Di dalam kitab-kitab ulama Syafi’iyyah, disebutkan ada enam hal yang mewajibkan seseorang untuk mandi, yaitu:
- Masuknya kepala kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan perempuan
- Keluarnya air mani
- Suci dari haid
- Suci dari nifas
- Melahirkan
- Kematian
Berdasarkan poin di atas, jika seorang wanita selesai melahirkan maka diwajibkan untuk mandi di dalam perspektif mazhab Syafii, dan mandi ini dinamakan mandi wiladah.
Asy-Syathiri dalam kitabnya Nailur Rajaa bi Syarhi Safinatin Najaa, menjelaskan perihal mandi wiladah ini. Mandi wiladah adalah mandi yang disebabkan keluarnya bayi manusia dari rahim seorang perempuan. Baik itu sudah berbentuk manusia, atau janin maupun baru gumpalan daging atau darah. Dan mandi ini juga diwajibkan ketika seorang perempuan itu melahirkan meskipun dalam keadaan kering.
Di dalam kitab Al Fiqhiy Al Manhaji ‘ala Manhaji Imam Asy-Syafi’i dijelaskan bahwa kedudukan perempuan yang melahirkan pada saat itu adalah seperti orang yang junub, karena bayi yang keluar dari rahim perempuan tersebut berasal dari air mani dari ibu dan ayahnya. Darah yang keluar ketika melahirkan dianggap darah fasad. Dan darah yang keluar setelah melahirkan disebut darah nifas, dan hal ini mempunyai penjelasan tersendiri.
Syekh Shalih Al-Munajjid di dalam Islam Sual wal Jawab, ditanya tentang wanita yang melahirkan, akan tetapi tidak keluar darah. Kasus ini sangat jarang terjadi. Maka, wanita tersebut tidaklah dihukumi seperti wanita nifas, karena nifas adalah darah yang keluar karena sebab melahirkan, dan tetap berlaku atasnya kewajiban salat dan puasa. Dan hal ini selaras dengan perkataan Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dalam Al-Mughni (1/429), Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra (1/358) dan selaras pula dengan apa yang terdapat di dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah (41/15)
Ulama berbeda pendapat tentang wajibnya mandi wiladah.
Ada yang berpendapat, tidak wajib mandi, karena syariat hanya mewajibkan mandi bagi wanita yang suci dari nifas, dan mandi wiladah ini bukan mandi nifas. Ini adalah pendapatnya ulama Malikiyyah dan Hanabilah. (Al-Mughni (1/429) dan Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah (41/15))
Syekh Ibn ‘Utsaimin rahimahullah memilih pendapat, “Jika seorang wanita nifas, akan tetapi dia tidak menemukan darahnya, dan ini jarang sekali terjadi, maka selama nifas, janganlah dia duduk. Jika dia melahirkan ketika terbit matahari, kemudian datanglah waktu zuhur, dan dia tetap tidak menemukan darah, maka dia tidak perlu mandi, berwudulah kemudian melaksanakan salat (Syarhul Mumti’ (1/281))
Ada yang berpendapat wajib mandi, alasannya adalah karena kelahiran itu menimbulkan persangkaan kuat terjadinya nifas, maka wajib mandi. Ini adalah pendapat ulama Syafii, dan inilah yang dipilih oleh Lajnah Da-imah lil Ifta’. Mereka mengatakan, “Ulama berbeda pendapat mengenai wajibnya mandi wiladah, ‘Jika wanita hamil melahirkan dan tidak keluar darah, maka wajib mandi, kemudian salat dan puasa. Dan suaminya boleh berhubungan badan dengannya setelah istrinya mandi. Karena umumnya kelahiran itu mengeluarkan darah meskipun sedikit ketika kelahiran, maupun dampak dari kelahiran tersebut. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah (5/421))
Maka, sikap yang pertengahan adalah mandi setelah melahirkan dalam rangka keluar dari perselisihan ulama.
Baca juga: Berbahagialah Wahai Ibu Hamil!
—
Penulis: Triani Pradinaputri
Artikel: Muslimah.or.id
Referensi:
- Asy-Syathiri, Ahmad bin Umar, 2007 M – 1428 H, Nailur Rajaa bii Syarhi Safinatin Najaa, Cetakan Kedua, Darul Minhaj, Beirut.
- Al-Khin, Mustofa dan Musthofa Al-Bugho, 1992 M – 1413 H, Al-Fiqhi Al-Manhaji ‘Ala Manhaji Imam Asy-Syafi’i, Cetakan Keempat, Juz 1, Halaman 82, Maktabah Syamilah.
- https://islamqa.info/ar/answers/140621/اذا-ولدت-المراة-ولم-ينزل-منها-دم-او-نزل-وانقطع-قبل-الاربعين