Telah kita ketahui bahwasanya hukum haji dan umrahnya anak yang belum balig adalah sah sebagai haji dan umrah sunah, dan hal tersebut belum menggugurkan kewajibannya atas haji dan umrahnya. Ketika dia sudah balig, dia wajib melaksanakan haji dan umrahnya ketika mampu.
Lalu, bagaimana cara anak haji dan berumrah, sedangkan dia masih lemah, dan belum mengerti?
Tamyiz atau Belum Tamyiz
Para ulama sepakat tentang wajibnya niat ihram sejak anak memulai umrah atau hajinya (nusuk) sebagaimana orang yang sudah balig. Namun, para ulama membedakan antara anak kecil yang tamyiz dan belum tamyiz. Indikator anak sudah tamyiz atau belum adalah dia sudah mengerti jika diajak bicara dan bisa menjawabnya dengan baik. Untuk anak yang sudah tamyiz, maka dia bisa ihram sendiri dengan izin walinya, dan sah ihramnya tersebut berdasarkan umumnya pendapat ulama.
Ihramnya anak kecil yang belum tamyiz, ulama sepakat dia tidak bisa mengihramkan dirinya sendiri, akan tetapi walinya yang mengihramkannya dengan cara dia meniatkan untuk anaknya melakukan manasik haji.
Apakah walinya harus melakukan ihram terlebih dahulu ataukah tidak?
Di antara dua pendapat, yang shahih adalah tidak perlu mengihramkan dirinya terlebih dahulu. Maka, berdasarkan pendapat ini, wali meniatkan ihram untuk anaknya, boleh dalam keadaan dia sedang ihram juga atau tidak, baik dia sudah melaksanakan haji untuk dirinya sendiri ataukah belum. Ini adalah mazhab Hanabilah dan yang lainnya. Hal ini dikarenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menjelaskan ketika seorang wanita yang haji bersama anaknya yang masih kecil dalam keadaan sudah berhaji ataukah belum.
Tata Cara Haji dan Umrah untuk Anak
Adapun tata cara anak kecil ketika ihram, maka wali memandikannya dengan tujuan untuk melakukan ihram, dan tidak menggunakan pakaian yang berjahit, kemudian memakaikannya kain ihram atasan (izar), bawahan (rida), sandal jika dia sanggup berjalan sendiri, memakaikannya wewangian sebelum ihram, dan membersihkannya. Begitu pula perempuan, akan tetapi perempuan tidak dilarang untuk mengenakan pakaian yang berjahit. Kemudian anak kecil memulai ihram dengan izin walinya, jika anak tersebut sudah tamyiz. Jika belum tamyiz, maka wali mengihramkannya sebagaimana sebelumnya. Jika anak tersebut masih belum kuat untuk melakukan ibadahnya, maka walinya yang melakukan untuknya. Jika anak belum bisa bertalbiyyah, maka wali bertalbiyyah untuknya. Hal ini didasari oleh hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu
خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم، ومعنا النساء والصبيان، فلبينا عن الصبيان ورمينا عنهم
Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan bersama kami ada seorang wanita bersama anaknya, kemudian kami bertalbiyyah untuk anak tersebut dan kami melempar jumrah untuknya. (H.R Ahmad dan Ibnu Majah)
Wali harus memperhatikan anaknya agar menjauhi perkara-perkara yang diharamkan ketika ihram, semisal memakai wewangian, memakai pakaian yang berjahit, menutup kepala (untuk laki-laki), memotong rambut, memotong kuku, berburu, menutup wajah (untuk perempuan), dan wanita tidak terlarang untuk menutup kepalanya
Baca juga: Apakah “Hijrahku” Jujur Kepada Allah?
Jika anak tersebut melakukan sesuatu yang terlarang di dalam ihram
Apakah konsekuensinya sama seperti orang dewasa? Ulama berselisih pendapat akan hal ini, dan terdapat dua pendapat. Pendapat yang shahih, anak tersebut tidak menanggung apa pun dan tidak ada kewajiban fidyah padanya, dan ini adalah pendapat mazhab Hanifiyyah dan Ibnu Hazm dan penulis kitab Al-Furu’ dari kalangan Hanabilah.
Jika anak kecil ihram, apakah dia wajib menyempurnakan ihramnya?
Ulama berselisih pendapat, dan ada dua pendapat. Pendapat yang shahih adalah anak tersebut tidak diwajibkan apapun dari apa yang sudah lewat baik itu berupa hadyu, kafarat dan lainnya, hal ini karena anak kecil tidaklah ada padanya tanggungan ibadah, dan inilah yang memudahkannya. Mungkin walinya mengira bisa membawa anaknya haji dengan mudah, namun ternyata tidak demikian. Ini adalah mazhab Hanifiyyah dan penulis kitab Al-Furu’ dari kalangan Hanabilah. Pendapat ini juga yang dipilih oleh ulama kontemporer, yakni Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ta’ala.
Adapun ketika tawaf, jika dia mampu berjalan sendiri, maka dia berjalan, jika tidak bisa, maka bisa digendong, dan hal tawafnya sah, baik untuk anak maupun walinya, dan ini adalah pendapatnya Hanifiyyah, karena keduanya tawaf dengan niat yang benar, begitu pula ketika dia menggendongnya di Arafah. Dikatakan di dalam Kunuzil Haqaa-iq: disebutkan oleh Al-Asbijaabii: dan siapa yang tawaf dengan digendong, maka sah tawafnya baik yang digendong, maupun yang menggendong.
Hal ini berdasarkan perkataan Nabi shallalllahu ‘alaihi wasallam kepada seorang wanita yang bertanya padanya, “Apakah (anak ini) boleh berhaji?”. Nabi menjawab, “Ya, dan untukmu pahala”. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memberikan penjelasan apakah wanita dan anaknya tersebut tawaf sendiri, dan sai sendiri, ataukah memungkinkannya untuk tawaf dengan digendong bersamaan, dan Nabi tidak mungkin mengakhirkan penjelasan ketika sudah selesai kebutuhannya. Hal ini menunjukkan bahwa cukuplah satu kali tawaf bagi keduanya dan satu kali sai bagi keduanya, dan dia boleh tawaf dan sai sambil menggendongnya.
Jika anak tersebut sudah tamyiz, maka walinya memerintahkannya untuk salat sunah dua rakaat setelah tawaf. Jika anaknya belum tamyiz maka wali tidak perlu mensalatinya, dan ini adalah pendapat Jumhur.
Pada wukuf di Arafah, bermalam di Muzdalifah dan Mina, anak tersebut wajib melakukannya sebagaimana orang dewasa. Anak kecil dan walinya boleh untuk bergegas mendahului orang lain pada malam di Muzdalifah dan melempar jumrah ‘aqabah setelah tengah malam. Hal ini didasari dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia mengatakan,
أنا ممن قدم رسول الله صلى الله عليه وسلم ليلة المزدلفة في ضعفة أهله
Aku termasuk orang yang mendahului Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada malam di Muzdalifah karena lemahnya keluarganya. (Muttafaqun ‘alaihi)
Kemudian wali mencukur atau memotong rambut anaknya, dan mencukur lebih utama. Untuk perempuan maka cukup dipotong sekitar satu inci. Adapun ketika melempar jumrah, jika anak tersebut mampu melempar sendiri, maka dia lakukan sendiri atas perintah walinya, jika tidak bisa, maka wali melemparkan jumrah untuk anaknya.
Dan kami meminta kepada Allah haji yang diterima dan dosa yang diampuni. Allahu a’lam
Baca juga: Sahkah Haji atau Umrahnya Anak Kecil?
—
Penulis: Triani Pradinaputri
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
Diterjemahkan dengan tambahan dari https://www.islamweb.net/ar/fatwa/28354