Dewasa ini, kita sering membaca dan mendengar istilah ‘mental health’, baik di media sosial maupun ketika berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Topik tentang mental health (kesehatan mental) memang akhir-akhir ini menjadi isu yang hangat diperbincangkan di tengah-tengah masyarakat. Bertambahnya jumlah kasus depresi, kecemasan, dan gangguan psikis lainnya, menaikkan kesadaran akan pentingnya edukasi terhadap topik kesehatan mental ini. Terutama di kawula muda, yang terpapar berbagai informasi melalui internet dan media sosial setiap harinya. Konten-konten yang tidak bermanfaat seperti flexing (memamerkan pencapaian, kekayaan, atau gaya hidup mewah), cyberbullying (perundungan dunia maya), dan sebagainya, seringkali menjadi penyebab munculnya low self-esteem (pandangan negatif terhadap diri sendiri). Termasuk juga tuntutan untuk memiliki banyak followers (pengikut), likes (tombol suka), dan comments (komentar) pada media sosial. Lantas bagaimana seorang muslim dapat menjaga kestabilan mentalitasnya terutama di zaman digital seperti saat ini? Kiat apa saja yang dapat dilakukan?
Memahami hakikat kehidupan
Pertama-tama, hendaknya seorang muslim menyadari bahwa hakikat kehidupan di dunia ini adalah sebuah ujian yang diberikan oleh Allah, agar Dia mengetahui siapa di antara hamba-Nya yang akan beriman dan siapa yang kufur, siapa yang terbaik amalnya dan siapa yang membangkang lagi durhaka. Hal ini sebagaimana firman Allah,
إِنَّا خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ مِن نُّطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَّبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَٰهُ سَمِيعًۢا بَصِيرًا
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya, karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.” (QS. Al-Insan: 2)
Allah tidak hanya menguji manusia dengan kesusahan maupun kesulitan, namun juga dengan kelapangan dan kenikmatan. Allah Ta’ala berfirman,
وَنَبْلُوكُم بِٱلشَّرِّ وَٱلْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Anbiya: 35)
Firman-Nya (yang artinya), “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan”. Maksudnya, Kami mengujimu kadang dengan musibah-musibah, dan kadang dengan berbagai nikmat. Lalu Kami lihat, siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa.
Hal ini sebagaimana kata ‘Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, “Kami akan menguji kamu” (وَنَبْلُوكُم). Dia mengatakan, yakni memberi cobaan kepadamu, “Dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan” (بِٱلشَّرِّ وَٱلْخَيْرِ فِتْنَة). Kadang-kadang dengan kesulitan dan kadang-kadang dengan kelapangan, kadang sehat, dan kadang sakit. Allah menguji pula dengan kekayaan dan kemiskinan, dengan halal dan haram, dengan ketaatan dan kedurhakaan, dan juga dengan petunjuk dan kesesatan. Dan firman-Nya, “Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami” (إِلَيْنَا تُرْجَعُون), untuk Kami berikan balasan kepadamu lantaran amal-amalmu. (Tafsir Ath-Thabari, 18: 440)
Kesadaran bahwa dunia ini adalah tempat ujian, tentu akan lebih menguatkan jiwa. Karena sebuah ujian, jika diberitahukan informasi tentangnya terlebih dahulu, tentu kita akan lebih bersiap untuk menghadapinya. Berbeda jika ujian tersebut dilakukan secara tiba-tiba atau mendadak.
Beriman kepada takdir
Beriman kepada takdir merupakan di antara pokok keimanan yang sangat penting. Ia merupakan rukun iman yang keenam, dan mencakup keimanan kepada takdir yang baik maupun yang buruk.
Dengan beriman kepada takdir, akan terasa lebih ringan bagi seorang muslim untuk menjalani kehidupan di dunia ini. Baik ketika dihadapkan dengan takdir yang membahagiakan maupun sebaliknya. Sebab ia meyakini bahwa Allah adalah Rabb yang Maha Mengetahui yang terbaik bagi hamba-Nya dan Allah adalah Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada setiap makhluk-Nya. Allah ‘Azza wa jalla berfirman,
عَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)
Allah Ta’ala juga berfirman,
إِنَّ ٱللَّهَ بِٱلنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَّحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah: 143)
Menyadari adanya nikmat di balik musibah
Dalam menghadapi musibah dan kondisi sulit lainnya, Islam tidak melarang pemeluknya untuk berekspresi atau mengungkapkan perasaan dan isi hati. Selama hal tersebut dilakukan sewajarnya dan tidak berlebih-lebihan. Karena merasa sedih dan meneteskan air mata adalah hal yang wajar bagi setiap manusia. Sebagaimana Nabi Ya’qub yang bersedih karena terpisah dengan anaknya, Nabi Yusuf ‘alaihissalam. Hingga dikatakan di dalam Al-Qur’an,
وَٱبْيَضَّتْ عَيْنَاهُ مِنَ ٱلْحُزْن
‘Dan kedua matanya (Ya’qub) menjadi putih karena kesedihan.’ (QS. Yusuf: 84)
Begitu pula dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersedih dan meneteskan air mata ketika berpisah dengan putranya, Ibrahim. Hanya saja, kita perlu menyadari bahwa di balik setiap musibah dan kesulitan yang kita hadapi, ada begitu banyak nikmat yang patut untuk disyukuri. Salah satunya adalah hadirnya kesusahan tersebut sebagai penghapus dosa-dosa yang kita miliki. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ مُصيبَة تُصِيبُ الْمُسْلَمَ إِلَّا كَفْرَ اللَّهُ بِهَا عَنْهُ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا
“Tidak ada musibah yang menimpa seorang muslim, melainkan karenanya Allah akan menghapus dosanya, walaupun (sekedar) duri yang menusuknya.” (HR. Bukhari no. 5640)
Baca juga: Kaitan Islam dan Kesehatan Mental
Seimbang dalam kehidupan
Dalam ilmu psikologi barat dikatakan bahwa untuk menjaga kesehatan mental, seseorang hendaknya menerapkan gaya hidup secara holistik. Dimulai dengan melakukan olahraga secara teratur, mengkonsumsi makanan yang sehat, produktif atau bijak mengatur waktu, dan sebagainya.
Tentu hal ini telah diajarkan di dalam agama Islam. Sebagaimana pembenaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atas perkataan Salman Al-Farisi kepada Abu Darda’. Ketika Salman berkata kepadanya (Abu Darda’),
إِنَّ رَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلَنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلَأَهْلكَ عَلَيْكَ حَقًّا فَأَعْط كُلَّ ذِي حَقٌّ حَقَّه
“Sesungguhnya Tuhanmu memiliki hak (yang harus kamu penuhi); dirimu juga memiliki hak yang harus kamu penuhi; dan istrimu juga memiliki hak (yang harus kamu penuhi). Karenanya, berikanlah (tunaikanlah) kepada setiap yang berhak akan haknya masing-masing.” (HR. Bukhari no. 6139)
Melakukan berbagai amalan untuk meraih kelapangan dada
Sebagai seorang muslim, wajib bagi kita untuk meyakini bahwa kestabilan mental, ketenangan, dan kelapangan dada merupakan anugerah ilahi, pemberian dari Allah Tabaraka wa ta’ala. Dan dapat diringkas bahwa seluruh sebab untuk meraih kestabilan mental, ketenangan dalam kehidupan, dan dada yang lapang, hanya kembali kepada dua poin saja:
Pertama, bahwa hal tersebut tidak bisa didapatkan kecuali dengan sebab taufik dari Allah.
Kedua, bahwa anugerah yang berasal dari Allah ini tidak akan terwujud kecuali dengan taat kepada Allah dan komitmen dengan syariat-Nya. Ini adalah dua sebab yang paling pokok.
Selain itu, seorang muslim dapat melakukan berbagai amal ibadah yang dengannya ia meraih ketenangan dan dada yang lapang. Di antara amalan tersebut adalah mengesakan Allah dan memurnikan ibadah hanya kepada-Nya, senantiasa berzikir mengingat Allah, menuntut ilmu, senantiasa berbuat baik kepada sesama, menjauhi penyakit-penyakit hati, tidak berlebihan dalam perkara-perkara mubah, memperbanyak doa, dan menjauhi dosa-dosa. Serta mengambil teladan kehidupan dari manusia yang paling lapang dadanya, paling bagus akhlaknya, paling indah perjalanan hidupnya, dan paling bersih hatinya, yaitu Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman mengenai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ
“Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?” (QS. Al-Insyirah: 1)
Demikian beberapa kiat yang dapat penulis uraikan. Tentu jika mengulik lebih dalam lagi, masih banyak ajaran di dalam syariat Islam yang dapat menguatkan jiwadan meninggikan mentalitas. Karena Islam adalah agama yang demikian sempurna.
Semoga Allah memudahkan kita untuk senantiasa beribadah dengan baik kepada-Nya, yang dengan sebab itu Allah menjaga kesehatan dan kestabilan jiwa dan raga kita. Wabillahit taufiq.
Baca juga: Manusia yang Butuh Validasi
***
Penulis: Annisa Auraliansa
Artikel Muslimah.or.id
Catatan kaki:
- Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, Shahih al-Bukhari, Terj. Imam Mudzakir, Lc dan Ma’ruf Abdul Jalil, Jakarta: Pustaka As Sunnah, Cet. I, 2010
- Katsir, Ibnu, Shahih Tafsir Ibnu Katsir, Terj. Tim Pustaka Ibnu Katsir, Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir, Cet. 8, 2014
- Bin ‘Abdul Muhsin Al Badr, ‘Abdurrazzaq. ‘Asyaratu Asbab Linsyirahi As-Shadr.