Pertanyaan ke-13:
Apa hukum al-qudrah (cairan keruh) yang keluar dari wanita sebelum haid, baik itu sehari sebelumnya, beberapa hari sebelumnya, atau beberapa saat sebelumnya, dan darah yang keluar tersebut berbentuk seperti benang yang tipis dan berwarna hitam atau cokelat, atau semacamnya. Serta, apa hukumnya (jika darah tersebut) keluar setelah haid?
Jawaban:
Hal ini, jika merupakan muqaddimatul haid (pembuka/permulaan haid), maka termasuk haid. Dan hal ini diketahui ketika ada rasa sakit dan sakit maag (sakit perut, ed.), yang datang sebagai suatu kebiasaan bagi wanita haid. Adapun qudrah setelah haid, maka tunggu sampai hilang karena qudrah (sifatnya) bersambung dengan haid. Sebagaimana perkataan ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
لا تعجلن حتى ترين القصة البيضاء
“Janganlah engkau terburu-buru sampai engkau betul-betul melihat qishatul baydha (cairan berwarna putih yang keluar dari rahim wanita).” (HR. Bukhari)
Pertanyaan ke-14:
Seorang wanita bersama mahramnya telah datang (di Mekah) untuk melaksanakan umrah. Setelah kedatangannya ke Mekah, ia mengalami haid, dan (tiba-tiba) mahramnya terpaksa harus pergi (dari Mekah) segera, sehingga tidak ada satupun yang membersamainya di Mekah. Apa hukumnya?
Jawaban:
Ia (wanita tersebut) ikut safar dengan mahramnya dan menetap bersama mahramnya, lalu kembali (ke Mekah) jika sudah suci. Ini (dapat ia lakukan) jika ia berada Saudi, karena untuk kembali lagi (ke Mekah), adalah perkara yang mudah. Tidak capai, serta tidak perlu passport, atau semacamnya. Adapun jika ia adalah wanita ajnabiyah (bukan dari Saudi) dan sulit baginya untuk kembali (ke Mekah), maka (hendaknya) ia menjaga dirinya, kemudian tawaf, sai, dan memotong (rambutnya), dan menyelesaikan ibadah umrahnya di waktu yang sama dengan (waktu) safarnya. Karena tawafnya ketika itu menjadi hal yang darurat, dan perkara yang darurat memperbolehkan (yang awalnya) terlarang (untuk dilakukan).
Pertanyaan ke-15:
Telah berkata seorang penanya: saya sudah haji, dan datanglah kebiasaan bulanan saya, namun saya malu untuk mengatakannya pada siapapun, lalu saya masuk ke Haram, saya salat, tawaf, sai, lalu apa yang harus saya lakukan? Sehubungan dengan ia (haid) datang setelah nifas?
Jawaban:
Tidak diperbolehkan bagi wanita jika ia haid atau nifas untuk salat, baik di Mekah ataupun di negaranya, ataupun di tempat manapun berdasarkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada seorang wanita,
أليس إذا حاضت لم تصل ولم تصوم
“Bukankah jika seorang wanita haid, tidak salat dan tidak puasa?.” (HR. Bukhari no. 298 dan Muslim no. 80)
Dan orang-orang muslim telah bersepakat bahwasanya tidak boleh bagi wanita haid untuk berpuasa dan salat. Dan bagi wanita yang melakukan hal tersebut, maka (wajib) baginya bertobat kepada Allah, memohon ampunan-Nya atas apa yang sudah menimpanya. Adapun tawafnya di saat haid, maka tidak sah. Namun sainya tetap sah, karena dari pendapat yang rajih (lebih kuat), boleh mendahulukan sai sebelum tawaf dalam ibadah haji. Maka bagi wanita tersebut, hendaknya ia mengulang tawafnya, karena tawaf ifadhah adalah salah satu rukun dari rukun-rukun haji, serta tidaklah sempurna tahalul yang kedua kecuali dengan tawaf. Dan berkaitan dengan hal tersebut, maka wanita tersebut tidak boleh menyetubuhi suaminya jika ia sudah menikah sampai ia (melakukan kembali) tawaf, serta tidak boleh pula melakukan akad nikah jika ia belum menikah sampai ia (melakukan kembali) tawaf. Wallahu a’lam.
Pertanyaan ke-16:
Seorang penanya (laki-laki) berkata: saya telah datang dari Yanbu’ (ke Mekah) untuk umrah, baik itu saya pribadi dan keluarga saya. Tetapi ketika saya sampai di Jedah, istri saya haid. Namun, saya tetap menyempurnakan umrah tanpa istri saya. Apa hukumnya bagi istri saya?
Jawaban:
Hukum bagi istrimu adalah tetap tinggal sampai ia suci, lalu ia selesaikan umrahnya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (berkata),
لما حاضت صفية – رضي الله عنها – قال: “أحابستنا هي؟ قالوا: إنها قد أفاضت. قال: فالتنفر إذن
“Ketika Shafiyah radhiyallahu ‘anha tertimpa haid (setelah tawaf ifadhah), beliau (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) berkata, ‘Apakah kita tertahan karena ia (Shafiyah)?’Lalu mereka (yang bertanya kepada Rasulullah) pun berkata, “Sesungguhnya ia (Shafiyah) sudah melaksanakan tawaf ifadhah.” Dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pun berkata, “Kalau begitu, ia (Shafiyah) boleh pergi (meninggalkan Mekah).” (HR. Bukhari no. 1670; Abu Dawud no. 2003; Ibnu Majah no. 3072; HR. Ahmad, 6: 82; Ad-Darimi no. 1917)
Perkataan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam (yaitu) أحابستنا هي (apakah kita tertahan karena ia) menjadi dalil bahwasanya wajib bagi wanita untuk tetap tinggal jika ia haid sebelum tawaf ifadhah sampai ia suci. Kemudian ia (baru bisa melaksanakan) tawaf, dan yang demikian itu adalah tawaf umrah (yang) sama dengan tawaf ifadhah karena ia adalah rukun dari umrah. Maka, jika seorang wanita yang umrah sedang haid sebelum tawaf, ia (harus) menunggu sampai suci kemudian barulah ia tawaf.
***
Penerjemah: Evi Noor Azizah
Artikel Muslimah.or.id
Catatan kaki:
Diterjemahkan dari kitab Risalatun fii ad-Dimaai ath-Thabii’iyyati li An-Nisaa, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, hal. 41-43.