Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi
Pertanyaan:
Sebutkan sebagian hadis-hadis dalam masalah meminta izin kepada wanita yang berstatus gadis dan meminta persetujuan wanita yang berstatus janda (ketika wali hendak menikahkannya, pent.).
Jawaban:
Di antara dalil-dalil tersebut adalah berikut ini:
Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari (no. 5136) dan Muslim (no. 1419) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ تُنْكَحُ الأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ، وَلاَ تُنْكَحُ البِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَكَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: أَنْ تَسْكُتَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Janganlah menikahkan seorang janda sebelum meminta persetujuannya, dan janganlah menikahkan anak gadis sebelum meminta izin darinya.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mengetahui izinnya?” Beliau menjawab, “Dia diam.”
Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2100) dengan sanad yang sahih dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَيْسَ لِلْوَلِيِّ مَعَ الثَّيِّبِ أَمْرٌ، وَالْيَتِيمَةُ تُسْتَأْمَرُ، وَصَمْتُهَا إِقْرَارُهَا
“Seorang wali tidak memiliki hak atas janda [1], sedangkan anak gadis (yang sudah baligh) harus diminta persetujuannya, dan diamnya adalah persetujuannya.”
Dalam riwayat Muslim (no. 1421) disebutkan,
الْأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا، وَالْبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ فِي نَفْسِهَا، وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا
“Wanita janda lebih berhak terhadap dirinya sendiri daripada walinya, dan wanita gadis harus dimintai izin atas dirinya, dan izinnya adalah diamnya.”
Imam Bukhari (no. 5137) dan Muslim (no. 1420) meriwayatkan dari Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,
يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ البِكْرَ تَسْتَحِي؟ قَالَ: رِضَاهَا صَمْتُهَا
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya gadis itu merasa malu (untuk menyatakan persetujuan)?” Beliau bersabda, “Persetujuannya adalah diamnya.”
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari (no. 5138) dari Khansa’ binti Khidzam Al-Anshariyah radhiyallahu ‘anha,
أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهْيَ ثَيِّبٌ فَكَرِهَتْ ذَلِكَ، فَأَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ نِكَاحَهُ
“Bahwa ayahnya menikahkannya sementara ia adalah seorang janda dan ia tidak menyukai hal itu. Dia datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau pun membatalkan pernikahannya.”
Baca juga: Hukum Khotbah Nikah
Pertanyaan:
Sebutkan kesimpulan hukum berkaitan dengan meminta izin kepada wanita gadis dan janda ketika hendak menikahkannya.
Jawaban:
Ringkasan kesimpulan di dalam masalah ini adalah sebagai berikut ini:
Pertama: Wanita gadis yang masih kecil dan belum balig
Sebagian ulama membolehkan untuk menikahkannya tanpa izin darinya, karena tidak ada makna (alasan) untuk meminta izin, karena dia masih kecil dan belum balig. Sehingga dia hampir-hampir tidak tahu apapun yang merupakan maslahat untuknya. Para ulama berdalil bahwa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menikahkan Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika dia masih kecil, belum balig.
Adapun sebagian ulama yang lain, yaitu jumhur (mayoritas) ulama, berpendapat bahwa wali hendaknya meminta izin kepadanya, berdasarkan cakupan makna umum dari hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
وَلاَ تُنْكَحُ البِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
“Janganlah menikahkan anak gadis sebelum meminta izin darinya.” [2]
Pendapat yang membuatku tenteram adalah bahwa anak kecil jika sudah memiliki akal tentang pernikahan, bisa mengetahui dan memahami (makna) pernikahan, maka hendaknya ayahnya meminta izin darinya berdasarkan cakupan makna umum dari hadis tersebut. [3] Adapun hadis Aisyah, di dalamnya tidaklah ditetapkan atau dinafikan bahwa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu tidak meminta izin darinya.
Kedua: Wanita gadis yang sudah balig
Adapun wanita gadis yang sudah balig, maka wajib dimintai izin, berdasarkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
وَلاَ تُنْكَحُ البِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
“Janganlah menikahkan anak gadis sebelum meminta izin darinya.”
Juga hadis-hadis lain yang terdapat dalam masalah ini.
Jika walinya menikahkannya tanpa izin (persetujuan) darinya, atau walinya meminta persetujuan namun wanita gadis tersebut enggan (tidak mau), maka dalam hal ini para ulama memiliki beberapa pendapat:
Jika walinya selain ayah atau kakek, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menukil adanya ijmak bahwa untuk wanita gadis yang sudah balig, wali selain ayah dan kakek tidak boleh menikahkannya tanpa izin (persetujuan) darinya. Ini berdasarkan ijmak kaum muslimin.
Jika yang menikahkannya adalah ayah atau kakeknya tanpa izin darinya, maka Al-Hafizah Ibnu Hajar rahimahullah menukil di dalam Fathul Bari (9: 193) dari Al-Auza’i, Ats-Tsauri, Hanafiyah, dan disetujui oleh Abu Tsaur, bahwa tetap disyaratkan meminta izin darinya. Jika wali tetap menikahkannya tanpa izin, maka akad nikah tersebut tidak sah.
Sedangkan ulama yang lain berpendapat bahwa ayah boleh menikahkan anak gadisnya yang sudah balig tanpa izin (persetujuan) darinya. Al-Hafizh Ibnu Hajar menukil pendapat ini dari Ibnu Abi Laila, Malik, Al-Laits, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq. Di antara hujah (alasan) mereka adalah mafhum (makna tersirat) hadis dalam masalah ini, yang menjadikan wanita janda lebih berhak terhadap dirinya dibandingkan walinya. Maka mafhum hadis ini menunjukkan bahwa wali dari anak yang masih gadis (dan sudah balig) lebih berhak dibandingkan anak gadis itu sendiri. Asy-Syafi’i rahimahullah memaknai hadis dalam masalah ini bahwa perintah untuk meminta izin itu adalah untuk menenteramkan jiwa (tapi tidak wajib, pent.).
Adapun yang tampak lebih tepat menurutku –wallahu a’lam- bahwa wanita gadis yang sudah balig, jika dimintai persetujuannya dan enggan (tidak mau) serta menolak, maka tidak boleh dipaksa menikah berdasarkan kandungan hadis. [4]
Adapun pembedaan antara gadis dan janda dalam hadis, maka maksimal kandungan maknanya adalah bahwa wanita janda itu memiliki hak yang lebih luas dalam masalah pernikahan, dari sisi bahwa dia harus mengungkapkan dan mengucapkan persetujuan atau ridanya terhadap laki-laki yang meminangnya. Demikianlah yang diriwayatkan dari sejumlah besar ulama.
An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
وأما الثيب فلا بد فيها من النطق بلا خلاف
“Adapun wanita janda, maka dia harus mengungkapkan langsung persetujuannya, tanpa ada khilaf (di antara para ulama).”
Ketiga: Wanita janda
Berkaitan dengan wanita janda [5], maka Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menukil ijmak kaum muslimin bahwa wali tidak boleh menikahkannya tanpa izin darinya, baik itu ayah ataupun yang lainnya. Wallahu a’lam. [6]
Baca juga: Hukum Melakukan Akad Nikah ketika Safar (Bepergian Jauh)
***
@Unayzah, KSA; 15 Zulhijah 1446/ 11 Juni 2025
Penerjemah: M. Saifudin Hakim
Artikel Muslimah.or.id
Catatan kaki:
[1] Perkataan ini dimaknai untuk menekankan hak wanita janda dan juga keharusan untuk mengungkapkan langsung (secara lisan) persetujuannya. Ini untuk mengkompromikan antara hadis ini dengan ayat-ayat dan hadis-hadis yang menunjukkan disyaratkannya wali ketika menikah. (Jadi bukan dimaknai bahwa seorang wanita janda boleh menikahkan dirinya sendiri tanpa wali, pent.)
[2] Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Al-Fath,
والصحيح الذي عليه الجمهور استعمال الحديث في جميع الأبكار بالنسبة لجميع الأولياء
“Dan pendapat yang benar, yang dianut oleh mayoritas ulama (jumhur), adalah mengamalkan (menerapkan) hadis tersebut untuk seluruh gadis terhadap seluruh wali (tanpa ada pengecualian, pent.).”
[3] Namun, jika ayahnya menikahkannya secara paksa, apakah pernikahannya sah? Al-Khiraqi rahimahullah berkata (Al-Mughni, 6: 487),
وإذا زوج الرجل ابنته البكر فوضعها في كفاية فالنكاح ثابت وإن كرهت كبيرة كانت أو صغيرة، أما البكر الصغيرة فلا خلاف فيها قال ابن المنذر: أجمع كل من نحفظ عنه من أهل العلم أن نكاح الأب ابنته البكر الصغيرة جائز إذا زوجها من كفؤ ويجوز له تزويجها مع كراهيتها وامتناعها
“Jika seorang laki-laki menikahkan putrinya yang masih gadis dengan seorang yang sekufu, maka pernikahannya sah, meskipun si anak tidak menyukainya, baik ia sudah dewasa maupun masih kecil. Adapun wanita gadis yang masih kecil, maka tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini. Ibnul Mundzir berkata, “Seluruh ulama yang kami ketahui pendapatnya telah sepakat bahwa seorang ayah boleh menikahkan anak gadisnya yang masih kecil jika ia menikahkannya dengan laki-laki yang sekufu, dan diperbolehkan baginya menikahkannya meskipun anaknya tersebut membenci atau menolaknya.”
Al-Khiraqi rahimahullah berkata,
وليس هذا لغير الأب
“Hal ini tidak berlaku untuk wali selain ayah.”
[4] Karena sejumlah ulama berpendapat bahwa larangan menunjukkan batalnya (tidak sahnya) perbuatan yang dilarang.
[5] Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
واستدل به على أن الصغيرة الثيب لا إجبار عليها لعموم كونها أحق بنفسها من وليها وعلى أن من زالت بكارتها بوطء ولو كان زنا لا إجبار عليها لأب ولا غيره لعموم قوله الثيب أحق بنفسها وقال أبو حنيفة هي كالبكر وخالفه حتى صاحباه
“Dan dijadikan dalil dari hadis ini bahwa wanita janda, meskipun masih kecil, tidak boleh dipaksa (untuk menikah) karena cakupan makna umum dari hadis bahwa ia lebih berhak terhadap dirinya sendiri dibanding walinya. Dan juga dijadikan dalil bahwa perempuan yang telah hilang keperawanannya karena hubungan seksual —meskipun itu zina— tidak boleh dipaksa oleh ayah atau yang lainnya, karena keumuman sabda Nabi ‘wanita janda lebih berhak terhadap dirinya sendiri.’ Abu Hanifah berpendapat bahwa dia sama seperti wanita yang asih gadis, namun pendapat ini ditentang bahkan oleh dua sahabatnya sendiri.”
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam Al-Mughni (6: 494),
والثيب المعتبر نطقها هي الموطوءة في القبل سواء كان الوطء حلالا أو حراما
“Dan yang dimaksud dengan wanita janda (yang tidak perawan atau “tsayyib”) yang ucapan persetujuannya dianggap sah adalah wanita yang telah digauli melalui kemaluannya, baik hubungan itu dilakukan secara halal maupun haram.”
Beliau rahimahullah juga berkata,
وإن ذهبت عذرتها بغير جماع كالوثية أو شدة حيضة أو بأصبع أو عود ونحوه فحكمها حكم الأبكار
“Dan jika kegadisannya hilang bukan karena hubungan seksual, seperti karena terjatuh, haid yang sangat deras, atau karena jari, tongkat, dan semacamnya, maka hukumnya tetap seperti perempuan perawan.”
[6] Diterjemahkan dari Ahkaamun Nikah waz Zifaf, hal. 102-105.