Memperbaiki “isi” dan keadaan di dalam rumah
Para muslimah yang semoga senantiasa dirahmati Allah Ta’ala. Salah satu bentuk nikmat dari sekian banyak nikmat yang Allah Ta’ala berikan kepada kita adalah sebuah rumah. Ya, rumah adalah salah satu bentuk nikmat yang patut kita syukuri dan kita jaga kebaikannya beserta isinya. Sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan,
وَٱللَّهُ جَعَلَ لَكُم مِّنۢ بُيُوتِكُمْ سَكَنًا وَجَعَلَ لَكُم مِّن جُلُودِ ٱلْأَنْعَٰمِ بُيُوتًا تَسْتَخِفُّونَهَا يَوْمَ ظَعْنِكُمْ وَيَوْمَ إِقَامَتِكُمْ ۙ وَمِنْ أَصْوَافِهَا وَأَوْبَارِهَا وَأَشْعَارِهَآ أَثَٰثًا وَمَتَٰعًا إِلَىٰ حِينٍ
“Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal dan Dia menjadikan bagi kamu rumah-rumah (kemah-kemah) dari kulit binatang ternak yang kamu merasa ringan (membawa)nya di waktu kamu berjalan dan waktu kamu bermukim dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu unta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu).” (QS. An-Nahl: 80)
Ibnu Katsir rahimahullahu menjelaskan tentang ayat ini,
يذكر تبارك وتعالى تمام نعمه على عبيده، بما جعل لهم من البيوت اللتي هي سكن لهم يأوون إليها، ويستترون، وينتفعون بها سائر وجوه الإنتفاع
“Allah Ta’ala telah menyebutkan kesempurnaan nikmat-Nya kepada hamba-hambaNya, yaitu dengan menjadikan bagi mereka rumah-rumah sebagai tempat tinggal, yang mana mereka bernaung di dalamnya, berlindung (menutupi diri), dan memanfaatkannya dengan berbagai kegunaan” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4: 507) [1]
Apa sebenarnya peran dan fungsi rumah bagi kita? Bukankah rumah itu adalah tempat di mana seseorang bisa makan, tidur, dan beristirahat? Bukankah rumah itu juga adalah tempat untuk menyendiri (khalwah) dan berkumpul dengan keluarga dan anak-anaknya? Bukankah rumah itu juga sebagai penutup dan pelindung bagi wanita?
Allah Ta’ala berfirman,
وَقَرْنَ فِى بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ ٱلْجَٰهِلِيَّةِ ٱلْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتِينَ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَطِعْنَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ ٱلرِّجْسَ أَهْلَ ٱلْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Dan hendaklah kamu tetap tinggal di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab: 33).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Munajjid di dalam kitabnya mengatakan, masyarakat terbentuk dari kumpulan rumah-rumah. Rumah-rumah terbentuk dari kumpulan susunan batu bata. Rumah inilah yang akan menjadi sebuah tatanan kehidupan yang membentuk masyarakat. [2]
Apabila batu bata penyusun rumahnya baik, maka masyarakat pun diharapkan akan kuat dalam melaksanakan hukum Allah Ta’ala, tegar dalam menghadapi musuh Allah Ta’ala, menyebarkan kebaikan, dan menangkal keburukan. Dari rumah muslim inilah, akan lahir pilar-pilar masyarakat, seperti para dai yang menyebarkan keteladanan, para penuntut ilmu, para pejuang (mujahid) yang ikhlas, istri yang shalihah, ibu pendidik (murabiyah), dan generasi yang shalih.
Baca juga: Orang Tua Ikut Campur Urusan Rumah Tangga?
Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Munajjid, ada beberapa alasan mengapa seorang muslim harus memperhatikan keadaan rumah dan isinya, di antaranya [3]:
Pertama: Menjaga diri sendiri bersama keluarga dari siksa api neraka Jahanam dan menyelamatkan diri beserta keluarga dari azab yang pedih.
Allah Ta’ala berfirman di dalam surah At-Tahrim ayat 6,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
Kedua: Besarnya tanggung jawab yang akan dipertanggungjawabkan oleh kepala rumah tangga pada saat dihisab di hari kiamat di hadapan Allah Ta’ala.
Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إن الله سائل كل راع عما استرعاه أحفظ ذلك أم ضيع ؟ حتى يسأل الرجل عن أهل بيته
“Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada setiap pemimpin tentang apa yang dipimpinnya. Apakah ia jaga ataukah malah ia sia-siakan? Hingga Allah akan menanyai seorang pria tentang keluarganya” [4]
Ketiga: Rumah adalah tempat untuk menjaga diri, menyelamatkan diri dari keburukan, dan mencegah keburukan dari orang lain, karena rumah adalah tempat yang syar’i ketika terjadi fitnah.
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
طُوبى لمن ملَك لسانَه، ووسِعَه بيتُه، وبكى على خطيئتِه
“Beruntunglah orang yang mampu menjaga lisannya, terasa lapang baginya rumahnya dan ia menangisi kesalahan (dosa)-nya.” [5]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
سلامة الرجل في الفتنة أن يلزم بيته
“Selamatnya seseorang dari fitnah adalah dengan cara tetap tinggal di rumahnya.” [6]
Ketiga: Manusia lebih banyak meluangkan sebagian besar waktunya di dalam rumah, sehingga manusia harus menggunakan waktu-waktu tersebut di dalam ketaatan, agar tidak sia-sia dan terjerumus ke dalam hal yang Allah Ta’ala larang.
Keempat: Memperhatikan rumah adalah cara utama di dalam membangun masyarakat muslim.
Semoga Allah Ta’ala memudahkan langkah-langkah kita untuk memperbaiki rumah-rumah kita, agar kita dapat membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Allahumma aamiin. Wallahu Ta’ala a’lam.
[Bersambung]
***
Tangerang Selatan, Safar 1446 H
Penulis: Rizki Megasari
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
Faidah Kajian Pekanan Kitab “Arba’una Nashihah li Ishlahil Buyut (40 Nasihat Memperbaiki Rumah Tangga)” oleh Ustadz Sulaiman Abu Syaikha hafidzahullah, Masjid An-Naba, Tangerang Selatan.
Catatan kaki:
[1] Al-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Munajjid, Arba’una Nashihah li Ishlahil Buyut, hal. 9.
[2] Syaikh Muhammad bin Shalih Al Munajjid, Arba’una Nashihah li Ishlahil Buyut, hal. 12.
[3] Syaikh Muhammad bin Shalih Al Munajjid, Arba’una Nashihah li Ishlahil Buyut, hal. 10-12.
[4] HR. An-Nasai, As-Sunan Al-Kubra (9129) dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Al-Jami’ (1774).
[5] Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani di dalam Al-Mu’jam Al-Awsath (2340) dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu dan dinilai hasan oleh Al-Albani di dalam Shahih Al-Jami’ (3929).
[6] Diriwayatkan oleh Ad-Dailami di dalam Musnad Al-Firdaus, dan di dalam Al-Jami’ Ash-Shaghir (5962) dan dinilai hasan oleh Al-Albani di dalam Shahih al-Jami’ (3249).