Pertanyaan:
Apa batas-batas tasyabbuh/menyerupai budaya Barat? Apakah semua hal baru dan yang datang dari Barat itu bisa dikatakan tasyabbuh? Dengan kata lain, bagaimana kita menetapkan hukum atas sesuatu, apakah dia haram karena tasyabbuh dengan kufar atau bukan?
Jawaban:
Alhamdulillah.
عَنْ اِبْن َعُمَرَ رَضِيَ الله عَنْهُمَا قَال:َ قَال رسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم: مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مَنْهُمْ
Dari Ibnu Umar -radhiyallaahu ‘anhumaa-, beliau pernah berkata, Rasulullah shallallahu’ alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia adalah bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud)
Al-Munawi dan Al-‘Alqami berkata -menjelaskan tasyabbuh pada hadis tersebut-: atau siapa saja yang berpakaian dengan pakaian mereka, dan hidup atau berperilaku seperti mereka, memakai pakaian-pakaian mereka, serta perilaku-perilaku mereka.
Begitu pula Al-Qari pernah berkata: atau siapa saja yang menyerupai orang-orang kafir, misalnya dari cara berpakaian, atau selainnya, atau (meniru) dengan kefasikannya, kefajirannya, atau dengan ahli tashawwuf (sufi), ataupun dengan kebaikannya. (Ini menerangkan pada perkataan: “maka ia bagian dari mereka”). Yakni, bagian dari orang-orang yang melakukan keburukan dan dosa, atau yang melakukan kebaikan.
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah pernah berkata dalam kitab nya yang berjudul “Iqtidha’ Shirathal Mustaqim” bahwa Imam Ahmad dan lainnya pernah mengutip hadis ini sebagai suatu dalil, dan hadis ini setidaknya mengisyaratkan suatu larangan agar tidak menirunya. Sebagaimana Allah telah berfirman,
مَنْ يَتَوَلَّهم مِنكُم فَإنَّه منْهم
“Barang siapa di antara kalian yang berteman dengan mereka, maka ia adalah bagian dari mereka.” (QS. Al-Maidah: 51).
Abdullah bin Amru pernah juga mengatakan bahwasanya, barangsiapa yang membangun di tanahnya orang-orang musyrik, dan ikut merayakan Nairuz (hari raya orang Persia), maupun festival mereka, dan mereka melakukan hal tersebut hingga akhir hayatnya, maka kelak mereka akan dikumpulkan bersama orang-orang musyrik tersebut di hari kiamat.
Sehingga, dalam hal ini, bagi hal-hal yang mutlak menyerupai orang-orang kafir, dapat mengkafirkan pelakunya. Serta adanya pengharaman atas hal-hal yang berkaitan dengan tasyabbuh, jika hal tersebut berupa kekafiran, maksiat, atau syiar terhadap orang-orang kafir, maka hukumnya sama dengan yang sudah dijelaskan di atas.
Dari Ibnu Umar, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau melarang tasyabbuh dengan orang non-Arab (orang-orang kafir). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia adalah bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud)
Dan telah menyebutkan hal ini pula, seorang hakim, Abu Ya’la. Tidak hanya satu ulama yang mengutip hadis ini sebagai dalil atas ketidaksukaan mereka dengan cara berpakaian yang mirip orang-orang kafir. (‘Aunul-Ma’ bud Syarhu Sunani Abi Dawud)
Baca juga: Bolehkah Wanita Bekerja?
Macam-macam tasyabbuh dengan orang kafir
Tasyabbuh dengan orang-orang kafir terbagi dua, haram dan mubah.
Pertama, tasyabbuh yang diharamkan: yaitu, apabila melakukan hal-hal yang khusus atau menjadi ciri khas agama orang-orang kafir, serta mempelajarinya, yang mana syariat agama lain tersebut tidak ada dalam agama Islam. Untuk jenis pertama ini, maka hukumnya adalah haram. Keharaman tersebut masuk pada dosa-dosa besar, bahkan beberapa masuk pada kekufuran, sebagaimana yang ada pada dalil. Baik ia melakukannya karena mengikuti orang-orang kafir, mengikuti syahwat, atau beranggapan bahwa dengan mengikutinya akan memberi manfaat di dunia dan akhirat.
Kemudian, apakah jika seseorang yang jahil (tidak mengetahui) hukumnya melakukan sebuah perayaan seperti hari ulang tahun akan dihukumi dosa? Jawabannya adalah, bagi orang yang tidak tahu, maka tidak dihukumi dosa. Akan tetapi, jika dia mengetahui dan terus melakukan perbuatan (perayaan) tersebut, maka ia berdosa.
Kedua, tasyabbuh yang diperbolehkan. Ialah perbuatan-perbuatan yang asalnya bukan berasal dari kebiasaan orang-orang kafir, namun orang-orang kafir juga ikut melakukannya. Tidak ada yang salah atau keliru untuk penyerupaan dalam hal tersebut, meskipun mungkin manfaatnya bisa berkurang.
Aturan-aturan tasyabbuh dengan ahli kitab pada perkara duniawi
Tasyabbuh dengan para ahli kitab dan selainnya pada urusan-urusan duniawi tidak diperbolehkan kecuali dengan syarat-syarat:
1) Tasyabbuh tersebut bukan dari hal-hal yang merupakan syiar keyakinan mereka dan merupakan ciri khas mereka.
2) Bahwasanya tasyabbuh tersebut bukan pada perkara yang sudah ditetapkan sebagai syariat mereka dari riwayat yang terpercaya. Seperti ketika Allah mengabarkan dalam kitabnya, atau perkataan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, ataupun dengan cara yang mutawatir, seperti sujud tahiyat yang diperbolehkan juga bagi umat sebelumnya.
3) Tidak ada pernyataan khusus mengenai boleh atau tidaknya hal itu. Adapun jika ada penjelasan yang khusus mengenai perilaku tasyabbuh tersebut, baik itu yang membolehkan atau yang melarang, maka apa yang dinyatakan dalam hukum syariat kita akan meniadakan perilaku oran kafir tersebut, serta apa yang sudah disyariatkan tentu sudah cukup. [1]
4) Tidak melanggar aturan-aturan syariat agama Islam.
5) Tidaklah hal yang diperbolehkan itu ada pada perayaan-perayaan mereka.
6) Hal tersebut sesuai dengan kebutuhan. [2]
Baca juga: Untukmu yang Takut dengan Pernikahan
***
Diterjemahkan dari https://islamqa.info/ar/answers/21694/ضوابط-التشبه-بالكفار
Penerjemah: Evi Noor Azizah
Artikel Muslimah.or.id
Catatan kaki:
[1] Dalam kitab Sunan wal-Atsar fin-Nahyi ‘an at-Tasyabbuh bil-Kuffar karya Sahil Hasan (hal. 66-67) kurang lebih dijelaskan bahwasanya Islam membolehkan orang muslim menggunakan pakaian seperti yang digunakan orang kafir, asalkan bagi laki-laki tidak berupa pakaian yang terbuat dari emas, tidak ketat, dan tidak menutup mata kaki. Dalam hal ini, pelarangan atau pembatasan syariat Islam pada ranah tata cara berpakaian, meniadakan perilaku orang kafir yang menggunakan atribut yang dilarang dalam Islam. Sehingga tidak boleh bagi umat Islam untuk memakai yang telah dilarang.
[2] Dalam kitab Sunan wal-Atsar fin-Nahyi ‘an at-Tasyabbuh bil-Kuffar karya Sahil Hasan (hal. 60-64) kurang lebih dijelaskan bahwasanya, pada perang Khandaq, umat Islam membuat parit sebagaimana orang Persia melakukan hal tersebut. Pada saat itu, Rasulullah membolehkan pasukannya untuk membuat tiruan parit tersebut dikarenakan adanya kepentingan. Begitu pula ketika Umar menyetujui ide untuk membuat diwan (kantor) pada masa beliau, karena hal tersebut dibutuhkan oleh mereka.
Referensi:
Abdul Ghafar, S, H. As-Sunan wal-Atsar fin-Nahyi ‘an at-Tasyabbuh bil-Kuffar. 1995. Daar as-Salaf. Saudi Arabia.