Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi
Pertanyaan:
Siapakah salaf yang mengatakan bahwa wali adalah syarat sah akad nikah? Sebutkan sebagian di antara mereka dan perkataannya.
Jawaban:
Ulama yang mengatakan bahwa wali adalah syarat sah akad nikah adalah jumhur (mayoritas) ulama. Berikut ini kami sebutkan siapa saja mereka dan juga perkataannya:
Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, terdapat riwayat yang sahih dari beliau (dengan mengumpulkan seluruh jalur periwayatannya) bahwa beliau berkata,
لا تنكح المرأة إلا بإذن وليها أو ذي الرأي من أهلها أو السلطان
“Seorang perempuan tidak boleh dinikahkan kecuali dengan izin walinya, atau orang yang berakal dari keluarganya, atau penguasa (sultan).“
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, terdapat riwayat yang sahih dari beliau bahwa beliau mengatakan,
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل، لانكاح إلا بإذن وليه
“Siapa saja wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal. Tidak ada pernikahan kecuali dengan izin wali.”
‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma; Abdurrazaq rahimahullah meriwayatkan dari beliau dengan sanad yang hasan, beliau Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
لانكاح إلا بإذن ولي أو سلطان
“Tidak sah pernikahan kecuali dengan izin wali atau penguasa (sultan/hakim).”
Terdapat riwayat yang sahih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
لا تنكح المرأة نفسها، فإن الزانية تنكح نفسها
“Seorang wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, karena wanita pezina-lah yang menikahkan dirinya sendiri.”
Terdapat riwayat yang sahih Qatadah rahimahullah, bahwa beliau meriwayatkan dari Ibnul Musyayyib dan Al-Hasan rahimahumullah tentang perempuan yang menikah tanpa izin walinya, maka dipisahkan di antara keduanya.
Ibnu Abi Syaibah rahimahullah meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Al-Hasan, beliau berkata,
لانكاح إلا بولي أو سلطان
“Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali atau (izin) penguasa (sultan/hakim).”
Terdapat riwayat yang sahih dari Muhammad bin Sirin rahimahullah, beliau berkata,
لا تنكح المرأة نفسها، وكانوا يقولون: إن الزانية هي التي تنكح نفسها
“Seorang wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, dan dahulu mereka (para ulama atau salaf) berkata, “Sesungguhnya wanita pezinalah yang menikahkan dirinya sendiri.””
Terdapat riwayat yang sahih dari Jabir bin Zaid rahimahullah, beliau berkata,
لانكاح إلا بولي و شاهدين
“Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi.”
Dari Az-Zuhri rahimahullah, pernah ditanyakan kepada beliau tentang seorang perempuan yang menikahkan dirinya sendiri dengan seorang laki-laki, menetapkan mahar atas nama laki-laki itu, dan mensyaratkan bahwa hak cerai dan rujuk berada di tangannya (perempuan tersebut); maka beliau rahimahullah mengatakan,
هذا مردود وهو نكاح لايحل
“Pernikahan tersebut ditolak, dan merupakan pernikahan yang tidak halal (tidak sah).”
Pertanyaan:
Apa dalil yang dikemukakan oleh mereka yang berpendapat bahwa perempuan janda (boleh) menikahkan dirinya sendiri? Sejauh mana kebenaran (validitas) pendalilan mereka?
Jawaban:
Dalil yang dijadikan sebagai landasan pendapat mereka adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا
“Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya.” (HR. Muslim no. 1421)
Argumentasi dengan dalil ini adalah tidak tepat (tidak sesuai), karena perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu sebagiannya ditafsirkan (diperjelas) dengan perkataan beliau yang lain. Sedangkan dalam hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ تُنْكَحُ الأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ، وَلاَ تُنْكَحُ البِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
“Janganlah menikahkan seorang janda sebelum meminta persetujuannya, dan janganlah menikahkan anak gadis sebelum meminta izin darinya.” (HR. Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 1419)
Adapun makna (تُسْتَأْمَرَ) dijelaskan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dengan perkataannya,
أصل الاستثمار طلب الأمر فالمعنى لا يعقد عليها حتى يطلب الأمر منها ويؤخذ من قوله تستأمر أنه لا يعقد إلا بعد أن تأمر بذلك وليس فيه دلالة على عدم اشتراط الولي في حقها بل فيه إشعار باشتراطه
“Asal makna dari ‘isti’mār’ (الاستئمار) adalah meminta pendapat atau perintah. Sehingga maknanya adalah tidak boleh dinikahi (pernikahan tidak sah) kecuali setelah diminta izinnya. Dan dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam “dia diminta persetujuannya” dapat diambil pengertian bahwa pernikahan tidak dilakukan kecuali setelah dia memberikan izin. Namun, tidak ada dalam hal ini dalil yang menunjukkan bahwa wali tidak disyaratkan dalam pernikahan perempuan janda. Bahkan, di dalamnya terdapat isyarat bahwa keberadaan wali tetap disyaratkan.” [1]
Aku (Syekh Musthafa Al-‘Adawi) mengatakan bahwa ini berkaitan dengan janda. Hadis ini menjelaskan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya”; dalam rangka mengamalkan semua hadis yang ada dalam masalah ini.
Hal ini dikuatkan dengan makna umum yang terdapat dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
“Tidak (sah) nikah tanpa wali.”
Juga firman Allah Ta’ala,
فَلاَ تَعْضُلُوهُنَّ
“ … janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka … “ (QS. Al-Baqarah: 232)
Sangat jelas bahwa sebab turunnya ayat tersebut berkaitan dengan perempuan janda sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. [2] Wallahu Ta’ala a’lam. [3]
[Bersambung]
***
@Unayzah, KSA; 19 Zulkaidah 1446/ 17 Mei 2025
Penerjemah: M. Saifudin Hakim
Artikel Muslimah.or.id
Catatan kaki:
[1] Tambahan dari penerjemah:
Maksud Ibnu Hajar rahimahullah adalah hadis tentang meminta izin perempuan sebelum menikah (dengan istilah “تستأمر”) menunjukkan perlunya persetujuan perempuan (tidak boleh dipaksa), tetapi tidak berarti menghapus syarat adanya wali. Bahkan, menurut Ibnu Hajar, dalil ini justru mengisyaratkan tetap disyaratkannya wali dalam pernikahan.
[2] Lihat kembali penjelasannya di serial pertama tulisan ini.
[3] Diterjemahkan dari Ahkaamun Nikah waz Zifaf, hal. 95-97.