Sangat banyak kita jumpai perkataan ulama salaf yang mengingatkan pentingnya niat, dan agar kita memperbaiki dan memperhatikan dengan penuh kesungguhan. Ibnu Rajab rahimahullah telah mengumpulkan beberapa perkataan tersebut dalam kitab beliau, Jami’ul Ulum wal Hikam. Di antaranya:
Dari Zaid al-Yammi, beliau berkata, “Aku ingin sekali punya niat yang benar dalam melakukan segala sesuatu, bahkan ketika makan dan minum.” Beliau juga berkata, “Pasanglah niat baik dalam setiap perbuatan yang ingin engkau lakukan! Bahkan ketika engkau mau pergi ke tempat sampah.” (Diriwayatkan oleh Ad-Dinwari dalam al-Mujaalasah wa Jawaahirul ‘Ilmi no. 3533)
Dawud ath-Tha’i berkata, “Aku melihat segala kebaikan itu ada pada niat yang benar. Dan cukuplah kebaikan tersebut untuk dirimu walaupun pada akhirnya engkau tidak bisa mendapatkan apa yang engkau niatkan.” (Diriwayatkan oleh Abu Thalib Al-Makki dalam Qutul Qulub, 2: 275)
Sufyan ats-Tsauri mengatakan, “Tidak ada satu hal yang lebih sulit aku perbaiki selain niatku, karena ia senantiasa berubah-ubah.” (Diriwayatkan oleh Al-Khathib Al-Baghdadi dalam al-Jaami’ li Akhlaqir Rawi wa Adabis Sami’ no. 692)
Mutharrif bin Abdillah berkata, “Hati menjadi baik karena amal yang baik. Amal menjadi baik karena niatnya lurus.” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya, 2: 199)
Sebagian salaf mengatakan, “Siapa saja yang ingin amalnya sempurna, maka perbaikilah niatnya. Sesungguhnya Allah akan memberi pahala bagi seorang hamba jika niatnya lurus. Bahkan dalam suapan yang dia berikan kepada keluarganya.” (Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam az-Zuhud war Raqaiq no. 1552)
Ibnul Mubarak berkata, “Berapa banyak amalan kecil yang menjadi besar di sisi Allah karena niatnya. Berapa banyak amalan besar yang menjadi kecil di sisi Allah karena niatnya.” (Diriwayatkan oleh Abu Thalib Al-Makki dalam Qutul Qulub, 2: 268)
Ibnu ‘Ajlan berkata, “Amalan itu tidak disebut baik kecuali dengan tiga hal: dilandasi ketakwaan pada Allah, niatnya lurus, dan dilakukan dengan benar.” (Diriwayatkan oleh Abu Thalib Al-Makki dalam Qutul Qulub, 2: 264)
Baca juga: 3 Perkara Penting Dalam Niat
Niat adalah sesuatu yang tersembunyi dalam diri seorang manusia. Jika niat seseorang dalam beramal adalah untuk mencari wajah Allah Ta’ala, maka dia berhak mendapatkan pahala. Namun, jika niat seseorang adalah untuk riya’ (agar dilihat dan mendapatkan pujian dari manusia), maka dia bisa mendapatkan hukuman. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ ؛ الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ ؛ الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ
“Maka celakalah orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya, (yaitu) orang-orang yang berbuat riya.” (QS. Al-Ma’un: 4-6)
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَىٰ يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
“Mereka bermaksud riya (dengan salat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah, kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa’: 142)
Dalam sebuah hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengancam orang-orang yang belajar ilmu agama, namun ternyata niatnya untuk mendapatkan dunia. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
من تعلَّم علمًا مما يبتغى به وجهَ اللهِ تعالى ، لا يتعلَّمُه إلا ليُصيبَ به عرضًا من الدنيا لم يجِدْ رائحة الجنةِ يومَ القيامةِ . وان ريحها ليوجد من مسيرة خمسمائة عام
“Barangsiapa belajar ilmu yang seharusnya hanya mengharap wajah Allah, ternyata ia belajar hanya untuk mendapatkan bagian dunia, maka ia tidak akan mendapatkan bau surga. Padahal bau surga itu bisa tercium dari jarak 50 tahun perjalanan.” (HR. Abu Dawud no. 3664 dan Ibnu Majah no. 252, dinilai sahih oleh Al-Albani)
Demikian pula dengan orang yang belajar ilmu agama, namun niatnya ingin diagungkan dan mendapatkan kedudukan di sisi manusia. Mereka tidak meniatkan amalnya tersebut untuk mencari wajah Allah, meskipun secara lahiriyah, amal mereka adalah amal saleh. Jika amal mereka dihisab, mereka berhak mendapatkan azab. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis,
مَنْ تعلَّمَ العلْمَ ليُباهِيَ بِهِ العلماءَ ، أوْ يُمارِيَ بِهِ السفهاءَ ، أوْ يصرِفَ بِهِ وجوهَ الناسِ إليه ، فله من عمله النار
“Siapa saja yang belajar untuk merasa tinggi di hadapan orang berilmu, atau untuk mendebat orang-orang bodoh, atau untuk membuat perhatian orang tertuju kepadanya, maka amal dia itu akan menghasilkan neraka.” (HR. Ibnu Majah no. 253, dinilai hasan oleh Al-Albani)
Oleh karena itu, mengikhlaskan amal ibadah hanya untuk Allah semata adalah hakikat agama Islam yang sebenarnya. Inilah kunci dan inti dakwah para Rasul ‘alaihimus salam. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Padahal mereka tidaklah diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Sebagai seorang hamba Allah, seseorang harus berjuang untuk membebaskan dirinya dari segala hal yang bisa mengurangi dan membuat cacat keikhlasannya. Keikhlasan dalam hati seseorang tidak akan mungkin bisa bercampur dengan sikap senang terhadap pujian dan sanjungan dari orang lain. Jika jiwa kita menginginkan keikhlasan, maka buanglah terlebih dahulu sikap tamak terhadap dunia dan terhadap apa yang dimiliki oleh orang lain. Juga buanglah rasa cinta terhadap pujian dan sanjungan. Jika kita bisa membuangnya, maka kita akan mudah mendapatkan rasa ikhlas. Tidak ada sesuatu pun yang kita inginkan, melainkan semuanya berada di tangan Allah semata. Kita pun meyakini bahwa tidak ada seorang pun yang pujiannya bisa membawa kebaikan atau celaannya bisa membawa keburukan, kecuali tergantung Allah Ta’ala semata.
Untuk bisa melakukan itu semua, kita harus memiliki sikap sabar dan yakin. Ketika kita kehilangan sifat sabar dan yakin ini, maka kita akan kehilangan arah dan salah jalan.
Allah Ta’ala berfirman,
فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ ؛ وَلَا يَسْتَخِفَّنَّكَ الَّذِينَ لَا يُوقِنُونَ
“Dan bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar. Dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu.” (QS. Ar-Rum: 60)
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا ؛ وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As-Sajadah: 24)
Sebagai penutup, sungguh sangat penting bagi kita untuk mengulang-ulang membaca sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengobati hati kita serta memperbaiki kembali niat kita,
إنَّما الأعمالُ بالنِّيَّاتِ وإنَّما لِكلِّ امرئٍ ما نوى فمن كانت هجرتُهُ إلى اللَّهِ ورسولِهِ فَهجرتُهُ إلى اللَّهِ ورسولِهِ ومن كانت هجرتُهُ إلى دنيا يصيبُها أو امرأةٍ ينْكحُها فَهجرتُهُ إلى ما هاجرَ إليْهِ
“Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan (sesuai dengan) apa yang dia niatkan. Siapa saja yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia mendapatkan (pahala) hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Siapa saja yang hijrahnya karena dunia yang ingin dia cari atau karena wanita yang ingin dia nikahi, maka dia akan mendapatkan sesuai dengan tujuan hijrahnya itu.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
Ya Allah, perbaiki semua niat kami dan tunjukkan kami ke jalan yang lurus. Janganlah Engkau jadikan kami bersandar kepada diri kami sendiri, walaupun hanya sekejap mata.
Kembali ke bagian 1: Pentingnya Meluruskan Niat (Bag. 1)
***
@Rumah Kasongan, 24 Syawal 1445/ 3 Mei 2024
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel Muslimah.or.id
Catatan kaki:
Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 17; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr.