Muslimah.or.id
Donasi muslimah.or.id
  • Akidah
  • Manhaj
  • Fikih
  • Akhlak dan Nasihat
  • Keluarga dan Wanita
  • Pendidikan Anak
  • Kisah
No Result
View All Result
  • Akidah
  • Manhaj
  • Fikih
  • Akhlak dan Nasihat
  • Keluarga dan Wanita
  • Pendidikan Anak
  • Kisah
No Result
View All Result
Muslimah.or.id
No Result
View All Result
Donasi muslimahorid Donasi muslimahorid

Fatwa Ulama: Wali adalah Syarat Sah Akad Nikah (Bag. 3)

M. Saifudin Hakim oleh M. Saifudin Hakim
17 Juni 2025
di Fatwa Ulama
0
Wali adalah Syarat Sah Akad Nikah
Share on FacebookShare on Twitter

Daftar Isi

Toggle
  • Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi
    • Pertanyaan:
    • Jawaban:

Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi

 

Pertanyaan:

Sebutkan argumentasi (alasan) yang lain yang dikemukakan oleh orang-orang yang mengatakan bolehnya menikah tanpa wali dan bagaimana cara membantah argumentasi tersebut?

Jawaban:

Di antara argumentasi yang dikemukakan oleh orang-orang yang mengatakan bolehnya menikah tanpa wali adalah sebagai berikut:

Pertama, firman Allah Ta’ala,

فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ

Donasi Muslimahorid

“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia menikah dengan suami yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 230)

Jurga firman Allah Ta’ala,

فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ

“Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut.” (QS. Al-Baqarah: 234)

Kita jawab argumentasi ini dengan mengatakan bahwa dalil-dalil ini tidak secara jelas (eksplisit) menunjukkan tidak adanya peran wali dalam pernikahan. Bahkan, dalil yang secara eksplisit menunjukkan sebaliknya, yaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ

“Tidak (sah) nikah tanpa wali.”

Juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ

“Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal.”

Juga firman Allah Ta’ala,

وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ

“Dan nikahkanlah orang-orang yang sedirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.” (QS. An-Nur: 32)

Kedua, mereka juga berargumen bahwa Raja An-Najasyi menikahkan Ummu Habibah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun dalil ini dibantah dengan firman Allah Ta’ala,

النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ

“Bahwa Nabi lebih utama bagi orang-orang beriman daripada diri mereka sendiri dan istri-istri beliau adalah ibu-ibu mereka.” (QS. Al-Ahzab: 6)

Juga bahwa tidak ada satu pun dari para wali Ummu Habibah dari kalangan kaum muslimin yang bisa hadir sebagai saksi. [1]

Ketiga, mereka juga berdalil dengan riwayat dari jalan Hammad bin Salamah, dari Sulaiman bin Al-Mughirah, dari Tsabit, dari Umar bin Abi Salamah, dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang kepadaku setelah Abu Salamah wafat, lalu beliau melamarku untuk dirinya sendiri. Aku berkata, “Wahai Rasulullah, tidak ada satu pun dari wali-waliku yang bisa hadir sebagai saksi.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada seorang pun dari mereka, baik yang hadir maupun yang tidak hadir, yang membenci hal itu.”

Ummu Salamah berkata, “Berdirilah, wahai Umar, nikahkanlah aku dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” Lalu Umar bin Abu Salamah pun menikahkannya dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sanad riwayat ini lemah dan cacat.

Sanggahan terhadap dalil di atas, bahwa Allah Ta‘ala berfirman,

النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ

“Bahwa Nabi lebih utama bagi orang-orang beriman daripada diri mereka sendiri dan istri-istri beliau adalah ibu-ibu mereka.” (QS. Al-Ahzab: 6)

Selain itu, tidak ada satu pun wali dari wali Ummu Salamah yang bisa hadir, sebagaimana yang dikatakan oleh Ummu Salamah sendiri. Demikian juga, Ummu Salamah tidaklah menikahkan dirinya sendiri, akan tetapi memerintahkan anaknya untuk menikahkan dirinya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Apabila ada yang mengatakan, “Ketika itu anaknya belum balig, sehingga bisa dianggap tidak ada (wali).” Kami katakan (sebagaimana firman Allah),

لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)

Apa yang mampu dilaksanakan oleh Ummu Salamah, maka beliau telah melaksanakannya. [2] Begitu pula dengan Zainab binti Jahsy, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau berkata perihal pernikahannya dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

زَوَّجَكُنَّ أَهَالِيكُنَّ، وَزَوَّجَنِي اللَّهُ تَعَالَى مِنْ فَوْقِ سَبْعِ سَمَوَاتٍ

“Kalian dinikahkan oleh keluarga (wali) kalian, sedangkan aku dinikahkan oleh Allah dari atas langit yang tujuh.” (HR. Bukhari no. 7420)

Keempat, mereka juga berdalil dengan riwayat yang dibawakan oleh Ibn Abi Syaibah dan lainnya [3], dari jalur Al-Qasim bin Muhammad dari Aisyah, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

أَنَّهَا زَوَّجَتْ حَفْصَةَ بِنْتَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْمُنْذِرَ بْنَ الزُّبَيْرِ , وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ غَائِبٌ بِالشَّامِ فَلَمَّا قَدِمَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ قَالَ: أَمِثْلِي يُصْنَعُ بِهِ هَذَا , وَيُفْتَاتُ عَلَيْهِ؟ فَكَلَّمَتْ عَائِشَةُ عَنِ الْمُنْذِرِ فَقَالَ الْمُنْذِرُ: إِنَّ ذَلِكَ بِيَدِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ , فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ: مَا كُنْتُ أَرُدُّ أَمْرًا قَضَيْتُهُ , فَقَرَّتْ حَفْصَةُ عِنْدَهُ , وَلَمْ يَكُنْ ذَلِكَ طَلَاقًا.

“Bahwa Aisyah menikahkan Hafshah binti Abdurrahman dengan Al-Mundzir bin Az-Zubair, sementara Abdurrahman (ayah Hafshah) sedang berada di Syam. Ketika Abdurrahman kembali, ia berkata, ‘Apakah pantas orang seperti aku diperlakukan seperti ini dan didahului tanpa seizinku?’ Maka Aisyah berbicara dengan Al-Mundzir, dan Al-Mundzir berkata, ‘Urusan ini ada di tangan Abdurrahman.’ Lalu Abdurrahman berkata, ‘Aku tidak akan menolak urusan yang telah engkau tetapkan.’ Maka Hafshah pun tetap menjadi istri Al-Mundzir, dan itu tidak dianggap sebagai talak.”

Riwayat tersebut dapat dibantah dari beberapa sisi:

Pertama: riwayat itu mauquf (berhenti pada sahabat), tidak bisa menandingi hadits marfu’ (langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) yang menyatakan keharusan adanya wali.

Kedua: bahwa Al-Mundzir mengembalikan urusan kepada wali yang sah, yaitu Abdurrahman, lalu Abdurrahman memutuskannya.

Ketiga: tidak ada keterangan yang jelas dalam riwayat tersebut bahwa ‘Aisyah yang langsung menikahkan (menjadi wali bagi Hafshah). Terdapat kemungkinan bahwa yang menjadi wali adalah orang lain untuk menyempurnakn pernikahan. Hal ini dikuatkan oleh riwayat yang dikeluarkan oleh Ath-Thahawi dalam Syarḥ Ma‘ani Al-Atsar (3: 12) dan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Muṣannaf (4: 135) dari jalur Al-Qāsim bin Muḥammad dari Aisyah, bahwa beliau berkata,

أَنَّهَا أَنْكَحَتْ رَجُلًا مِنْ بَنِي أَخِيهَا جَارِيَةً مِنْ بَنِي أَخِيهَا فَضَرَبَتْ بَيْنَهُمَا بِسِتْرٍ ثُمَّ تَكَلَّمَتْ , حَتَّى إِذَا لَمْ يَبْقَ إِلَّا النِّكَاحُ , أَمَرَتْ رَجُلًا فَأَنْكَحَ , ثُمَّ قَالَتْ: لَيْسَ إِلَى النِّسَاءِ النِّكَاحُ

“Bahwa dia menikahkan seorang pria dari Bani (keturunan) saudara laki-lakinya dengan seorang budak perempuan dari Bani saudara laki-lakinya juga, lalu memisahkan mereka dengan tirai, kemudian berbicara (untuk mengatur proses pernikahan, pent.). Ketika yang tersisa hanyalah tinggal akad nikah saja, dia memerintahkan seorang laki-laki untuk menikahkan mereka, kemudian berkata, “Perempuan tidak memiliki hak untuk menikahkan.”

Riwayat ini disahihkan oleh Ibnu Ḥajar dalam Fatḥul Baari (9: 186). [4]

[Bersambung]

Kembali ke bagian 2 Lanjut ke bagian 4

***

@Unayzah, KSA; 22 Zulkaidah 1446/ 20 Mei 2025

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Artikel Muslimah.or.id

 

Catatan kaki:

[1] Tambahan dari penerjemah, bahwa Ummu Ḥabībah dinikahkan dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam oleh Raja Najasyi ketika ia berada di Habasyah (Ethiopia sekarang), tanpa kehadiran wali dari pihak keluarga perempuan. Namun, bantahan terhadap dalil ini adalah:

Pertama, pernikahan itu terjadi dalam kondisi khusus. Ummu Ḥabībah berada di negeri yang jauh (Hijrah ke Habasyah), dan Najasyi bertindak sebagai wali karena tidak adanya wali dari pihak perempuan yang bisa hadir saat itu.

Kedua, tidak bisa dijadikan dasar umum. Maksudnya, kasus tersebut bukan dalil untuk membolehkan semua wanita menikah tanpa wali, karena itu adalah pengecualian dengan alasan darurat.

[2] Syekh Musthafa Al-‘Adawi menambahkan dalam catatan kaki, “Sanggahan yang lebih kuat dari ini adalah bahwa hadis tersebut adalah hadis yang dha’if (lemah). Aku telah menjelaskan hal itu di kitab Jaami’ Ahkaamin Nisaa’.”

[3] Syekh Musthafa Al-‘Adawi menambahkan dalam catatan kaki, “Diriwayatkan pula oleh Ath-Thahawi dalam Syarh Ma’ani Al-Atsar, 3: 8.”

[4] Diterjemahkan dari Ahkaamun Nikah waz Zifaf, hal. 97-99.

ShareTweetPin
Muslim AD Muslim AD Muslim AD
M. Saifudin Hakim

M. Saifudin Hakim

- Alumnus Ma'had Al-'Ilmi, Yogyakarta. - Alumnus Pendidikan Dokter FK UGM, Yogyakarta. - Alumnus Erasmus University Medical Center, Rotterdam, Belanda. - Saat ini sedang belajar di Unayzah, Saudi Arabia.

Artikel Terkait

Periode Penyusuan yang Menyebabkan Mahram

Fatwa Ulama: Periode Penyusuan yang Menyebabkan Mahram

oleh M. Saifudin Hakim
8 Februari 2025
0

Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi   Pertanyaan: Apakah penyusuan yang menyebabkan adanya hubungam mahram itu ada masa maksimalnya?...

Akad Nikah ketika Safar

Fatwa Ulama: Hukum Melakukan Akad Nikah ketika Safar (Bepergian Jauh)

oleh M. Saifudin Hakim
18 April 2025
0

Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi   Pertanyaan: Apakah diperbolehkann membangun rumah tangga (melakukan akad nikah, pent.) dalam kondisi...

Hafalan Al-Qur'an Sebagai Mahar

Fatwa Ulama: Bolehkah Menjadikan Hafalan Al-Qur’an Sebagai Mahar?

oleh M. Saifudin Hakim
3 Mei 2025
0

Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi   Pertanyaan: Bolehkah menikahkan seorang laki-laki dengan (mahar) hafalan Al-Quran yang dia miliki?...

Artikel Selanjutnya
Menggunakan AI untuk Membuat Gambar

Hukum Menggunakan AI untuk Membuat Gambar atau Video

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Donasi Muslimahorid Donasi Muslimahorid Donasi Muslimahorid
Logo Muslimahorid

Kantor Sekretariat Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari (YPIA).

Pogung Rejo RT 14 RW 51 no. 412
Sinduadi, Mlati, Sleman, D.I Yogyakarta, Indonesia, 55284.

Media Partner

YPIA | Muslim.or.id | Radio Muslim | FKIM

Buletin At Tauhid | MUBK | Mahad Ilmi | FKKA

Kampus Tahfidz | Wisma Muslim | SDIT Yaa Bunayya

Wisma Muslimah | Rumah Tahfidz Ashabul Kahfi

Ikuti Kami

  • Tentang Kami
  • Donasi
  • Pasang Iklan
  • Kontak

© 2025 Muslimah.or.id - Meraih Kebahagiaan Muslimah di Atas Jalan Salaful Ummah.

No Result
View All Result
  • Akidah
  • Manhaj
  • Fikih
  • Akhlak dan Nasihat
  • Keluarga dan Wanita
  • Pendidikan Anak
  • Kisah

© 2025 Muslimah.or.id - Meraih Kebahagiaan Muslimah di Atas Jalan Salaful Ummah.