Ketika hati bergejolak ingin menemukan kebenaran dalam agama ini, kita “berhijrah”, mencari kebenaran. Hijrah di sini bukanlah dengan makna yang sebenarnya, yaitu pindah dari negeri kafir ke negeri Islam. Hijrah di sini maksudnya adalah keinginan berubah untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Belajar ilmu agama, berteman dengan orang-orang saleh atau salehah, hingga akhirnya merasa lebih dekat kepada Allah. Tak jarang air mata mengalir karena merenungi dosa-dosa yang telah lalu, mungkin itu karena ketidaktahuan, ataupun karena malu untuk belajar. Mungkin juga karena keluarga dan lingkungan yang kurang mendukung. Dan akhirnya, kita menemukan lingkungan yang baik, teman-teman yang baik yang mendukung kita dalam “hijrah” ini. Alhamdulillah…
Satu tahun, dua tahun, atau mungkin lima tahun, sudah mulai futur. Semangat belajar yang dahulu membara mulai padam. Pipi yang basah karena air mata yang mengalir sebab merenungi dosa, dan mendengar ayat-ayat Allah pun sudah mulai mengering. Merasa diri lebih baik dan lebih baik, mendorong kita untuk akhirnya merendahkan orang lain, yang mungkin belum Allah berikan hidayah dan kesempatan untuk menempuh perjalanan hijrah seperti kita.
Ke manakah itu semua? Semangat itu? Air mata itu? Ketenangan hati itu? Padahal aku sudah hijrah?
Apakah hijrahku sudah benar? Apakah hijrahku jujur kepada Allah?
Mari Kita Kembali Merenungi Niat Kita
Di dalam hadis tentang niat, hadis yang mahsyur yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إنَّما الأعمالُ بالنِّيَّاتِ وإنَّما لِكلِّ امرئٍ
“Sesungguhnya, perbuatan itu tergantung niat, dan balasannya sesuai dengan apa yang dia niatkan.” (H.R Bukhari dan Muslim)
Niat secara bahasa adalah tujuan. Dan hal inilah yang membedakan antara ibadah-ibadah. Jenis fardhu satu dan yang lainnya, atau fardhu dan sunnah. Niatlah yang membedakan suatu amalan itu berupa ibadah ataukah hanya rutinitas saja.
Ibnu Rajab menjelaskan, “Hadis ini menyampaikan bahwa perbuatan itu tidak akan terjadi kecuali sesuai dengan niatnya. Jika dia meniatkan kebaikan, maka hasilnya adalah kebaikan. Jika dia meniatkan keburukan, maka hasilnya adalah keburukan.” (Fathul Qawiyyil Matiin, Hal. 11)
Maka, perlu diperhatikan untuk penuntut ilmu agar belajar dengan mengharapkan rida Allah dan negeri akhirat, menghilangkan kebodohan dari dirinya, dan orang-orang di sekitarnya, menghidupkan dan menjaga agama. Karena terjaganya agama adalah dengan ilmu. Seseorang tidak akan bisa dikatakan zuhud dan takwa jika disertai dengan kebodohan. (Ta’limul Muta’allim, hal. 20)
Mungkin seiring lamanya waktu, niat kita belajar dan beramal itu tidak sama seperti apa yang kita niatkan di awal hijrah kita. Maka kita harus kembali memperbaiki niat dan meluruskan niat kita dalam menuntut ilmu, belajar, beramal dan berdakwah. Niatkan semua ini karena Allah semata, kemudian agar kita memperoleh pahala yang banyak, menjadi pribadi yang lebih baik. Amalan ibadah yang kita lakukan, salat, puasa, membaca Al-Qur’an dan zikir yang kita lakukan bukanlah hanya rutinitas biasa, akan tetapi amalan ibadah yang kita niatkan ikhlas kepada Allah.
Niat itu Perlu Kejujuran
Kejujuran terlihat dari ilmu dan amal, akidah yang benar. Jadi, jujur itu bukanlah semata-mata apa yang ada di dalam hati saja, akan tetapi harus berdampak pada anggota badan seorang hamba. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam,
ألا وإنَّ في الجَسَدِ مُضْغَةً، إذا صَلَحَتْ، صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ، وإذا فَسَدَتْ، فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ، ألا وهي القَلْبُ
“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh ini ada segumpal daging yang apabila itu baik, maka akan baik pula seluruh tubuh. Jika ia rusak, maka akan rusak juga seluruh tubuh. Ketahuilah, sesuatu itu adalah Al-Qalb (hati).” (H.R Bukhari dan Muslim)
Dan kejujuran inilah yang sering kali diuji oleh Allah. Allah ta’ala berfirman,
الٓمّٓ ۚ(1) اَحَسِبَ النَّاسُ اَنۡ يُّتۡرَكُوۡۤا اَنۡ يَّقُوۡلُوۡۤا اٰمَنَّا وَهُمۡ لَا يُفۡتَـنُوۡنَ(2) وَلَقَدۡ فَتَـنَّا الَّذِيۡنَ مِنۡ قَبۡلِهِمۡ فَلَيَـعۡلَمَنَّ اللّٰهُ الَّذِيۡنَ صَدَقُوۡا وَلَيَعۡلَمَنَّ الۡكٰذِبِيۡنَ (3)
“Alif lām mīm. Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, “Kami telah beriman,” dan mereka tidak diuji? Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta.” (Q.S Al-Ankabut: 1-3)
Kejujuran Seorang Hamba Pasti Diuji
Dunia ini adalah medan ujian, yang di mana Allah pun juga menguji umat sebelumnya agar terbedakan antara orang-orang yang berada di atas kebenaran dan kebatilan, orang-orang yang jujur dan dusta. Dan di antara tanda-tanda kejujuran seseorang kepada Allah ta’ala adalah ketika orientasi terbesar dalam hidupnya adalah akhirat, dan tanda seseorang tidak jujur dalam hijrahnya adalah ketika orientasi terbesar dalam hidupnya adalah dunia dan bukan akhirat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa agar dunia tidak menjadikannya sesuatu yang menjadi cita-cita terbesar. Dalam doa yang panjang, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa,
ولَا تَجْعَلْ الدنيا أكبرَ هَمِّنَا
“(Ya Allah) Janganlah jadikan dunia orientasi terbesar kami.” (H.R At-Tirmidzi No.3502)
Kejujuran adalah sebuah kedudukan yang sangat agung di sisi Allah ta’ala. Kejujuran, dan kebalikannya yakni kedustaan, kedua hal tersebut berpusat di hati. Segala kebaikan sebabnya adalah kejujuran hati dan segala keburukan sebabnya adalah kedustaan hati.
Maka perlu kita renungkan. Bisa jadi futurnya dan berpalingnya kita dari perjuangan menuntut ilmu dan amal dikarenakan niat yang sudah berubah dan ketidakjujuran dalam amal. Bisa jadi kita katakan bahwa kita ikhlas karena Allah, akan tetapi sebenarnya kita dusta. Wal’iyadzubillah.
يا مقلب القلوب ثبت قلبي على دينك، يا مصرف الفلوس ثبت قلوبنا على طاعتك
Wahai pembolak-balik hati, teguhkan lah aku di atas agama-Mu, Wahai yang membelokkan hati, kokohkanlah kami di atas keta’atan kepada-Mu. Aamiin.
Baca juga: Siapakah yang Paling Berhak Merasakan Hijrahku? (Bag. 1)
—
Penulis: Triani Pradinaputri
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
- Al-Badr, Abdurrazaq bin Abdul Muhsin, 2014 (1435 H), Ash Shidqu Ma’a Allah, Daarul Fadhiilah. Aljazair.
- Al-Badr, Abdurrazaq bin Abdul Muhsin, 2010, Fathul Qawiyyil Matiin Fii Syarhil Arba’iin, Daarul Furqan, Kairo.
- Az-Zarnuji, Al-Imam Burhanuddin (Wafat 591H), Ta’liimul Muta’allim Thariiqat Ta’allum, Maktabah At-Turmusi Litturats, Jakarta.