhtashar Al-Mughni (6: 456),
واحق الناس بنكاح المرأة الحرة أبوها ثم أبوه وان علا ثم ابنها وابنه وإن سفل ثم اخوها لابيها وامها والاخ للاب مثله ثم اولادهم وان سفلوا ثم العمومة ثم اولادهم وان سفلوا ثم عمومة الاب ثم المولى المنعم ثم اقرب عصبته ثم السلطان
“Orang yang paling berhak menikahkan wanita merdeka adalah: ayahnya, kemudian kakeknya (dari jalur ayah) meskipun ke atas (lebih jauh), kemudian anak laki-lakinya, lalu cucunya meskipun ke bawah (lebih jauh), kemudian saudara laki-lakinya seayah seibu, lalu saudara laki-lakinya seayah saja, kemudian anak-anak mereka meskipun ke bawah, kemudian para paman (saudara laki-laki ayah), lalu anak-anak mereka meskipun ke bawah, kemudian paman-paman dari pihak ayah, kemudian maula (orang yang memerdekakannya), kemudian kerabat laki-laki terdekat dari jalur ayah, kemudian penguasa (sultan).” [1]
Al-Khiraqi rahimahullah juga berkata,
ووكيل كل واحد من هؤلاء يقوم مقامه وان كان حاضرا
“Dan wakil dari masing-masing orang yang disebutkan itu dapat mewakilinya, meskipun orang tersebut hadir.”
Ibnu Qudamah rahimahullah menjelaskan masing-masing wali secara mencukupi, maka hendaklah merujuk ke penjelasan tersebut bagi siapa saja yang menghendakinya.
Pertanyaan:
Apakah boleh bagi seorang perempuan untuk menikahkan perempuan yang lain?
Jawaban:
Seorang perempuan tidak boleh untuk menikahkan dirinya sendiri dan juga menikahkan orang lain. Hal ini berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan selainnya (dengan sanad hasan lighairihi), dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ، وَلَا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا
“Seorang perempuan tidak boleh menikahkan perempuan lain dan seorang perempuan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri.”
Pertanyaan:
Apa yang harus dilakukan terkait seorang perempuan yang dinikahkan oleh dua orang wali yang berbeda, yang satu menikahkan dengan seorang laki-laki, sedangkan wali yang lain menikahkannya dengan laki-laki yang lain?
Jawaban:
Dalam masalah ini, terdapat sebuah hadis dha’if dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, akan tetapi para ulama mengamalkan kandungannya. Hadis tersebut diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan lainnya dari jalur Al-Hasan, dari Samurah, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ زَوَّجَهَا وَلِيَّانِ فَهِيَ لِلأَوَّلِ مِنْهُمَا
“Perempuan mana saja yang dinikahkan oleh dua orang wali, maka pernikahannya yang sah adalah yang pertama dari keduanya.”
Al-Hasan adalah seorang mudallis yang tidak menegaskan bahwa dia mendengar langsung dari Samurah. Terdapat pembicaraan tentang riwayat Al-Hasan dari Samurah, meskipun terdapat beberapa pengecualian, namun hadis ini tidak termasuk dalam pengecualian tersebut.
Meskipun hadis ini dha’if, At-Tirmidzi rahimahullah berkata,
وَالعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ العِلْمِ لَا نَعْلَمُ بَيْنَهُمْ فِي ذَلِكَ اخْتِلَافًا: إِذَا زَوَّجَ أَحَدُ الوَلِيَّيْنِ قَبْلَ الآخَرِ فَنِكَاحُ الأَوَّلِ جَائِزٌ، وَنِكَاحُ الآخَرِ مَفْسُوخٌ، وَإِذَا زَوَّجَا جَمِيعًا فَنِكَاحُهُمَا جَمِيعًا مَفْسُوخٌ، وَهُوَ قَوْلُ الثَّوْرِيِّ، وَأَحْمَدَ، وَإِسْحَاقَ
“Dan inilah yang diamalkan oleh para ulama; kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara mereka dalam hal ini: jika salah satu dari dua wali menikahkan terlebih dahulu sebelum yang lainnya, maka pernikahan yang pertama sah, dan pernikahan yang kedua batal. Namun jika keduanya menikahkan secara bersamaan (maksudnya, dalam waktu yang sama), maka kedua pernikahan tersebut batal. Ini adalah pendapat Ats-Tsauri, Ahmad, dan Ishaq.” [2]
[Bersambung]
***
@Unayzah, KSA; 26 Zulkaidah 1446/ 24 Mei 2025
Penerjemah: M. Saifudin Hakim
Artikel Muslimah.or.id
Catatan kaki:
[1] Syekh Musthafa Al-‘Adawi menambahkan dalam catatan kaki, “Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam Al-Mughni (6: 463),
وإذا استولى أهل البغي في بلد جرى حكم سلطانهم وقاضيهم في ذلك مجرى الإمام وقاضيه لأنه أجرى مجراه في قبض الصدقات والجزية والخراج والأحكام فكذلك في هذا
“Apabila kelompok pemberontak menguasai suatu negeri, maka hukum yang dijalankan oleh penguasa dan qadhi (hakim) mereka berlaku seperti hukum yang dijalankan oleh imam (pemimpin sah) dan qadhinya. Karena mereka telah mengambil alih urusan seperti pemungutan zakat, jizyah, kharaj, dan penerapan hukum-hukum, maka demikian pula halnya dalam perkara ini.”
[2] Diterjemahkan dari Ahkaamun Nikah waz Zifaf, hal. 99-101.