Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi
Pertanyaan:
Sebutkan sebagian dalil yang menunjukkan bahwa wali adalah syarat sah akad nikah!
Jawaban:
Di antara dalil-dalil tersebut adalah,
Firman Allah Tabaraka wa Ta’ala,
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاء فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ تَعْضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ
“Apabila kamu mentalak istri-isteimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka menikah lagi dengan bakal suaminya … “ (QS. Al-Baqarah: 232) [1]
Firman Allah Tabaraka wa Ta’ala,
وَلاَ تُنكِحُواْ الْمُشِرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُواْ
“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan perempuan-perempuan mukminah) sebelum mereka beriman.” (QS. Al-Baqarah: 221) [2]
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sedirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.” (QS. An-Nur: 32)
Begitu juga dengan perkataan seorang laki-laki tua (yaitu Syu’aib) kepada Nabi Musa ‘alaihis salam,
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ
“Berkatalah dia (Syu’aib), “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini …. “ (QS. Al-Qashash: 27)
Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan selainnya rahimahumullah dengan sanad yang sahih dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
“Tidak ada (tidak sah) pernikahan tanpa wali.”
Demikian pula berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah dengan sanad yang sahih dari ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نُكِحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهَا ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ – ثَلَاثًا – وَلَهَا مَهْرُهَا بِمَا أَصَابَ مِنْهَا، فَإِنْ اشْتَجَرُوا، فَإِنَّ السُّلْطَانَ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ
“Perempuan mana saja yang dinikahkan tanpa izin walinya, maka nikahnya batal -beliau mengucapkan ini sebanyak tiga kali-. Namun ia tetap berhak mendapatkan maharnya atas apa yang telah dilakukan (hubungan suami istri) dengannya. Jika terjadi perselisihan, maka penguasa (sultan) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.”
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullah dari Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang ciri pernikahan jahiliyah, beliau berkata,
فَنِكَاحٌ مِنْهَا نِكَاحُ النَّاسِ اليَوْمَ: يَخْطُبُ الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ وَلِيَّتَهُ أَوِ ابْنَتَهُ، فَيُصْدِقُهَا ثُمَّ يَنْكِحُهَا
“Maka bentuk pernikahan yang terjadi darinya adalah seperti pernikahan orang-orang pada zaman sekarang: seorang laki-laki melamar kepada seorang laki-laki (yang menjadi wali) putrinya atau perempuan di bawah perwaliannya, kemudian ia memberikan mahar kepadanya, lalu menikahinya.”
Juga terdapat dalil-dalil yang lain dalam masalah ini, namun apa yang telah kami sebutkan sudah mencukupi. Wallahu Ta’ala a’lam. [3]
[Bersambung]
Baca juga: Hukum Melakukan Akad Nikah ketika Safar (Bepergian Jauh)
***
@Unayzah, KSA; 18 Zulkaidah 1446/ 16 Mei 2025
Penerjemah: M. Saifudin Hakim
Artikel Muslimah.or.id
Catatan kaki:
[1] Sisi pendalilan dari ayat yang mulia ini bahwa terkadang seorang wali bisa menghalangi perempuan di bawah perwaliannya untuk menikah. Hal ini jelas berdasarkan sebab turunnya ayat ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan selainnya rahimahumullah dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu bahwa ayat ini turun berkenaan dengan dirinya. Beliau berkata,
زَوَّجْتُ أُخْتًا لِي مِنْ رَجُلٍ فَطَلَّقَهَا، حَتَّى إِذَا انْقَضَتْ عِدَّتُهَا جَاءَ يَخْطُبُهَا، فَقُلْتُ لَهُ: زَوَّجْتُكَ وَفَرَشْتُكَ وَأَكْرَمْتُكَ، فَطَلَّقْتَهَا، ثُمَّ جِئْتَ تَخْطُبُهَا، لاَ وَاللَّهِ لاَ تَعُودُ إِلَيْكَ أَبَدًا، وَكَانَ رَجُلًا لاَ بَأْسَ بِهِ، وَكَانَتِ المَرْأَةُ تُرِيدُ أَنْ تَرْجِعَ إِلَيْهِ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ هَذِهِ الآيَةَ: {فَلاَ تَعْضُلُوهُنَّ} [البقرة: 232] فَقُلْتُ: الآنَ أَفْعَلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: فَزَوَّجَهَا إِيَّاهُ
“Aku menikahkan seorang saudara perempuanku dengan seorang laki-laki. Lalu ia menceraikannya. Setelah habis masa iddahnya, laki-laki itu datang melamarnya kembali. Aku berkata kepadanya, ‘Aku telah menikahkanmu dengannya, membentangkan tempat tidurmu (membiarkanmu menggaulinya), dan memuliakanmu, lalu kamu menceraikannya. Sekarang kamu datang melamarnya lagi? Demi Allah, dia tidak akan kembali kepadamu selamanya.’ Padahal laki-laki itu tidak ada masalah (baik-baik saja), dan wanita itu ingin kembali kepadanya. Maka Allah menurunkan ayat ini (yang artinya), “Janganlah kamu (wali) menghalangi mereka” (QS. Al-Baqarah: 232). Aku pun berkata, ‘Sekarang aku akan melaksanakannya, wahai Rasulullah.’ Lalu ia menikahkan perempuan itu kembali dengannya.”
Makna firman Allah Ta’ala,
فَلاَ تَعْضُلُوهُنَّ
adalah,
فلا تمنعوهن
“Janganlah kalian mencegahnya.”
Jelaslah bahwa konteks ayat yang mulia ini berkaitan dengan perempuan yang memiliki status janda. Sehingga diambil kesimpulan dari ayat ini, wajibnya perwalian atas perempuan janda. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata berkaitan dengan ayat ini,
هي أصرح أية في اعتبار الولي وإلا لما كان لعضله معنى
“Ini adalah ayat yang paling jelas dalam menunjukkan pentingnya wali (dalam pernikahan). Jika tidak, maka larangan bagi walinya untuk menghalangi (pernikahan) tidak akan memiliki makna (karena si perempuan bisa menikahkan dirinya sendiri, pent.).”
[2] Sisi pendalilan ayat ini adalah dari firman Allah Tabaraka wa Ta’ala,
وَلاَ تُنكِحُواْ
“Dan janganlah kamu menikahkan … “; sehingga yang menikahkan adalah wali.
[3] Diterjemahkan dari Ahkaamun Nikah waz Zifaf, hal. 94-95.