Mengapa Manusia Butuh Validasi?
Greenberg dalam artikelnya di Psychology Today (31/1/2025) menuturkan, bahwa setiap manusia dilahirkan dalam keadaan lemah, tidak bisa hidup sendiri. Maka, seorang bayi membutuhkan pengasuh dalam membantu kehidupannya, memberi makan, dan memastikan keamanannya. Seiring bertumbuhnya bayi, menjadi anak kecil, dan remaja, maka seseorang itu akan semakin berkembang kemampuannya, dan semakin berkurang rasa butuhnya kepada orang lain. Manusia sudah bisa memakai baju sendiri, bercerita, membaca, mengetahui mana yang baik dan yang buruk, berteman, dan lain-lain.
Namun, tidak cukup sampai di situ, manusia perlu cara untuk mengenali dirinya sendiri. Seorang pakar sosiolog bernama Charles Horton Cooley (1902) membuat teori ‘Looking Glass Self”, yang menyatakan bahwa satu cara kita membentuk pandangan tentang diri kita adalah dengan menginternalisasi bagaimana orang lain memandang kita. Namun, karena kurangnya pengalaman, banyak manusia tidak memiliki keyakinan akan benar atau tidaknya pandangan orang lain terhadap dirinya, yang membuat dia ragu dan tidak dapat mengenali dirinya sendiri. Sehingga, dia pun ragu bagaimana menentukan langkahnya ke depan
Oleh karena itu, manusia membutuhkan orang lain sebagai ‘cermin’ baginya, agar dia dapat mengenali dirinya. Sehingga dia dapat menentukan langkahnya ke depan. Apakah dia pantas untuk diberi perhatian, apakah dia pantas untuk bersedih, apakah dia pantas untuk bercerita? Maka, validasi dari orang lain dibutuhkan agar dia dapat mengenali dirinya dan untuk menentukan langkah apa yang harus ia pilih ke depan.
Ketika Kebutuhan akan Validasi Melampaui Batas
Manusia memang membutuhkan validasi guna menentukan langkahnya ke depan. Namun, semakin dewasa, kebutuhan seseorang terhadap validasi semakin berkurang karena dia sudah bisa menentukkan langkahnya sendiri. Sebagian besar dari kita masih menginginkan pelukan, pujian, perlindungan, dan kepastian sesekali. Namun, ini bersifat opsional, dan orang dewasa yang sehat mental tidak akan hancur tanpa dukungan eksternal seperti ini.
Salah satu ciri mencolok dari orang yang memiliki gangguan kepribadian narsistik adalah mereka belum melupakan kebutuhan mereka akan orang lain untuk memvalidasi rasa harga diri mereka. Dengan cara ini, mereka masih seperti anak kecil, meskipun mereka mungkin sangat kompeten dalam bidang kehidupan lainnya.
Hal ini pun membuat seseorang menjadi terlalu membutuhkan perhatian, dia harus menjadi pusat perhatian, menjadi yang paling spesial, yang paling harus diterima dalam pandangan orang lain. Ketika dia tidak mendapatkan kebutuhannya tersebut, maka dia akan merendahkan dan menghancurkan harga diri orang lain. Mungkin dengan berita bohong, adu domba dan sebagainya. Bahkan dia pun membuat kepalsuan agar dia menjadi orang yang paling diterima dan paling spesial di mata orang lain. Hingga muncul pada orang seperti ini sifat sombong, ujub, bahkan dusta.
Muncul Sifat Ujub, Sombong, bahkan Dusta
Ujub adalah ketika seseorang merasa bangga dengan apa yang ia punya. Adapun sombong adalah merasa bangga dengan apa yang dia punya disertai menolak kebenaran dan meremehkan orang lain. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْتَكْبِرِينَ
“Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang menyombongkan diri.” (QS. An-Nahl: 23)
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.“ (HR. Muslim no. 91)
Kemudian, tak jarang mereka membuat kepalsuan pada diri mereka demi diterimanya mereka di mata orang lain. Allah Ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ, كَبُرَ مَقْتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُوا۟ مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaff: 2-3)
Orang yang Beriman Bukanlah Orang yang Mencari Pujian Manusia
Orang yang beriman tidaklah goyah dengan pujian manusia dan juga tak akan tertipu olehnya. Jika ia melakukan ketaatan dan dia dipuji, maka ketaatan itu tidak sengaja ia tambah-tambahkan agar bertambahlah pujian orang kepada dirinya. Yang bertambah hanyalah sifat tawaduk dan rasa takut kepada Allah. Ibnul Jauzi rahimahullah mengatakan,
ترك النظر إلى الخلق ومحو الجاه من قلوبهم بالعمل وإخلاص القصد وستر الحال وهو الذي رفع من رفع
“Meninggalkan ketenaran pada manusia, menghapus kebodohan dari hati dengan amal dan mengikhlaskan niat, menutupi apa yang ada sekarang, itulah yang dapat meninggikan derajat seseorang.” (Shaidul Khatir, hal 264)
Syaikh Abdurrazaq bin Abdil Muhsin Al-Badr hafizhahullah mengatkaan, “Kejujuran dalam amal adalah sesuatu yang sangat agung, karena semua amal baik yang terlihat pada seseorang itu dilihat dari kejujurannya kepada Allah. Begitupun kebalikannya, semua kerusakan yang terlihat pada seseorang akan kembali pada kebohongan yang ada di hatinya.”
Beramallah karena Allah, bukan karena Manusia
Hudzaifah Al-Mar’asyi radhiallahu ‘anhu mengatakan,
الإخلاص أن تستوي أفعال العبد في الظاهر والباطن
“Ikhlas adalah ketika amal yang terlihat sama dengan amal yang tidak terlihat.”
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah mengatakan,
ترك العمل من أجل الناس رياء, والعمل من أجل الناس شرك, والإخلاص: أن يعافيك الله منهما
“Meninggalkan amal karena manusia adalah riya, dan mengerjakan amal karena manusia adalah kesyirikan. Ikhlas adalah ketika Allah membebaskanmu dari keduanya.”
Al-Junaid rahimahullah mengatakan,
الإخلاص سر بين الله تعالى وبين العبد لا يعلمه ملك فيكتبه, لا شيطان فيفسده, ولا الهوى فيميله
“Ikhlas adalah hal yang tersembunyi antara Allah Ta’ala dan hamba. Tidak ada penguasa yang bisa mencatatnya, tidak pula setan yang bisa membatalkannya, dan tidak pula hawa nafsu yang membelokkannya.”
Allahu a’lam.
Baca juga: Jauhilah Ujub, Cinta Popularitas, dan Suka Berpura-Pura
***
Penulis: Triani Pradinaputri
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
- Al-Badr, Abdurazzaq bin Abdil Muhsin. 1435 H. Ash-Shidqu Ma’a Allah. Darul Fadhilah. Al-Jazair
- Al-Qasim, Abdul Muhsin bin Muhammad. 1443 H. Adabut Thalibil Ilmi. Maktabah Malik Fahd. Madinah
- Greenberg, Ellnor. 2025. Why Do Narcissists Need Other People to Validate Them?. Psychology Today. Diakses tanggal 26 April 2025
- Ibnu Taimiyyah, Syaikhul Islam Taqiyuddin Ahmad. Cetakan thn 2000. At-Tuhatul ‘Iraqiyyah fiil A’malil Qolbiyyah. Maktabah Ar-Rusyd. Riyadh