Bulan Zulhijah akan kembali hadir, membawa sejuta kemuliaan dan kesempatan beramal yang mungkin tak akan terulang lagi. Di antara kemegahan ibadah yang mewarnai bulan ini, ibadah kurban seakan menjadi puncak ekspresi penghambaan, melambangkan kesediaan berkorban dengan apa yang paling berharga demi keridaan Allah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an:
لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَٰكِن يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنكُمْ
“Daging dan darah hewan kurban itu tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu.” (QS. Al-Hajj: 37)
Ayat ini terasa begitu mendalam, menggugah untuk direnungkan lebih jauh. Saat kita menyembelih hewan kurban yang gemuk dan mahal, yang benar-benar sampai kepada Allah bukanlah daging ataupun darahnya, melainkan sesuatu yang jauh lebih berharga – ketakwaan dari dalam hati kita.
Di tengah hiruk pikuk persiapan Iduladha, mudah bagi kita terjebak pada aspek lahiriah kurban. Berapa besar hewannya? Berapa harganya? Bagaimana cara membaginya? Pertanyaan-pertanyaan ini memang penting, tetapi sejatinya hanyalah permukaan dari samudra makna yang terkandung dalam ibadah agung ini.
Imam Ibn Katsir rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan ayat di atas dengan sangat indah. Beliau menulis:
يُخْبِرُ تَعَالَى أَنَّ الْمَقْصُودَ لَيْسَ إِرَاقَةُ دِمَائِهَا وَلَا إِزْهَاقُ نُفُوسِهَا، بَلِ الْمَقْصُودُ إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Allah Ta’ala memberitahukan bahwa tujuan (dari berkurban) bukanlah penumpahan darah atau menghilangkan nyawa hewan-hewan tersebut, tetapi tujuannya adalah keikhlasan amal untuk Allah ‘Azza wa Jalla.” (Tafsir Ibnu Katsir, 5/428, Dar Thayyibah)
Keikhlasan inilah yang menjadi ruh dari ibadah kurban. Tanpa keikhlasan, sembelihan kita hanyalah proses pemotongan hewan biasa, tak ubahnya seperti yang dilakukan jagal di pasar.
Lantas, bagaimana wujud ketakwaan yang dimaksud dalam ayat tersebut? Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah memberikan gambaran indah tentang ketakwaan. Beliau menulis:
التقوى كلمة جامعة تتضمن فعل ما أمر الله به وترك ما نهى الله عنه
“Takwa adalah kata yang mencakup melaksanakan apa yang Allah perintahkan dan meninggalkan apa yang Allah larang.” (Jami’ Al-‘Ulum wal Hikam, hlm. 190)
Dalam konteks kurban, ketakwaan termanifestasi dalam beberapa bentuk. Pertama, kesediaan mengorbankan harta terbaik kita untuk Allah. Nabi Ibrahim alaihissalam tidak memberikan kambing yang cacat atau sakit untuk Allah, melainkan putranya yang paling dicintai, meski kemudian Allah menggantikannya dengan sembelihan yang agung. Begitu pula dengan kita, kurban seharusnya mencerminkan kualitas terbaik dari apa yang kita miliki.
Kedua, ketaatan mutlak terhadap perintah Allah. Nabi Ibrahim tidak bernegosiasi atau mencari-cari alasan untuk tidak melaksanakan perintah Allah. Begitu pula seharusnya kita, melaksanakan ibadah kurban dengan penuh ketaatan, bukan keterpaksaan.
Ketiga, keikhlasan mendalam. Kurban dilaksanakan bukan untuk dipuji manusia atau sekadar tradisi tahunan, melainkan semata-mata mengharap rida Allah. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah ﷺ mengingatkan:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati kalian dan amal perbuatan kalian.” (HR. Muslim no. 2564)
Mungkin ini saatnya kita bertanya pada diri sendiri: Sudahkah kurban kita “sampai kepada Allah”? Atau masih sekadar ritual tahunan yang kita lakukan karena tuntutan sosial dan budaya?
Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan dalam tafsirnya:
فإن الله غني عن العالمين، وإنما أراد منكم أن تخلصوا له الأعمال، وتقصدوا وجهه في جميع الأحوال
“Sesungguhnya Allah Maha Kaya dari seluruh alam, Dia hanya menginginkan dari kalian agar kalian mengikhlaskan amal untuk-Nya dan meniatkan wajah-Nya dalam segala keadaan.” (Tafsir As-Sa’di, hlm. 539)
Baca juga: Di Balik Takbir dan Darah Kurban: Hikmah Sejati Iduladha
Coba renungkan, ketika kita memilih hewan kurban, apa yang menjadi pertimbangan utama kita? Apakah harganya yang terjangkau atau kualitasnya yang terbaik? Ketika membagikan daging kurban, apa motivasi kita? Apakah sekadar kewajiban atau benar-benar cerminan kasih sayang kepada sesama?
Kajian mendalam tentang ibadah kurban mengajarkan kepada kita bahwa nilai sebenarnya bukan pada jumlah atau harga hewan kurban, melainkan pada derajat ketakwaan dan keikhlasan yang mengiringinya. Seekor kambing yang disembelih dengan hati yang penuh ketakwaan jauh lebih berharga di sisi Allah daripada seekor unta yang disembelih dengan kesombongan dan riya.
Kisah Nabi Ibrahim dan putranya Ismail adalah cermin paling sempurna tentang esensi kurban. Ketika mimpi menyembelih anak menjadi perintah Ilahi, tak ada keraguan sedikitpun di hati Ibrahim. Allah mengabadikan dialog indah antara ayah dan anak dalam Al-Qur’an:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
“Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, ‘Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu?’ Dia (Ismail) menjawab, ‘Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.'” (QS. Ash-Shaffat: 102)
Respons Ismail adalah puncak ketaatan, refleksi kesediaan mengorbankan diri untuk perintah Allah. Begitu pula dengan Ibrahim, kesediaannya menyembelih buah hatinya adalah bukti cinta yang mengatasi segala cinta. Inilah pengorbanan hakiki—ketika kita rela melepaskan apa yang paling kita cintai demi meraih cinta yang lebih agung, cinta Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Imam Ibn Al-Qayyim rahimahullah menuliskan dengan indah dalam kitabnya Madarij As-Salikin:
كلما كان الحب أقوى كان الإيثار أتم
“Semakin kuat cinta, semakin sempurna pengorbanan.” (Madarij As-Salikin, 3/417)
Di era modern ini, tantangan untuk menjaga esensi kurban semakin berat. Kemudahan layanan kurban online, sertifikat kurban digital, dan berbagai inovasi teknologi membuat kita berisiko kehilangan sentuhan emosional dan spiritual dari ritual ini. Kita mungkin hanya transfer uang, pilih paket, dan selesai, tanpa pernah merasakan langsung keharuan momen penyembelihan atau kebahagiaan membagikan daging kepada yang membutuhkan.
Tantangan lainnya adalah godaan riya dan sum’ah (pamer dan mencari popularitas). Media sosial menjadi ajang “perlombaan” menunjukkan kurban terbaik, terbesar, atau terbanyak. Padahal, Allah berfirman:
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam.'” (QS. Al-An’am: 162)
Ayat ini mengingatkan kita bahwa segala ibadah, termasuk kurban, harus murni dipersembahkan untuk Allah semata, bukan untuk mendapat pujian manusia.
Bagaimana cara memastikan kurban kita benar-benar “sampai kepada Allah”? Berikut beberapa refleksi yang bisa kita lakukan:
Pertama, perbaiki niat. Niat adalah fondasi setiap amal. Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
Kedua, pilih hewan terbaik yang mampu kita berikan. Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa Allah Maha Baik dan hanya menerima yang baik-baik. Imam Nawawi rahimahullah berkata dalam Al-Majmu’:
وَيُسْتَحَبُّ أَنْ تَكُونَ الْأُضْحِيَّةُ سَمِينَةً حَسَنَةً ثَمِينَةً
“Disunahkan agar hewan kurban itu gemuk, bagus, dan berharga.” (Al-Majmu’, 8/383)
Ketiga, hayati makna spiritual di balik setiap tahapan kurban. Ketika memilih hewan, ingatlah bahwa kita memilih persembahan untuk Allah. Ketika menyembelih atau menyaksikan penyembelihan, renungkan kesediaan untuk “menyembelih” hawa nafsu dan ego kita. Ketika membagikan daging, rasakan indahnya berbagi dan menebarkan kebahagiaan.
Keempat, jadikan kurban sebagai momentum transformasi diri. Kurban bukan ritual setahun sekali, melainkan simbol kesediaan kita untuk selalu berkorban di jalan Allah, setiap hari, setiap saat.
Sesungguhnya, esensi kurban yang “sampai kepada Allah” adalah ketika nilai-nilai pengorbanan, keikhlasan, dan ketakwaan yang terkandung di dalamnya menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari kita. Kurban bukan sekadar ritual di hari raya, melainkan manifestasi keimanan yang mewarnai setiap aspek kehidupan kita—dalam bekerja, bermasyarakat, berkeluarga, dan beribadah.
Saat pisau kurban mengakhiri nyawa hewan sembelihan, sejatinya itu adalah awal dari perjalanan spiritual kita yang lebih dalam. Perjalanan untuk menjadikan hidup kita sebagai kurban abadi kepada Allah. Perjalanan untuk memastikan bahwa tidak hanya di hari raya, tetapi di setiap detik kehidupan kita, ada sesuatu yang “sampai kepada Allah” yaitu ketakwaan dan keikhlasan dari hati yang berserah.
Mari kita jadikan momentum Iduladha ini sebagai titik awal perjalanan menuju ketakwaan yang hakiki, di mana setiap langkah, nafas, dan detak jantung kita menjadi persembahan tulus kepada Sang Pencipta. Karena sesungguhnya, kurban tertinggi adalah ketika seluruh kehidupan kita berubah menjadi wujud penghambaan yang sampai kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wallahu a’lam bish-shawab.
Baca juga: Anjuran untuk Berkurban dan Keutamaannya
***
Penulis: Husnul Fauziyah
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
- Al-Qur’an al-Karim
- Tafsir Ibnu Katsir (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim). Abu al-Fida Isma’il ibn ‘Umar ibn Katsir. Dar Thayyibah li an-Nasyr wa at-Tawzi’. Cetakan kedua, 1420H/1999M.
- Jami’ Al-‘Ulum wal Hikam. Ibnu Rajab Al-Hanbali. Mu’assasat ar-Risalah, Beirut. Cetakan ketujuh, 1422H/2001M.
- Shahih Muslim. Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi. Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, Beirut.
- Tafsir As-Sa’di (Taysīr al-Karīm ar-Rahmān fī Tafsīr Kalām al-Mannān). ‘Abd ar-Rahman ibn Nasir as-Sa’di. Mu’assasat ar-Risalah. Cetakan pertama, 1420H/2000M.
- Madarij as-Salikin bayna Manazil Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Dar al-Kitab al-‘Arabi, Beirut. Cetakan ketiga, 1416H/1996M.
- Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab. Abu Zakariya Muhyiddin Yahya ibn Syaraf An-Nawawi. Dar al-Fikr.
- Shahih al-Bukhari. Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari. Dar Thauq an-Najah. Cetakan pertama, 1422H.