Teks Hadis
Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَا تَأْكُلُوا بِالشِّمَالِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِالشِّمَالِ
“Janganlah makan dengan tangan kiri, karena sesungguhnya setan makan dengan tangan kiri.” (HR. Muslim no. 2019)
Kandungan Hadis
Kandungan pertama
Dalam hadis ini, terkandung dalil adanya larangan untuk makan dengan tangan kiri, demikian pula minum dengan tangan kiri. Larangan ini juga berdasarkan hadis dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَأْكُلْ بِيَمِينِهِ، وَإِذَا شَرِبَ فَلْيَشْرَبْ بِيَمِينِهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ، وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ
“Jika salah seorang dari kalian makan, makanlah dengan tangan kanan. Apabila minum, minumlah dengan tangan kanan. Karena sesungguhnya setan itu makan dan minum dengan tangan kiri.” (HR. Muslim no. 2020)
Dalam hadis tersebut, terdapat peringatan yang keras dari perbuatan makan dan minum dengan tangan kiri. Karena bagaimana mungkin seorang muslim menyerupai dan meniru perbuatan musuh terbesarnya, yaitu setan? Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
إِنَّ الشَّيطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا
“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka jadikanlah dia sebagai musuh.” (QS. Fatir: 6)
Baca juga: Apa Hukum Mengerjakan Salat Ketika Makanan Telah Tersaji?
Kandungan kedua
Terdapat banyak hadis yang menunjukkan wajibnya makan dan minum dengan tangan kanan dan larangan makan dan minum dengan tangan kiri. Hal ini menunjukkan adanya dalil yang sangat kuat untuk menunjukkan haramnya perbuatan makan dan minum dengan tangan kiri. Meskipun demikian, jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa makan dan minum dengan tangan kanan hukumnya sunah (dianjurkan), tidak sampai derajat wajib. Hal ini karena larangan dalam hadis itu masuk dalam bab adab (akhlak) dan bimbingan, dan juga untuk memuliakan tangan kanan di atas tangan kiri. [1]
Adapun sejumlah ulama, di antaranya Ibnu ‘Abdil Barr, Ibnu Hazm, Ibnu Abi Musa, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, dan juga Ibnul Qayyim rahimahumullah, mereka berpendapat wajibnya makan dan minum dengan tangan kanan dan haramnya makan dan minum dengan tangan kiri. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وهو أحد الوجهين لأصحاب أحمد
“Dan ini adalah salah satu dari dua pendapat di kalangan pengikut Imam Ahmad.”
Ketika Ibnu ‘Allan rahimahullah (salah seorang ulama Syafi’iyyah) menyebutkan bahwa hukumnya sunah, beliau mengatakan,
وقيل: وجوبًا؛ لما في غيره من الشَّرَهِ ولحوق الضرر بالغير، وانتصر له السُّبكي، وعليه نص الشافعي في الرسالة ومواضع من الأم ..
“Dan dikatakan bahwa hukumnya wajib, karena dalam perbuatan selainnya (makan minum dengan tangan kiri) terdapat kerakusan dan kemungkinan mendatangkan bahaya bagi orang lain. Pendapat ini didukung oleh As-Subki. Wajibnya (makan minum dengan tangan kanan) juga ditegaskan oleh Imam Syafi’i dalam kitab Ar-Risalah serta beberapa bagian dari kitab Al-Umm … “ [2]
Pendapat yang menyatakan wajibnya makan dan minum dengan tangan kanan adalah pendapat yang kuat. Hal ini karena dalil-dalil yang berkaitan dengan masalah ini sangat jelas dan tegas menunjukkan hukum wajibnya dengan beberapa alasan dan pertimbangan berikut ini.
Pertama: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menggunakan tangan kiri untuk makan dan minum, dan menjelaskan bahwa perbuatan tersebut termasuk perbuatan setan. Berdasarkan hal ini, maka siapa saja yang makan dan minum dengan tangan kiri, maka dia telah menyerupai (tasyabbuh) setan.
Kedua: Lafaz atau redaksi perintah (makan minum dengan tangan kanan) atau larangan (makan minum dengan tangan kiri), serta tidak adanya dalil lain yang memalingkan (baik dari hukum wajib ataupun haram). Sehingga hal ini menunjukkan, hukum makan minum dengan tangan kanan itu wajib, sedangkan hukum makan minum dengan tangan kiri hukumnya haram.
Ketiga: Hadis dari Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu, yang menceritakan bahwa ada seorang laki-laki yang makan di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan tangan kiri. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,
كُلْ بِيَمِينِكَ
“Makanlah dengan tangan kanan.”
Laki-laki tersebut berkata, “Aku tidak mampu.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,
لَا اسْتَطَعْتَ
“Semoga kamu memang tidak mampu.”
Yang menghalangi laki-laki tersebut (ketika menolak perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, pent.) hanyalah kesombongan. Setelah itu, tangan lelaki itu tidak dapat diangkat ke mulutnya. (HR. Muslim no. 2021)
Laki-laki tersebut, yang menolak untuk makan dengan tangan kanan dan meneruskan makannya dengan tangan kiri karena sombong dan keras kepala, kemudian didoakan kejelekan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal ini karena dia tidak memiliki uzur (alasan yang bisa dibenarkan secara syariat). Dan sungguh Allah Ta’ala mengabulkan doa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut, sehingga tangan kanannya menjadi lumpuh dan tidak mampu lagi mengangkat tangan kanannya ke mulutnya setelah hari itu. Maka hadis ini adalah dalil yang sangat jelas bahwa laki-laki tersebut telah meninggalkan kewajiban, terjatuh dalam perbuatan haram, berhak untuk didoakan jelek karena telah menyelisihi hukum (perintah) syariat, serta tidak mau menerima dan patuh terhadap perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sungguh disayangkan ketika makan dan minum dengan tangan kiri telah menjadi kebiasaan yang meluas di kalangan kaum muslimin. Hal ini mungkin disebabkan oleh ketidaktahuan mereka terhadap sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kurangnya perhatian, atau lemahnya kepedulian terhadap adab-adab yang diajarkan oleh syariat. Oleh karena itu, hendaknya kita mengingkari perbuatan tersebut, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengingkari hal itu. Makan dengan tangan kanan itu lebih mudah, lebih baik, dan lebih ringan. Namun, ketaatan kepada setan, godaan setan, dan kecenderungan untuk menyelisihi syariat telah membuat kebiasaan ini terlihat baik dan menarik di mata banyak orang.
Ketika tangan kanan masih memegang makanan, hal itu juga bukan alasan yang dibenarkan untuk minum dengan tangan kiri, sebagaimana yang dilakukan sebagian orang. Misalnya, tangan kanan masih memegang sendok berisi makanan, lalu minum dengan tangan kiri. Yang seharusnya dilakukan adalah dia letakkan dulu sendok tersebut di piring, atau dia pegang sendok tersebut dengan tangan kiri untuk sementara waktu, lalu dia minum dengan tangan kanan.
Demikian pula apabila tangan kanan memegang sendok, tangan kiri memegang garpu. Maka, jangan sampai memasukkan makanan ke mulut dengan tangan kiri yang memegang garpu. Akan tetapi, tangan kiri hanya sekedar membantu, sedangkan untuk mengangkat makanan dan memasukkan ke mulut, tetap dengan tangan kanan.
Atau ketika seseorang tangan kanannya kotor karena makan tanpa sendok, hal ini juga bukan alasan untuk minum dengan tangan kiri. Sebab, seseorang dapat memegang gelas tersebut dengan bantuan tangan kiri. Sehingga gelas dipegang dengan kedua tangan, tangan kanan dan tangan kiri, dan ini hukumnya boleh jika memang terdapat kesulitan memegang gelas atau wadah minuman dengan tangan kanan saja [3].
Namun di zaman kita sekarang, ada gelas-gelas plastik yang memungkinkan untuk dipegang dengan tangan kanan, meskipun mungkin sedikit terpengaruh dengan kotornya tangan kanan tersebut karena dipakai untuk makan. Namun, gelas tersebut biasanya akan dibuang setelah digunakan dan jarang digunakan kembali. Sehingga tidak menjadi masalah kalau kotor, karena setelah itu akan dibuang. [4]
Demikianlah pembasan ini, semoga bermanfaat. [5]
Baca juga: Larangan Mencela Makanan
***
@Fall, 16 Jumadil awal 1446/ 18 November 2024
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel Muslimah.or.id
Catatan kaki:
[1] Al-Mufhim, 5: 295.
[2] Lihat Ar-Risalah, hal. 349, 353; Al-Kaafi, karya Ibnu Abdil Barr, 2: 1138; Al-Muhalla, 7: 424; Al-Irsyad, hal. 538; Iqtidha’ Ash-Shirath Al-Mustaqim, 1: 364; Zaadul Ma’ad, 2: 397; Al-Adaab Asy-Syar’iyyah, 3: 168; Fathul Baari, 9: 522; Al-Futuhaat Ar-Rabbaniyyah ‘ala Al-Adzkar An-Nawawiyah, 5: 181-182.
[3] Lihat pembahasannya bolehnya minum dengan dua tangan di sini: Makan dengan 2 Tangan
[4] Asy-Syarhul Mumti’, 12: 362.
[5] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 449-451). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.