Pertanyaan ke-11:
Seorang wanita penanya berkata bahwa sejak diwajibkan untuknya berpuasa dan ia berpuasa di bulan Ramadan, dia tidak mengganti puasa yang ia tinggalkan karena darah haid dan ia tidak tahu berapa jumlah hari yang ia tinggalkan. Oleh karena itu, ia meminta petunjuk atas kewajiban yang harus ia jalani saat ini?
Jawaban:
Kami merasa sedih dengan hal seperti ini yang terjadi di antara para wanita yang beriman, karena sesungguhnya ini adalah “at-tark” (meninggalkan). Adapun yang saya maksud adalah meninggalkan qadha puasa yang seharusnya ia lakukan, baik itu karena ia jahil (tidak mengetahui) ataupun karena ia lalai, dan keduanya adalah musibah. Karena sesungguhnya, obat dari kebodohan adalah ilmu dan bertanya, adapun obat dari lalai adalah bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, merasa diawasi oleh Allah, takut dengan hukuman dari Allah, serta melakukan apa yang Allah ridai. Maka, wajib bagi wanita penanya ini, untuk bertobat kepada Allah atas apa yang telah ia lakukan dan memohon ampun, serta mencari tahu berapa banyak hari yang ia tinggalkan sesuai kemampauannya, lalu ia qadha (puasa tersebut). Dengan hal ini, ia membersihkan diri dari kesalahannya, dan kami berharap semoga Allah menerima tobatnya.
Pertanyaan ke-12:
Apakah sesuatu yang mengalir dari wanita, baik itu (cairan) berwarna putih atau kuning itu suci ataukah najis? Dan apakah wajib berwudu karena tahu bahwa cairan tersebut mengalir terus menerus? Dan apa hukumnya jika terputus? Terkhusus lagi sebagian besar wanita bahkan para pengajar menganggap jika cairan tersebut adalah (cairan) basah biasa/alami yang tidak membuat wanita wajib berwudu?
Jawaban:
Yang tampak bagi saya setelah mengkaji (hal ini), bahwasanya sesuatu yang mengalir keluar dari wanita, jika tidak keluar dari kantung kemih, tetapi ia keluar dari rahim, maka dihukumi suci, namun membatalkan wudu, meskipun hal itu dianggap suci. Karena tidak disyaratkan bahwa pembatal wudu ialah sesuatu yang najis. Misalnya, angin yang keluar dari dubur, hal tersebut bukanlah sesuatu yang memiliki bentuk (najis), meskipun membatalkan wudu.
Oleh karena itu, jika ada yang keluar dari wanita dan ia sudah berwudu, maka hal itu membatalkannya dan wajib baginya memperbarui wudu tersebut. Adapun jika keluar terus menerus, maka tidak membatalkan wudu, namun ia berwudu ketika hendak salat jika sudah masuk waktunya, kemudian ia salat pada waktu tersebut, yang mana ia sudah dalam kondisi berwudu, baik itu salat wajib atau sunah. Lalu ia membaca Al-Quran dan melakukan hal-hal yang mubah (dibolehkan) baginya. Sebagaimana yang telah dikatakan oleh ahlul ilmi, yang semisal dengan ini, yaitu mengalirnya air seni (secara terus menerus).
Inilah hukum sesuatu yang mengalir. Dari sisi kesucian, maka ia suci, dan dari segi batalnya wudu, ia membatalkan wudu, kecuali jika mengalir terus menerus. Jika cairan tersebut mengalir terus menerus, maka tidak membatalkan wudu. Namun, wajib bagi perempuan (yang mengalami hal ini) agar tidak berwudu kecuali jika sudah masuk waktu salat, lalu menjaganya.
Namun, jika terputus dan biasanya akan terputus saat datang waktu salat, maka ia mengakhirkan salatnya sampai waktu di mana terputusnya cairan tersebut, selama tidak takut terlewatkan dari waktu salatnya. Jika ia takut terlewat dari salatnya, maka ia berwudu, menjaganya, lalu mendirikan salat.
Tidak ada bedanya antara sedikit atau banyak (cairannya) karena semua cairan tersebut keluar dari jalan yang membuatnya membatalkan wudu, baik itu cairannya sedikit ataupun banyak. Berbeda jika yang keluar dari sebagian tubuh, seperti darah, muntahan, sedikit atau banyaknya, maka tidak membatalkan wudu. Adapun keyakinan beberapa wanita yang menganggap bahwa cairan (putih dan kuning) tadi tidak membatalkan wudu, maka saya tidak tahu asal dari pendapat tersebut kecuali perkataan Ibn Hazm rahimahullah. Beliau berkata, “Sesungguhnya hal ini tidak membatalkan wudu”, tetapi ia tidak menyebutkan dalil untuk permasalahan ini, baik dari Al-Quran dan As-Sunnah, ataupun perkataan-perkataan sahabat sebagai hujjah.
Bagi para wanita, hendaknya bertakwa kepada Allah dan peduli pada kesuciannya. Karena salat tidaklah diterima kecuali dengan kondisi yang suci, meskipun ia salat seratus kali. Bahkan beberapa ulama berkata, “Barangsiapa yang salat tidak dalam kondisi yang suci, maka ia kafir, karena hal ini termasuk mempermainkan ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala”.
***
Penerjemah: Evi Noor Azizah
Artikel Muslimah.or.id
Catatan kaki:
Diterjemahkan dari Risalatun fi Ad-Dimaai Ath-Thabi’iyyati Lin-Nisaa, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 40-41.