Mendahulukan orang lain dalam perkara dunia, semisal mempersilakan orang lain mengambil antrean di atas antrean kita, mendahulukan teman untuk mengambil makanan, dan lainnya, merupakan hal yang terpuji. Namun, hukum itsar ini akan berbeda ketika berhubungan dengan perkara taqarub (ibadah kepada Allah), semisal mendahulukan orang lain salat di saf depan ketika salat, sedangkan kita memilih di belakang; atau mendahulukan orang lain dalam belajar mendekat kepada gurunya, sedangkan kita di belakang, dan yang lainnya.
Definisi itsar
Penulis Lisanul Arab, menjelaskan bahwa itsar (الإيثار) adalah mendahulukan orang lain atas dirinya sendiri. (Kitabut Tafsir al-Maudhu’iy, hal. 101)
Itsar dalam ibadah adalah makruh
Melakukan itsar dalam perkara ibadah, yaitu mendahulukan orang lain atas diri sendiri dalam perkara yang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, hukumnya makruh. Al-Lahji rahimahullah menjelaskan, bahwa hal tersebut ditunjukkan oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadis yang sahih, dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu.
لا يزال قوم يتأخرون حتى يؤخرهم الله تعالى
“Orang-orang yang selalu mengakhirkan (urusan Allah), maka Allah Ta’ala akan mengakhirkan (urusan) mereka.” (HR. Muslim no. 438)
Itsar dalam selain ibadah adalah terpuji
Adapun itsar dalam perkara selain ibadah, maka ini adalah hal yang terpuji. Allah Ta’ala berfirman,
وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ
“… Dan mereka (orang-orang Anshar) mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.” (QS. Al-Hasyr: 9)
Perkataan ulama mengenai itsar dalam perkara ibadah
Syekh Izzuddin mengatakan, “Tidak ada itsar dalam perkara ibadah. Tidak ada itsar dalam air untuk bersuci, penutup aurat, atau barisan saf pertama. Karena tujuan dari peribadatan adalah untuk mengagungkan dan memuliakan Allah. Barang siapa yang itsar dalam hal ini, maka dia telah mengabaikan pemuliaan dan pengagungan terhadap Allah Ta’ala.”
Al-Khatib al-Baghdadi mengatakan dalam al-Jami’, “Makruh jika penuntut ilmu melakukan itsar dalam menggantikan dirinya pada urutan membaca, karena membaca ilmu dan berlomba-lomba untuk itu adalah suatu ibadah. Dan itsar dalam hal ibadah adalah makruh.”
An-Nawawi pun menegaskan di dalam Syarh al-Muhadzab, dan juga menjelaskannya di dalam Syarh Muslim, “Itsar dalam perkara ibadah adalah makruh, dan meninggalkannya lebih utama. Itsar hanya dicintai dalam perkara keuntungan pribadi dan perkara dunia.” Az-Zarkasyi juga mengatakan, “Perkataan al-Imam (Haramain, -pen) dan anaknya, yakni Muhammad al-Juwaini rahimahumallah berkonsekuensi pada itsar dalam perkara ibadah adalah haram.”
Dari sini, kita menyimpulkan bahwa itsar dalam perkara ibadah mempunyai tiga hukum, yakni makruh, khilaful aula (lebih utama untuk ditinggalkan), dan haram.
Contoh itsar dalam ibadah
As-Suyuthi menyimpulkan dengan pembahasan yang baik, “Bahwasanya itsar yang menjadikan pelakunya meninggalkan kewajiban, semisal air untuk bersuci, penutup aurat, tempat salat berjamaah sehingga ia tidak bisa salat, kecuali menunggunya hingga berakhirnya waktu salat, dan hal-hal yang semisal itu, maka hukum itsar dalam perkara ini adalah haram.
Jika itsar tersebut berkonsekuensi meninggalkan hal yang sunah atau mengerjakan hal yang makruh, maka itsar dalam hal ini adalah makruh
Contoh itsar yang berakibat meninggalkan sunah, yaitu mempersilakan orang lain mengisi celah di saf pertama. Dan contoh itsar yang berakibat melakukan hal yang makruh adalah bersuci dengan air musyammasy dan mendahulukan orang lain untuk bersuci dengan air yang tidak musyammasy (air yang terkena sinar matahari hingga menyebabkan air tersebut hangat atau panas. Dalam mazhab Syafi’i, bersuci dengan menggunakan air musyammasy adalah makruh, -pen.).
Itsar yang khilaful aula, maka hal ini tidak ada larangan khusus, tetapi lebih baik ditinggalkan dalam rangka keluar dari perselisihan.
Mundur ke saf belakangnya karena diseret
As-Suyuthi kembali menuturkan, “Di antara permasalahan yang sering timbul dalam kaidah ini adalah ketika seseorang tidak mendapati celah di saf pertama dalam salat, hingga dia menyeret orang lain setelah takbiratul ihram, maka disunahkan bagi orang yang diseret tersebut untuk membantunya. Maka dia terluput dari hal yang sunah, tetapi dia tetap mendapatkan pahala salat di saf pertama.” [1]
Ketika orang tersebut meresponnya untuk bersedia ditarik ke saf belakang, maka dia telah tolong-menolong dalam kebaikan yang ini menjadi pahala baginya dan menggantikan pahala salat di saf pertama, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Hajar di dalam kitabnya, Fathul Jawwad. Beliau mengatakan, “Disunahkan bagi orang yang diseret ke belakang untuk membantunya agar dia mendapatkan keutamaan menolong orang lain dalam kebaikan dan takwa, dan ini menggantikan keutamaan yang terluput darinya dari salat di saf pertama.” Dan juga di dalam at-Tuhfah, beliau menjelaskan, “Orang yang diseret hendaknya dia membantunya karena di dalamnya ada tolong-menolong dalam kebaikan. Bersamaan dengan itu, dia tetap mendapatkan pahala safnya. Sebab, dia tidak akan melakukan hal tersebut kecuali ada uzur.”
Baca juga: Mengapa Kita Sulit Merasakan Nikmatnya Ibadah?
***
Penulis: Triani Pradinaputri
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
Jami’atul Madinah al-Alamiyyah. Kitabut Tafsir al-Maudhu’i. Juz 2. Jami’atul Madinah. Diakses pada tanggal 29 April 2025 di: https://shamela.ws/book/10329
Al-Lahji, Abdullah bin Sa’id Muhammad Abbadi. 1443. Idhahul Qawaid al-Fiqhiyyah. Kairo: ad-Darul ‘Alamiyyah.
Hukmu Shalatil Munfarid Khalfas saf, Wa Kaifa Yaf’alu Litajannubi Dzalika. 2002. Diakses pada tanggal 25 Agustus 2025 via: https://www.islamweb.net/ar/fatwa/14806/
Catatan kaki:
[1] Perlu diketahui bahwa terdapat perbedaan ulama tentang menyeret seseorang di depan saf untuk menyejajarkan dengannya di saf belakang (yaitu ketika dia salat di saf sendirian):
Pendapat Hanafiyyah: hendaknya seseorang tersebut menunggu orang lain yang mau masuk masjid agar dia mengambil saf di belakang bersamanya. Jika dia tidak menemukan seorang pun yang bisa berdiri di saf belakang, dan dia khawatir terluput dari satu rakaat, maka dia boleh menyeret seseorang yang baik ilmu dan akhlaknya di saf untuk sejajar dengan dirinya di saf. Jika tidak ada, maka dia berdiri di belakang saf. Jika keadaannya seperti itu, maka tidak makruh, karena uzur. Ini yang dijelaskan oleh al-Kasani dalam kitabnya Bada’iush Shana’i.
Pendapat Malikiyyah: Seseorang yang tidak dapat masuk ke dalam saf, maka dia boleh salat sendiri di saf belakang dari makmum yang lain. Tidak perlu menyeret orang lain ke saf. Jika tetap menyeret orang lain ke saf belakang bersama dirinya, orang yang diseret tersebut wajib untuk menolaknya.
Pendapat yang sahih di kalangan Syafi’iyyah: Seseorang yang tidak mendapati celah di saf, maka dia disunahkan untuk menyeret seseorang dari saf ke saf di belakang bersama dirinya. Namun, perlu diperhatikan bahwa orang yang diseret tersebut menyetujuinya. Jika tidak, jangan menyeret seseorang ke belakang saf untuk menghindari fitnah. Jika dia menyeret seseorang, maka disunahkan bagi yang diseret untuk membantunya agar dia memperoleh keutamaan tolong-menolong dalam kebaikan
Pendapat Hanabilah: Seseorang yang tidak mendapatkan tempat di dalam saf, maka dia berdiri di sana, dan boleh berdiri di sisi kanan imam jika hal tersebut memungkinkan. Jika tidak memungkinkan berdiri di sisi kanan imam, maka boleh baginya untuk mengajak orang lain ke dalam saf belakang bersamanya, baik dengan ucapan, berdehem, maupun dengan isyarat tertentu, sampai orang tersebut mengikutinya. Menurut ulama Hanabilah, makruh jika dengan cara menyeret orang tersebut. Ini yang dijelaskan oleh al-Bahuti, yang menjadi dasari oleh mazhab Hanabilah di dalam kitabn Syarah Muntahal Iradat.