Sudah sepatutnya sebagai seorang yang beriman, kita menghiasi hari-hari kita dengan banyak beristighfar kepada Allah ‘azza wa jalla, memohon ampunan atas dosa-dosa, kelalaian, dan kekurangan kita dalam beribadah kepada Allah.
Beristighfar dengan harapan Allah mengampuni dan memaafkan banyak kesalahan kita, menerima amalan kita dan menutupi aib-aib kita.
Istighfar dalam Al-Quran dan As-Sunnah
Banyak redaksi istighfar yang terdapat pada Al-Quran maupun As-Sunnah. Di dalam Al-Quran misalnya:
رَبَّنَا ٱغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا فِىٓ أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَٱنصُرْنَا عَلَى ٱلْقَوْمِ ٱلْكَٰفِرِينَ
“Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir” (QS. Ali Imran: 147)
رَّبَّنَآ إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِى لِلْإِيمَٰنِ أَنْ ءَامِنُوا۟ بِرَبِّكُمْ فَـَٔامَنَّا ۚ رَبَّنَا فَٱغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّـَٔاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ ٱلْأَبْرَارِ
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): “Berimanlah kamu kepada Tuhanmu”, maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti.” (QS. Ali Imran: 193)
رَبَّنَا ظَلَمْنَآ أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ
“Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raf: 23)
Adapun di dalam As-Sunnah, di antaranya seperti hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Kami pernah menghitung, dalam satu majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mengucapkan doa:
رَبِّ اغْفِرْ لِي، وَتُبْ عَلَيَّ، إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
‘Ya Rabbi, berikanlah ampunan padaku dan terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat dan Maha Penyayang),’ sebanyak seratus kali.” (HR. Abu Dawud II/21, Ibnu Majah 3814, Tirmidzi 3430, Ahmad dalam Al Musnad II/21, Baghawi dalam Syarhus Sunnah 1289, dan Ibnu Suni dalam ‘Amalul Yaumi wal Lailah 458)
Dan masih banyak lagi redaksi istighfar yang lainnya.
Baca juga: Keutamaan dan Buah Istighfar, bag. 1
Istighfar yang Paling Sempurna
Di antara redaksi istighfar yang banyak tersebut, ada satu redaksi istighfar yang paling sempurna. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai Sayyidul Istighfar yang dapat kita artikan sebagai Tuan atau Rajanya seluruh istighfar.
Al-Imam Al-Bukhari menyebutkan di dalam Sahihnya, Bab Afdhalul Istighfar (Istighfar yang Paling Utama):
بُشَيْرُ بْنُ كَعْبٍ الْعَدَوِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي شَدَّادُ بْنُ أَوْسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ انَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَيِّدُ الاسْتِغْفَارِ أَنْ تَقُولَ اللهُمَّ أَنتَ رَبِّي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ خَلَقْتَني وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ أَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوءُ لَكَ بِذَنْبِي فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ قَالَ وَمَنْ قَالَهَا مِنْ النَّهَارِ مُوقِنًا بِهَا فَمَاتَ مِنْ يَوْمِهِ قَبْلَ أَنْ يمسي فَهُوَ منْ أَهْل الْجَنَّة وَمَنْ قَالَهَا مِنْ الليْلِ وَهوَ مُوقِنٌ بِهَا فَمَاتَ قَبْلَ أَنْ يُصْبِحَ فَهُوَ منْ أَهْل الْجَنَّة
Busyair bin Ka’ab al-‘Adawi berkata, “Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu menceritakan (hadis) kepadaku dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tuan dari seluruh istighfar adalah engkau berdoa, ‘Allaahumma anta rabbii laa ilaaha illaa anta, khalaqtanii wa ana ‘abduka wa ana ‘alaa ‘ahdika wawa’dika mastatha’tu, a’uudzu bika min syarri maa shana’tu, abuu’u laka bini’matika ‘alayya wa abuu’u laka bidzanbi faghfirlii, fa-innahu laa yaghfirudz-dzunuuba illaa anta’ (Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku, tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau, Engkau ciptakan aku dan aku adalah hamba-Mu, terikat dengan janjiku kepada-Mu (dengan mengerjakan janji) sesuai dengan kemampuanku, aku berlindung kepada-Mu dari segala kejahatan dan kejelekan yang aku lakukan, aku akui akan ni’mat- ni’mat-Mu kepadaku dan aku juga mengakui akan kesalahan dan dosaku kepada-Mu, (oleh karena itu) ampunilah karena tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosaku kecuali Engkau).’
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَنْ قَالَهَا مِنْ النَّهَارِ مُوقِنًا بِهَا فَمَاتَ مِنْ يَوْمِهِ قَبْلَ أَنْ يُمْسِيَ فَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ وَمَنْ قَالَهَا مِنْ اللَّيْلِ وَهُوَ مُوقِنٌ بِهَا فَمَاتَ قَبْلَ أَنْ يُصْبِحَ فَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ
‘Siapa yang berdoa dengan doa tersebut di siang hari dengan penuh keyakinan akan terkabulnya, lalu ia meninggal di hari itu sebelum sore hari, maka orang tersebut menjadi penghuni surga. Dan siapa yang berdoa dengan doa tersebut di malam hari dan dia yakin akan dikabulkannya doa tersebut lalu ia meninggal dunia sebelum masuk waktu pagi maka orang tersebut menjadi penghuni surga.” (HR. Bukhari 6306)
Syekh ‘Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al Badr hafizhahullah mengatakan, “Ini adalah doa agung yang mengumpulkan makna-makna taubat dan menghinakan diri kepada Allah tabaraka wa ta’ala serta kembali pada-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mensifatinya sebagai sayyid (penghulu) istighfar. Hal itu karena ia mengungguli ungkapan-ungkapan istighfar yang lainnya dari segi keutamaan, serta berada di atasnya dari segi tingkatan. Di antara makna ‘sayyid‘ adalah yang mengungguli kaumnya dalam hal kebaikan, dan berada di atas mereka.
Sisi keutamaan doa ini atas selainnya dari ungkapan-ungkapan istighfar, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulainya dengan pujian kepada Allah subhanahu wa ta’ala, pengakuan bahwa dirinya adalah hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang dimiliki dan dicipta oleh Dia ‘azza wa jalla. Adapun Dia subhanahu wa ta’ala adalah sembahan yang haq dan tidak ada sembahan yang haq selain-Nya. Bahwa dia (hamba) komitmen di atas janji, eksis di atas perjanjian, berupa keimanan terhadap-Nya, kitab- Nya, semua nabi dan Rasul-Nya. Dia (hamba) komitmen di atas hal itu sesuai daya dan kemampuannya.
Kemudian dia meminta perlindungan kepada-Nya subhanahu wa ta’ala dari keburukan segala perbuatannya, dan kekurangan dalam melakukan apa yang wajib atasnya, berupa tidak mensyukuri nikmat dan mengerjakan dosa-dosa. Lalu dilanjutkan dengan pengakuan akan nikmat-nikmatNya subhanahu wa ta’ala yang silih berganti dan pemberian-pemberianNya yang tak pernah berhenti. Begitu pula dia (hamba) mengakui apa yang dia lakukan dari dosa-dosa dan kemaksiatan. Setelah itu dia memohon kepada-Nya subhanahu wa ta’ala ampunan terhadap semua itu disertai pengakuan tak ada yang mengampuni dosa-dosa selain Dia subhanahu wa ta’ala.
Inilah kondisi paling sempurna dalam doa. Oleh karena itu ia menjadi ungkapan istighfar paling agung dan paling utama serta merangkum makna-makna yang mengharuskan pengampunan dosa-dosa.” (Fiqih Do’a & Dzikir, Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al Badr, Terbitan Griya Ilmu, Jilid 2 Halaman 16)
Beliau hafizhahullah juga mengatakan di akhir penjelasannya tentang hadis ini, “Orang yang kontinyu mengamalkan doa ini meraih janji mulia, pahala besar, dan balasan melimpah tersebut, hanyalah karena dia memulai siangnya dengan tauhid kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam rububiyah dan uluhiyah-Nya, mengakui peribadatan dan persaksian akan pemberian, serta pengakuan akan nikmat, dan menyadari aib jiwa diri dan kekurangannya. Lalu meminta maaf dan ampunan dari Dzat Yang Maha Pengampun. Disertai pelaksanaan kehinaan, ketundukan, dan keluluhan. Ia adalah makna-makna agung dan sifat-sifat mulia yang digunakan mengawali siang dan mengakhirinya. Sudah sepantasnya pemiliknya atau orang kontinyu mengerjakannya untuk mendapat pemberian maaf dan ampunan, pembebasan dari neraka, dan masuk ke dalam surga. Kita mohon kepada Allah yang mulia untuk melimpahkan karunia-Nya.” (Fiqih Do’a & Dzikir, Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al Badr, Terbitan Griya Ilmu, Jilid 2 Halaman 18)
Semoga Allah memudahkan kita semua untuk istikamah mengamalkan hadis ini dan menerapkan kandungannya pada keseharian kita. Wabillahit Taufiq.
Baca juga: Pengurai Berbagai Permasalahan
—
Penulis: Annisa Auraliansa
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
- Taubat & Istighfar (Membersihkan Hati dari Noda Dosa), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Penerbit Al Qowam
- Terjemah Shahih Al Bukhari, Pustaka As Sunnah Jakarta
- Fiqih Do’a & Dzikir, Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al Badr, Terbitan Griya Ilmu