Diriwayatkan dari Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ketika beliau sedang berkhotbah di atas mimbar,
إنَّما الأعمالُ بالنِّيَّاتِ وإنَّما لِكلِّ امرئٍ ما نوى فمن كانت هجرتُهُ إلى اللَّهِ ورسولِهِ فَهجرتُهُ إلى اللَّهِ ورسولِهِ ومن كانت هجرتُهُ إلى دنيا يصيبُها أو امرأةٍ ينْكحُها فَهجرتُهُ إلى ما هاجرَ إليْهِ
“Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan (sesuai dengan) apa yang dia niatkan. Siapa saja yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia mendapatkan (pahala) hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Siapa saja yang hijrahnya karena dunia yang ingin dia cari atau karena wanita yang ingin dia nikahi, maka dia akan mendapatkan sesuai dengan tujuan hijrahnya itu.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
Dalam nasihat tersebut, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan dan menyadarkan kaum muslimin dengan satu hal yang bisa memperbaiki dan menyucikan hati mereka. Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu juga mengikuti jejak beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dengan menyampaikan hadis tersebut di atas mimbar, mengingatkan tentang agungnya kedudukan niat. Demikian pula selanjutnya, para dai dan orang-orang saleh pun banyak yang mengingatkan umat di berbagai kondisi dan keadaan tentang penting dan agungnya kedudukan niat, dan bahwa niat itu adalah perkara yang bisa memperbaiki hati manusia.
Imam Bukhari rahimahullah memulai kitab Shahih beliau yang penuh berkah dengan hadis yang agung ini. Demikian pula, sebagian ulama juga melakukan seperti yang beliau lakukan dengan menjadikan hadis ini sebagai pembuka dari buku (kitab) yang mereka tulis. Hal ini adalah isyarat bahwa para ulama tersebut ingin mengingatkan bahwa niat adalah satu perkara yang diperlukan oleh hamba Allah yang beriman. Seorang hamba sangat-sangat butuh dengan niat yang lurus dalam menuntut ilmu agama dan juga dalam seluruh ibadahnya.
Setiap amal itu akan teranggap (memiliki nilai) di sisi Allah sesuai dengan niatnya. Apabila sebuah amal dilakukan dengan niat yang murni karena mengharap wajah Allah, maka Allah akan menerima amal tersebut. Namun sebaliknya, apabila amal tersebut dilakukan tidak mengharapkan wajah Allah, maka amal itu akan dikembalikan lagi kepada pelakunya, alias tertolak, tidak peduli sebanyak apapun amalan tersebut. Allah Ta’ala berfirman,
مَّن كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَن نُّرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلَاهَا مَذْمُومًا مَّدْحُورًا ؛ وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ وَسَعَىٰ لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَٰئِكَ كَانَ سَعْيُهُم مَّشْكُورًا
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki; dan Kami tentukan baginya neraka jahanam. Dia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedangkan dia adalah seorang mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik.” (QS. Al-Isra’: 18-19)
Dalam ayat di atas, Allah tegaskan bahwa siapa saja yang mengingingkan duniawi dari amal yang dia lakukan, maka Allah akan berikan dunia tersebut sesuai dengan apa yang telah Allah takdirkan. Namun di akhirat kelak, Allah akan masukkan dia ke dalam neraka jahanam.
Oleh karena itu, hadis yang diriwayatkan dari Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu ini juga masuk dalam pembahasan tentang salat, puasa, sedekah, haji, dan beragam bentuk ibadah lainnya. Semua bentuk ibadah dan ketaatan tersebut, tidak akan ada nilainya tanpa niat yang lurus. Dalam hadis tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan satu contoh yang bisa dianalogikan dalam semua bentuk ketaatan,
فمن كانت هجرتُهُ إلى اللَّهِ ورسولِهِ فَهجرتُهُ إلى اللَّهِ ورسولِهِ
“Siapa saja yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia mendapatkan hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Maksudnya, siapa saja yang niat dan maksud (tujuan) hijrahnya adalah untuk Allah dan Rasul-Nya, maka dia akan mendapatkan balasan dan pahala hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika niatnya benar (yaitu untuk mencari wajah Allah), maka dia akan mendapatkan pahala dan balasan dari Allah Ta’ala. Namun jika niatnya tidak benar, amal tersebut akan tertolak dan tidak diterima. Karena Allah tidak akan menerima suatu amal, melainkan yang dilakukan dengan ikhlas, mengharap wajah-Nya semata.
Baca juga: Pemahaman Yang Benar Dan Niat Yang Baik
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Allah Ta’ala berfirman,
أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).” (QS. Az-Zumar: 3)
Seorang hamba sangat butuh untuk memperbaiki dan meluruskan niat dalam setiap amal yang dia lakukan. Baik dalam ibadah salat, puasa, zakat, haji, dan seluruh amal ketaatan yang dia lakukan. Caranya, dia tidak mengharapkan balasan apapun dari amalnya tersebut kecuali untuk mendapatkan wajah Allah semata. Suatu amal itu tidak menghasilkan apapun, tidak akan diterima, tidak akan diridai, dan tidak akan dibalas pahala oleh Allah kecuali amal yang betul-betul diniatkan untuk Allah. Inilah amal saleh yang masuk menemani ke dalam kubur seseorang ketika sudah meninggal dunia.
Adapun amal yang dikerjakan oleh seseorang dengan tujuan selain Allah, misalnya untuk mencari popularitas; ingin dilihat dan dipuji oleh orang lain; ingin mendapatkan atau melanggengkan jabatan; atau keinginan-keinginan duniawi lainnya, maka amal tersebut tidak akan diterima dan tidak akan diridai oleh Allah Ta’ala. Karena di antara syarat diterimanya amal adalah niat amal tersebut adalah untuk mencari wajah Allah. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ وَسَعَىٰ لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَٰئِكَ كَانَ سَعْيُهُم مَّشْكُورًا
“Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedangkan dia adalah seorang mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik.” (QS. Al-Isra’: 19)
Meluruskan niat itu membutuhkan perjuangan yang terus-menerus (kontinyu) dalam jiwa manusia. Hal ini karena niat hati manusia itu senantiasa berubah-ubah, banyak sekali perkara di kehidupan dunia ini yang bisa melencengkan niat ikhlas. Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ؛ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar bersama dengan orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut: 69)
Oleh karena itu, meluruskan niat dan bersungguh-sungguh melawan bisikan hawa nafsu agar seseorang senantiasa ikhlas adalah satu perkara yang dituntut dari diri seorang muslim sampai di detik terakhir nafas kehidupannya. Berbagai macam penghalang yang bisa memalingkan seorang muslim dari keikhlasan akan terus datang menyerang dari arah sana-sini. Maka dalam setiap waktu dan kesempatan, seseorang perlu untuk meluruskan dan memperbaiki niatnya.
Lanjut ke bagian 2: Pentingnya Meluruskan Niat (Bag. 2)
***
@Kantor Pogung, 23 Syawal 1445/ 2 Mei 2024
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel Muslimah.or.id
Catatan kaki:
Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 17; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr.