Teks Hadis
Dari sahabat Umar bin Abi Salamah radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,
يا غُلَامُ، سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ، وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadaku, “Wahai anak kecil, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah dari (bagian makanan) yang dekat denganmu.” (HR. Bukhari no. 5376 dan Muslim no. 2022)
Kandungan Hadis
Kandungan pertama: Hukum membaca basmalah sebelum makan
Dalam hadis ini, terdapat dalil wajibnya membaca basmalah sebelum makan. Ini menurut pendapat yang paling kuat dari dua pendapat ulama tentang masalah ini. Alasannya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Umar bin Abi Salamah untuk membaca basmalah, padahal dia masih anak kecil. Sedangkan hukum asal perintah adalah memberikan konsekuensi hukum wajib, dan tidak terdapat dalil yang memalingkannya dari hukum wajib tersebut.
An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah menukil adanya ijmak bahwa membaca basmalah ketika makan hukumnya sunah. [1] Namun, klaim ini dikritik oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah yang mengatakan bahwa ada ulama yang berpendapat wajib. Hal ini karena terdapat perintah untuk makan dengan tangan kanan, yang dimaknai sebagai perintah wajib, sebagaimana perintah membaca basmalah. [2]
Ibnu Muflih rahimahullah menyebutkan pendapat wajibnya membaca basmalah ketika makan. [3] Demikian pula, wajibnya membaca basmalah disebutkan oleh Ibnu Abi Musa dan juga Ibnu Hazm rahimahumallah. [4]
Dalil yang paling jelas menunjukkan tatacara membaca basmalah ketika makan adalah hadis dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى، فَإِنْ نَسِيَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فِي أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ
“Jika salah seorang dari kalian makan, maka hendaklah menyebut nama Allah. Jika lupa menyebut nama Allah di awal makan, maka ucapkanlah, ‘Bismillah awwalahu wa aakhirahu’ (Dengan menyebut nama Allah di awal dan di akhirnya).” (HR. Abu Dawud no. 3767, Tirmidzi no. 1859, sahih)
Dzahir hadis di atas menunjukkan bahwa cukup dengan mengucapkan “bismillah” saja di awal makan. Akan tetapi, jika ingin menambahkan “Ar-Rahman Ar-Rahiim”, maka tidak mengapa. Bahkan An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah menyatakan bahwa inilah yang lebih afdal. [5] Pendapat ini juga dinukil oleh Ibnu Muflih dari Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. [6] Akan tetapi, pendapat ini dikritik oleh Ibnu Hajar rahimahullah yang menyatakan bahwa tidak ada dalil atas hal itu. [7]
Para ulama berbeda pendapat ketika terdapat sekelompok orang yang hendak makan dan salah satu di antara sudah mengucapkan basmalah (dalam bahasa Jawa, makan bersama-sama ini disebut dengan “kembulan”). Apakah kewajiban membaca basmalah menjadi gugur atas yang lain? Imam Asy-Syafi’i rahimahullah menegaskan bahwa basmalah satu orang sudah mencukupi atas yang lain. Sebagian ulama Syafi’iyah menganalogikan hal ini sebagaimana menjawab salam dan mengucapkan tasymit (yarhamukallah) untuk orang yang bersin. [8] Mereka juga beralasan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa setan ikut makan ketika tidak disebutkan nama Allah. Sehingga maksud membaca basmalah sudah tercapai dengan bacaan satu orang tersebut.
Adapun Ibnul Qayyim rahimahullah berpendapat bahwa bacaan satu orang itu belum mencukupi. Hal ini berdasarkan hadis dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْكُلُ طَعَامًا فِي سِتَّةٍ مِنْ أَصْحَابِهِ، فَجَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَأَكَلَهُ بِلُقْمَتَيْنِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَمَا إِنَّهُ لَوْ سَمَّى لَكَفَاكُمْ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah makan bersama enam orang sahabatnya. Kemudian, datanglah seorang Arab Badui dan memakan makanan tersebut hanya dengan dua suapan. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika dia membaca basmalah, makanan itu akan cukup untuk kalian semua.” (HR. Tirmidzi, 4: 288. Tirmidzi berkata, “Hadis hasan shahih.”)
Tentu pada saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat yang ikut makan bersama beliau telah membaca basmalah. Akan tetapi, ketika orang Badui tersebut datang dan ikut makan tanpa membaca basmalah terlebih dahulu, setan pun ikut makan bersama mereka. Dia pun memakan makanan tersebut dengan dua suapan. Seandainya dia membaca basmalah, makanan tersebut akan cukup untuk semua orang yang hadir pada saat itu. [9]
Pendapat inilah yang lebih kuat. Di antara yang menguatkan pendapat ini adalah ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Umar bin Abi Salamah, “Ucapkanlah basmalah.” Apabila hukum membaca basmalah itu fardhu kifayah, maka cukuplah ucapan basmalah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saja. Bisa jadi dikatakan bahwa hal itu dalam rangka pengajaran kepada anak kecil. Akan tetapi, dzahir hadis tetap menguatkan pendapat ini.
Sehingga kesimpulan dalam masalah ini:
Pertama: Hukum membaca basmalah di awal makan adalah wajib, menurut pendapat yang lebih kuat.
Kedua: Cukup dengan membaca “Bismillah” saja, tanpa tambahan “Ar-Rahman Ar-Rahiim”.
Ketiga: Apabila makan bersama-sama, setiap orang tetap wajib membaca basmalah masing-masing, menurut pendapat yang lebih kuat.
Baca juga: Memulai Makan dari Pinggir Piring
Kandungan kedua: Hukum makan dengan tangan kanan
Dalam hadis tersebut terdapat dalil wajibnya makan dengan tangan kanan, ini menurut pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat ulama dalam masalah ini. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Umar bin Abi Salamah untuk makan dengan tangan kanan, meskipun beliau adalah seorang anak kecil. Sedangkan hukum asal dari perintah menunjukkan konsekuensi hukum wajib. Dan juga tidak terdapat dalil yang memalingkannya dari hukum wajib.
Kandungan ketiga: Makan makanan yang ada di hadapan atau di dekatnya
Dalam hadis ini terdapat dalil wajibnya makan yang ada di hadapan atau di dekatnya ketika dia makan bersama orang lain. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Umar bin Abi Salamah untuk makan yang ada di dekatnya, padahal ketika itu dia masih kecil. Sedangkan hukum asal perintah adalah wajib, dan tidak terdapat dalil yang memalingkannya dari hukum wajib. Selain itu juga karena makan dari bagian makanan yang berada di hadapan orang lain merupakan bentuk pelanggaran terhadap sesuatu yang bukan haknya. Selain itu, hal tersebut juga dapat menimbulkan rasa jijik karena tangan-tangan telah menyentuhnya, serta menunjukkan sifat rakus, tamak, dan kurangnya adab terhadap orang lain.
Para ulama memahami hadis ini berlaku jika makanan tersebut berupa satu jenis saja. Namun, jika makanan yang dihidangkan terdiri dari berbagai jenis, seperti buah-buahan atau kurma yang beragam, maka tidak mengapa mengambil dari bagian yang tidak berada di depannya. Namun, jika seseorang meminta izin terlebih dahulu, itu lebih baik karena menunjukkan kesempurnaan adab. [10]
Dikecualikan dari hal ini adalah jika seseorang yang makan mengetahui bahwa orang yang makan bersamanya itu rida, maka tidak mengapa makan dari bagian yang lebih dekat dengan orang tersebut. Hal ini berdasarkan hadis Anas radhiyallahu ‘anhu yang menyebutkan bahwa ada seorang penjahit yang mengundang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk makanan yang dibuatnya. Anas radhiyallahu ‘anhu berkata,
فَذَهَبْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَرَأَيْتُهُ يَتَتَبَّعُ الدُّبَّاءَ مِنْ حَوَالَيِ القَصْعَةِ ، قَالَ: فَلَمْ أَزَلْ أُحِبُّ الدُّبَّاءَ مِنْ يَوْمِئِذٍ
“Aku pergi bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan aku melihat beliau memilih labu dari sekitar pinggir mangkuk.” Anas berkata, “Aku pun menyukai labu sejak saat itu.” (HR. Bukhari no. 5379 dan Muslim no. 2041)
Imam Bukhari rahimahullah memberikan judul untuk hadis ini,
بَابُ مَنْ تَتَبَّعَ حَوَالَيْ القَصْعَةِ مَعَ صَاحِبِهِ، إِذَا لَمْ يَعْرِفْ مِنْهُ كَرَاهِيَةً
“Bab tentang seseorang yang memakan dari sekitar pinggir mangkuk bersama temannya, jika ia mengetahui tidak ada keberatan darinya.” [11]
Tampaknya, Imam Bukhari mengisyaratkan bahwa beliau ingin mengkompromikan antara hadis Anas dengan hadis Umar bin Abi Salamah radhiyallahu ‘anhuma. Hadis ini menunjukkan bahwa Anas radhiyallahu ‘anhu makan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kandungan keempat: Teladan pengajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada anak kecil
Hadis ini menunjukkan perhatian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan metodenya dalam mendidik anak-anak serta mengajarkan akhlak mulia dan sifat-sifat terpuji kepada mereka. Hal ini agar anak-anak tumbuh dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh Islam. Dalam lafaz Bukhari disebutkan bahwa Umar bin Abi Salamah berkata,
فَمَا زَالَتْ تِلْكَ طِعْمَتِي بَعْدُ
“Maka itulah cara makanku sejak saat itu.” (HR. Bukhari no. 5376)
Perkataan Umar bin Abi Salamah tersebut menunjukkan bahwa pengajaran dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut sangat membekas dalam diri Umar.
Oleh karena itu, adalah sebuah kesalahan besar jika sebagian orang tua mengira bahwa anak kecil tidak dapat menerima pengarahan atau pendidikan. Para pendidik sepakat bahwa membentuk kebiasaan dan karakter pada masa kecil jauh lebih mudah dibandingkan dengan membentuknya ketika sudah usia dewasa. Apa yang terbiasa dilakukan seseorang di masa kecilnya akan sulit ditinggalkan ketika dia telah dewasa.
Dari hadis ini, kita juga mengambil pelajaran bahwa di antara perkara yang harus diajarkan kepada anak kecil adalah membaca basmalah ketika makan, makan minum dengan tangan kanan, dan makan makanan yang ada di dekatnya. Sehingga anak tersebut dapat tumbuh dengan karakter semacam itu ketika makan. Dan tidak selayaknya ketika para pendidik dan orang tua melalaikan dan menyepelekan pengajaran ini. Wallahu Ta’ala a’lam.
Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. [12]
Baca juga: Larangan Makan dan Minum dengan Tangan Kiri
***
@Fall, 26 Jumadil awal 1446/ 28 November 2024
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel Muslimah.or.id
Catatan kaki:
[1] Syarh Shahih Muslim, 13: 20.
[2] Fathul Baari, 9: 522.
[3] Al-Adab Asy-Syar’iyyah, 3: 178.
[4] Al-Irsyad, hal. 538; Al-Muhalla, 7: 424.
[5] Al-Adzkaar, hal. 207.
[6] Al-Furuu’, 5: 300.
[7] Fathul Baari, 9: 521.
[8] Lihat Al-Adzkaar, hal. 374.
[9] Zaadul Ma’ad, 2: 398.
[10] Asy-Syarh Al-Mumti’, 12: 361.
[11] Lihat Fathul Baari, 9: 524.
[12] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 439-443). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.