Memilih pasangan yang baik
Para muslimah yang dirahmati Allah Ta’ala, siapakah di antara kita yang mendambakan sebuah pernikahan yang di dalamnya terdapat ketenangan (sakinah), cinta (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah)? Terlebih lagi, siapakah di antara kita yang mendambakan pasangan hidup yang shalih serta baik akhlaknya? Tentunya, sebagai seorang muslimah, kita mendambakan itu semua.
Lalu, bagaimana caranya agar semua itu terwujud? Ada beberapa kiat agar kita bisa membangun rumah tangga yang baik. Salah satu caranya adalah dengan memilih pasangan yang baik sebelum hendak menikah. Ini adalah langkah awal yang harus kita lakukan untuk membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Munajjid mengatakan di dalam kitab beliau,
والرجل الصالح مع للمرأة الصالحة، لأن البلد الطيب يخرج نباته بإذن ربه، والذي خبث لا يخرج إلا نكداً
”Pria yang shalih, akan bersama wanita shalihah. Sebagaimana tanah yang baik, akan menumbuhkan tanaman-tanaman yang baik (seperti menjadi subur dan indah) dengan izin Rabbnya. Adapun tanah yang buruk, akan menghasilkan tanaman yang buruk (seperti tidak subur dan kebun akan rusak binasa).” [1]
Perkataan syaikh tersebut adalah perumpamaan yang Allah sebutkan di dalam Al-Quran terkait bagaimana cara kita menentukan pasangan sebelum menikah. Allah Ta’ala berfirman:
وَٱلْبَلَدُ ٱلطَّيِّبُ يَخْرُجُ نَبَاتُهُۥ بِإِذْنِ رَبِّهِۦ ۖ وَٱلَّذِى خَبُثَ لَا يَخْرُجُ إِلَّا نَكِدًا ۚ كَذَٰلِكَ نُصَرِّفُ ٱلْءَايَٰتِ لِقَوْمٍ يَشْكُرُونَ
“Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur.” (QS. Al-A’raf: 58)
Hubungannya dengan kehidupan rumah tangga adalah jika seorang suami-istri tidak memiliki agama yang baik, maka akan lahirlah anak-anak yang tidak mendapatkan pendidikan agama yang baik. Ketika sang anak tidak peduli terhadap agamanya, maka akan melahirkan anak-anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya. Sehingga, wajar jika anak berperangai buruk, terjerumus ke dalam narkoba dan zina, dan seterusnya.
Demikian juga dengan syarat masuknya wanita ke dalam surga, salah satunya dengan ketaatan kepada suaminya. Seorang istri tidak akan taat kepada suaminya apabila ia bukanlah wanita shalihah. Karena untuk taat kepada suami, seorang istri membutuhkan pemahaman ilmu agama yang baik.
Ada syarat yang harus kita lihat sebelum menikah dengan calon pasangan, di antaranya:
Pertama: Untuk pria yang hendak mencari istri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ: لِمَـالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita itu dinikahi karena empat hal: karena hartanya, keturunannya, kecantikan, dan agamanya. Maka pilihlah agamanya, niscaya engkau akan beruntung.” [2]
Hartanya (لمالها): Seseorang bisa menikahi seseorang karena pertimbangan kafa’ah atau harta. Namun, ini bukan kriteria yang utama.
Nasabnya (لحسابها): Seseorang menikahi karena keturunannya, karena beranggapan bahwa buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Jika keluarganya baik, maka wanita tersebut juga baik. Sebagaimana seorang sahabat yang mengadu kedurhakaan anaknya kepada Umar bin Khaththab, karena ia tidak memilih ibu untuk anaknya dari keturunan yang baik. Namun, ini bukan kriteria utama.
Kecantikannya (جمالها): Seorang pria memiliki tabiat menyukai wanita cantik. Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah mengatakan, “Jika ada wanita cantik, tetapi agamanya kurang baik dan ada wanita yang kurang cantik, tetapi agamanya baik, maka pilihlah yang agamanya baik. Karena, agamanya akan menutupi kecantikannya yang kurang. Namun, jika ada wanita yang cantik dan baik agamanya, maka ini lebih utama.” [3]
Agamanya (لدينها): Inilah kriteria terbaik seorang pria saat hendak menikahi wanita. Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah mengatakan, “Sudah selayaknya bagi orang yang beragama, memiliki muru’ah (kewibawaan), dan orientasi dalam agama, menjadikan pasangan hidupnya juga yang berorientasi agama. Niscaya, dia akan tenang dalam mengarungi bahtera rumah tangga.” [4]
An-Nawawi rahimahullah menjelaskan hadits di atas, bahwa di dalam hadis tersebut terdapat anjuran untuk memiliki relasi dengan siapapun yang baik agamanya dalam segala hal. Misal, berteman dan bergaul dengan melihat agama sebagai patokan. Karena, barangsiapa yang bersahabat dengan mereka, maka akan mendapatkan manfaat dari akhlak, keberkahan, dan kebaikan pada jalan hidupnya, serta aman dari mafsadah (kerusakan), dan juga akan merasa nyaman berada di sisi orang-orang shalih. [5]
Kedua: Untuk wanita yang hendak mencari suami, hendaknya para orang tua memperhatikan syarat berikut sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ إِلَّا تَفْعَلُوْهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ
“Apabila datang kepadamu orang yang engkau ridai akhlak dan agamanya, maka nikahkanlah dia. Jika engkau tidak melakukannya, maka akan merebak fitnah di bumi dan kerusakan yang menyebar.” [6]
Perhatikan dua poin ini dan jangan pilih hanya salah satunya saja, tetapi harus keduanya:
1) Akhlaknya (خلقه)
2) Agamanya (دينه)
Sebagaimana kebahagiaan seorang muslim terletak pada tiga hal, yaitu: akidah, amal saleh, dan akhlak yang baik. Maka, jika seorang muslim menghiasi dirinya dengan tiga hal tersebut, maka ia akan berbahagia di dunia dan di akhirat. Wallahu Ta’ala a’lam.
[Bersambung]
Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3
***
Tangerang Selatan, Safar 1446 H
Penulis: Rizki Megasari
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
Faidah kajian pekanan Kitab “Arba’una Nashihah li Ishlahil Buyut (40 Nasihat Memperbaiki Rumah Tangga)” oleh Ustadz Sulaiman Abu Syaikha hafidzahullah, Masjid An-Naba, Tangerang Selatan.
Catatan kaki:
[1] Syaikh Muhammad bin Shalih Al Munajjid, Arba’una Nashihah li Ishlahil Buyut, hal. 19.
[2] Muttafaqun ‘alaih.
[3] Faidah kajian pekanan Kitab “Arba’una Nashihah li Ishlahil Buyut (40 Nasihat Memperbaiki Rumah Tangga)” oleh Ustadz Sulaiman Abu Syaikha hafidzahullah.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abu Hurairah (no. 1957) dan dinilai hasan oleh Al-Albani di dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir (no. 270). Dan di dalam riwayat lain :إِلَّا تَفْعَلُوْهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيْرٌ
“Jika kau tidak melakukannya maka akan merebak fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (Riwayat ini dinilai hasan oleh Al-Albani di dalam Ghayatul Maram no. 219).
[7] Catatan Daurah Masyaikh oleh Ustadz Sulaiman Abu Syaikha Hafizhahullah, Cianjur, Jawa Barat.