Teks Hadis
Dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ مِنْ أَشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللَّهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلَ يُفْضِي إِلَى امْرَأَتِهِ وَتُفْضِي إِلَيْهِ ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا
“Sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat ialah seseorang yang menyetubuhi istrinya dan istri bersetubuh dengan suaminya, kemudian suami menyebarkan rahasia (ranjang) mereka.” (HR. Muslim no. 1437)
Kandungan Hadis
Kandungan pertama
Hadis ini merupakan dalil dilarangnya seorang suami menyebarkan atau menceritakan rahasia ranjang dengan istrinya, menceritakan apa yang terjadi antara dia dengan istrinya terkait jimak (hubungan badan), atau mendeskripsikannya dengan detail, misalnya dengan menceritakan ucapan atau perbuatan istrinya saat jimak, dan semacam itu. Demikian pula sebaliknya, istri juga dilarang. Hal ini karena antara laki-laki dan perempuan itu sama dalam hukum syariat, kecuali ada dalil yang mengkhususkannya.
Hadis ini dikuatkan oleh hadis dari Asma’ binti Yazid radhiyallahu ‘anha. Asma’ binti Yazid radhiyallahu ‘anha berkata bahwa dia pernah berada di dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sementara para pria dan wanita sedang duduk-duduk di dekatnya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَعَلَّ رَجُلًا يَقُولُ مَا يَفْعَلُ بِأَهْلِهِ، وَلَعَلَّ امْرَأَةً تُخْبِرُ بِمَا فَعَلَتْ مَعَ زَوْجِهَا
“Mungkin ada seorang pria yang menceritakan apa yang dilakukan bersama istrinya, dan mungkin juga ada seorang wanita yang menceritakan apa yang dilakukan bersama suaminya.”
Orang-orang pun diam membisu. Aku (Asma’) berkata, “Demi Allah, wahai Rasulullah, sesungguhnya mereka melakukannya dan mereka mengatakannya.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
فَلَا تَفْعَلُوا فَإِنَّمَا مِثْلُ ذَلِكَ مِثْلُ الشَّيْطَانُ لَقِيَ شَيْطَانَةً فِي طَرِيقٍ فَغَشِيَهَا وَالنَّاسُ يَنْظُرُونَ
“Jangan lakukan itu, karena hal tersebut seperti setan laki-laki bertemu dengan setan perempuan di jalan, lalu dia menyetubuhinya, sementara orang-orang melihatnya.” (HR. Ahmad, 45: 564-565, namun sanadnya dinilai dha’if oleh Syekh Syu’aib Al-Arnauth)
Syekh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Hadis (riwayat Muslim) ini memiliki penguat, meskipun tidak lepas dari pembicaraan (tentang status kesahihannya), akan tetapi secara keseluruhan saling menguatkan satu sama lain.” (Minhatul ‘Allam, 7: 338)
Dalil terlarangnya hal tersebut dapat ditinjau dari dua sisi:
Pertama: pelakunya disifati sebagai manusia yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah Ta’ala pada hari kiamat.
Kedua: pelakunya disifati sebagai setan laki-laki dan setan perempuan, yang menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah akhlak yang buruk dan tidak tahu malu. Sedangkan orang yang bijak (berakal), mereka tentu akan menggunakan waktunya dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala, hanya berbicara dalam perkara yang ada faidahnya, dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang mendatangkan hukuman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت
“Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berbicara yang baik atau diam.” (HR. Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 47)
Baca juga: Orang Tua Ikut Campur Urusan Rumah Tangga?
Kandungan kedua
Dalam larangan tersebut, terkandung beberapa hikmah yang nyata, antara lain:
Pertama: mendidik suami-istri untuk menjaga rahasia di antara mereka berdua, masing-masing di antara mereka berdua sama-sama menjaga apa yang terjadi di antara keduanya.
Kedua: menjaga lisan dari ucapan yang sia-sia dan tidak ada faidahnya.
Ketiga: penjagaan syariat Islam terhadap rumah tangga dari sebab-sebab yang menyebabkan kerusakan dan kehancuran.
Keempat: motivasi untuk memperlakukan pasangan dengan baik, dan menjauhkan diri dari perbuatan yang buruk kepada pasangan.
Kandungan ketiga
Para ulama menyebutkan bahwa jika ada kebutuhan untuk menyebutkan jimak atau jika memang ada manfaat, maka hal itu diperbolehkan sesuai dengan kadar kebutuhannya. Misalnya, untuk menceritakan kondisi yang terjadi di antara suami-istri tersebut kepada hakim pengadilan, meminta fatwa, atau dalam rangka berobat.
Di antara dalilnya adalah hadis dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, yang mengisahkan istri dari Rifa’ah yang dicerai oleh Rifa’ah, kemudian dinikahi oleh Abdurrahman bin Zubair Al-Qardhi radhiyallahu ‘anhu. Istri Rifa’ah tersebut mengklaim bahwa Abdurrahman bin Zubair itu lemah dalam jimak (impoten). Istri Rifa’ah berkata,
وَاللَّهِ مَا مَعَهُ إِلَّا مِثْلُ الْهُدْبَةِ وَأَخَذَتْ بِهُدْبَةٍ مِنْ جِلْبَابِهَا
“Demi Allah, sesungguhnya anunya seperti ujung kain (maksudnya impoten)”; dia memperagakan dengan memegang ujung jilbabnya.
Abdurrahman bin Zubair radhiyallahu ‘anhu berkata,
كَذَبَتْ وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي لَأَنْفُضُهَا نَفْضَ الْأَدِيمِ وَلَكِنَّهَا نَاشِزٌ
“Demi Allah, ia dusta wahai Rasulullah, sesungguhnya aku dapat ‘menggoyangnya seperti goncangnya bumi’ (maksudnya, memuaskannya di ranjang), akan tetapi ia berbuat nusyuz (membangkang terhadap perintah suami).” (HR. Bukhari no. 5825 dan Muslim no. 1433)
Contoh lainnya adalah hadis dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ketika menceritakan kisah Abu Thalhah bersama istrinya, Ummu Sulaim. Dalam kisah tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada Abu Thalhah,
أَعْرَسْتُمْ اللَّيْلَةَ
“Apakah kalian sudah menjadi pengantin semalaman?” (maksudnya, apakah malam itu Abu Thalhah bersetubuh dengan Ummu Sulaim?)
Abu Thalhah menjawab, “Ya.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan,
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمَا
“Ya Allah, berkatilah mereka berdua.” Kemudian Ummu Sulaim melahirkan seorang anak. (HR. Bukhari no. 5470 dan Muslim no. 2144)
Contoh lainnya, dari ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, “Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang seseorang yang menyetubuhi istrinya, namun tidak keluar air mani, apakah keduanya wajib mandi? Aisyah saat itu duduk bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنِّي لَأَفْعَلُ ذَلِكَ أَنَا وَهَذِهِ ثُمَّ نَغْتَسِلُ
“Aku sendiri pernah melakukan hal itu dengan wanita ini, kemudian kami mandi.” (HR. Muslim no. 350)
Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat.
Baca juga: Wahai Muslimah, Jagalah “Zinah”-mu!
***
@24 Shafar 1446/ 30 Agustus 2024
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslimah.or.id
Catatan kaki:
Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 337-340).