Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi
Pertanyaan:
Jelaskan makna al-kafa’ah (sekufu) dalam masalah nasab (keturunan) dan apakah hal itu dipertimbangkan? Lalu apa makna (maksud) jika hal itu dipertimbangkan?
Jawaban:
Al-kafa’ah (sekufu) dalam masalah nasab (keturunan), maka maksudnya adalah seorang laki-laki (suami) itu semisal dengan perempuan dalam hal nasabnya, misalnya, mereka mengatakan,
Bani Hasyim tidaklah sekufu kecuali dengan sesama Bani Hasyim.
Quraisy [1] tidaklah sekufu kecuali dengan Quraisy.
Bangsa Arab, sebagian mereka adalah sekufu satu sama lain, dan tidak sekufu dengan ‘Ajam (bangsa non-Arab).
Berdasarkan hal ini, orang Arab tidaklah sekufu dengan suku Quraisy, suku Quraisy tidak sekufu dengan Bani Hasyim, hal ini menurut ulama yang mengatakan bahwa sekufu dalam masalah nasab adalah perkara yang harus dipertimbangkan. [2]
Adapun apakah sekufu dalam masalah agama itu harus atau tidak perlu dipertimbangkan, maka jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa hal itu perkara yang dipertimbangkan. Pendapat ini diselisihi oleh sebagian ulama, mereka mengatakan bahwa sekufu dalam nasab itu tidak dipertimbangkan. [3]
Pertanyaan:
Sebutkan sebagian dalil yang mengatakan bahwa sekufu dalam masalah nasab itu tidak dipertimbangkan?
Jawaban:
Di antara dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَاء يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur: 32)
(Di antara dalilnya adalah bahwa) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam -seorang Bani Hasyim- menikahkan dua anak perempuannya dengan ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, yang merupakan seorang Quraisy.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahkan Zainab binti Jahsy radhiyallahu ‘anha, seorang dari Bani Asadiyah, dengan Yazid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu, yang merupakan seorang mantan budak.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahkan Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, seorang mantan budak, dengan Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, seorang perempuan Quraisy.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahkan Al-Miqdad bin Al-Aswad radhiyallahu ‘anhu, seorang mantan budak, dengan Dhiba’ah binti Az-Zubair, seorang perempuan Bani Hasyim.
Salim, seorang budak Abu Hudzaifah, menikah dengan Hindun binti Al-Walid bin ‘Utbah bin Rabi’ah, seorang perempuan Quraisy.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ، لَا يَتْرُكُونَهُنَّ: الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ، وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ، وَالْاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ، وَالنِّيَاحَةُ
“Ada empat perkara khas jahiliyah yang masih melekat pada umatku dan mereka belum meninggalkannya: (1) membanggakan jasa (kelebihan atau kehebatan) nenek moyang; (2) mencela nasab (garis keturunan); (3) menisbatkan hujan disebabkan oleh bintang tertentu; dan (4) niyahah (meratapi mayit).” Diriwayatkan oleh Muslim dari hadis Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu. [4]
Baca juga: Sekufu dalam Masalah Agama
***
@Unayzah, 23 Sya’ban 1446/ 22 Februari 2025
Penerjemah: M. Saifudin Hakim
Artikel Muslim.or.id
Catatan kaki:
[1] Bani Hasyim itu termasuk suku Quraisy, akan tetapi mereka adalah suku Quraisy yang memiliki kedudukan paling tinggi, berdasarkan hadis,
إِنَّ اللهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ، وَاصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ، وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِي هَاشِمٍ، وَاصْطَفَانِي مِنْ بَنِي هَاشِمٍ
“Sesungguhnya Allah telah memilih Kinanah dari keturunan Ismail, dan memilih Quraisy dari Kinanah, serta memilih Bani Hasyim dari Quraisy, dan memilihku dari Bani Hasyim.” (HR. Muslim no. 2276)
[2] Bukanlah maksudnya menurut mereka bahwa hal itu diharamkan, akan tetapi walinya memiliki hak untuk menolak jika (calon) suami tidak sekufu (dengan perempuan yang menjadi perwaliannya).
[3] Dan inilah pendapat yang dipilih oleh beliau, berdasarkan pertanyaan dan jawaban selanjutnya.
[4] Diterjemahkan dari Ahkaamun Nikah waz Zifaf, hal. 75 dan 77.