Bismillah.
Tidaklah diragukan oleh seorang muslim bahwa jalan menuju Allah adalah jalan yang ditegakkan di atas keimanan kepada Allah. Jalan yang mengantarkan kaum mukmin menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ، أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ : لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيمَانِ
“Iman terdiri dari tujuh puluh lebih cabang, yang paling tinggi adalah ucapan laa ilaha illallah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu adalah salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kalimat laa ilaha illallah mengandung aqidah tauhid; yaitu pengesaan Allah dalam hal ibadah. Bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Allah Ta’ala berfirman,
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ
“Dan Rabbmu menetapkan bahwa janganlah kalian beribadah kecuali kepada-Nya…” (QS. al-Israa’: 23)
Tauhid inilah hak Allah atas setiap insan. Tauhid merupakan tata-keadilan terbesar. Adapun syirik merupakan bentuk kezaliman yang paling berat.
Perjuangan dakwah para nabi dan rasul berporos pada pemurnian ibadah kepada Allah. Sebagaimana telah dijelaskan dalam kitab-Nya,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ
“Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan, sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. an-Nahl: 36)
Tauhid ini pula buhul terkuat yang menjaga kehidupan iman. Allah Ta’ala berfirman,
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ لاَ انفِصَامَ لَهَا
“Maka barangsiapa yang ingkar kepada thaghut/sesembahan selain Allah dan beriman kepada Allah, sungguh dia telah berpegang teguh dengan buhul tali yang paling kuat dan tidak akan terlepas.” (QS. al-Baqarah: 256)
Syekh Muhammad at-Tamimi rahimahullah berkata, “Perkara paling agung yang diperintahkan Allah adalah tauhid; yaitu mengesakan Allah dalam hal ibadah.” (Lihat Tsalatsatul Ushul)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أن يعبدوه ولا يشركو به شيأ
“(Hak Allah atas segenap hamba adalah) mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Syekh Muhammad at-Tamimi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah tidak rida apabila dipersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun dalam ibadah kepada-Nya; apakah itu malaikat yang dekat -dengan Allah- ataupun nabi yang diutus.” (Lihat Tsalatsatul Ushul)
Baca juga: Cara Memperbaiki Umat Menurut Salaf
Tauhid itulah jalan lurus yang ditunjukkan oleh Allah kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنَّنِي هَدَانِي رَبِّي إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ دِيناً قِيَماً مِّلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفاً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya Tuhanku telah memberiku petunjuk ke jalan yang lurus, agama yang benar, agama (millah) Ibrahim yang lurus. Dia (Ibrahim) tidak termasuk orang-orang musyrik.’” (QS. al-An’am: 161)
Tauhid inilah yang diajarkan oleh Nabi ‘Isa ‘alaihis salam kepada umatnya. Inilah jalan lurus yang beliau ajarkan. Allah Ta’ala berfirman memberitakan ucapan Nabi ‘Isa ‘alaihis salam,
فَاتَّقُواْ اللّهَ وَأَطِيعُونِ إِنَّ اللّهَ رَبِّي وَرَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ هَـذَا صِرَاطٌ مُّسْتَقِيمٌ
“Maka bertakwalah kalian kepada Allah dan taatilah aku. Sesungguhnya Allah adalah Rabbku dan Rabb kalian, maka sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus.” (QS. Ali Imran: 50-51, lihat juga QS. az-Zukhruf: 63-64)
Syekh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Inilah, yaitu penyembahan kepada Allah, ketakwaan kepada-Nya, serta ketaatan kepada rasul-Nya merupakan ‘jalan lurus’ yang mengantarkan kepada Allah dan menuju surga-Nya. Adapun yang selain jalan itu, maka itu adalah jalan-jalan yang menjerumuskan ke neraka.” (Lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 132; cet. Mu’assasah ar-Risalah)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Sesungguhnya kebenaran itu hanya satu, yaitu jalan Allah yang lurus, tiada jalan yang mengantarkan kepada-Nya selain jalan itu. Yaitu beribadah kepada Allah tanpa mempersekutukan-Nya dengan apapun, dengan cara menjalankan syariat yang ditetapkan-Nya melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan dengan [landasan] hawa nafsu maupun bid’ah-bid’ah…” (Lihat at-Tafsir al-Qayyim, hal. 116-117)
Allah pun menegaskan bahwa tauhid adalah jalan yang lurus. Allah Ta’ala berfirman,
أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَن لَّا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ وَأَنْ اعْبُدُونِي هَذَا صِرَاطٌ مُّسْتَقِيمٌ
“Bukankah Aku telah berpesan kepada kalian, wahai keturunan Adam, janganlah kalian menyembah setan. Sesungguhnya dia adalah musuh yang nyata bagi kalian. Dan sembahlah Aku. Inilah jalan yang lurus.” (QS. Yasin: 60-61)
Syekh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menerangkan, bahwa yang dimaksud ‘menaati setan’ itu mencakup segala bentuk kekafiran dan kemaksiatan. Adapun jalan yang lurus itu adalah beribadah kepada Allah, taat kepada-Nya, dan mendurhakai setan. (Lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 698; cet. Mu’assasah ar-Risalah)
Syekh al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, bahwa segala sesuatu yang melenceng dari ajaran agama Allah, maka itu adalah jalan yang menyimpang. Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنَّ هَـذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيماً فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan sesungguhnya yang Kami perintahkan ini adalah jalan-Ku yang lurus ini. Maka ikutilah ia. Janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain; karena hal itu akan mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya.” (QS. al-An’am: 153) (Lihat Tafsir Surat al-Fatihah, hal. 81)
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada kaum kafir Quraisy, “Ucapkanlah laa ilaha illallah.” Maka mereka mengatakan,
أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَهاً وَاحِداً إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
“Apakah dia -Muhammad- menjadikan sesembahan-sesembahan ini menjadi satu sesembahan saja? Sesungguhnya hal ini adalah sesuatu yang sangat mengherankan.” (QS. Shaad: 5) (HR. Ahmad)
Syekh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Maka mereka memahami bahwasanya kalimat ini menuntut dihapuskannya peribadatan kepada segala berhala dan membatasi ibadah hanya untuk Allah saja, sedangkan mereka tidak menghendaki hal itu. Maka jelaslah dengan makna ini bahwa makna dan konsekuensi dari laa ilaha illallah adalah mengesakan Allah dalam beribadah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya.” (Lihat Ma’na Laa Ilaha Illallah, hal. 31)
Kalimat laa ilaha illallah mewajibkan setiap muslim untuk beribadah kepada Allah dan meninggalkan segala bentuk perbuatan syirik. Inilah yang tidak dikehendaki oleh orang-orang musyrik kala itu. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَّجْنُونٍ
“Sesungguhnya mereka itu dahulu ketika dikatakan kepada mereka laa ilaha illallah, maka mereka menyombongkan diri. Mereka pun mengatakan ‘Apakah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami karena seorang penyair yang gila’.” (QS. ash-Shaffat: 35-36)
Beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, inilah makna tauhid. Adapun beribadah kepada Allah tanpa meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, ini bukanlah tauhid. Orang-orang musyrik beribadah kepada Allah, akan tetapi mereka juga beribadah kepada selain-Nya, sehingga dengan sebab itulah mereka tergolong sebagai orang musyrik. Maka bukanlah yang terpenting itu adalah seorang beribadah kepada Allah, itu saja. Akan tetapi yang terpenting ialah beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Kalau tidak seperti itu, maka dia tidak dikatakan sebagai hamba yang beribadah kepada Allah. Bahkan ia juga tidak menjadi seorang muwahhid (ahli tauhid). Orang yang melakukan salat, puasa, dan haji tetapi dia tidak meninggalkan ibadah kepada selain Allah, maka dia bukanlah muslim. (Lihat keterangan Syekh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam I’anatul Mustafid, 1: 38-39)
Demikian sedikit tulisan yang Allah mudahkan bagi kami untuk menyusunnya, semoga bermanfaat bagi penulis dan segenap pembaca.
Baca juga: Ketauhidan Sesuai dengan Fitrah Manusia
***
Markas YPIA Pogungrejo, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta
Penulis: Ari Wahyudi
Artikel Muslimah.or.id