الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله و على آله و صحبه و من ولاه
Segala puji hanya untuk Allah ﷻ, Rabb semesta alam, selawat dan salam semoga tercurah bagi Muhammad ﷺ, para sahabat dan pengikutnya.
Nabi Ibrahim ‘alaihis salam: Ketaatan yang Tanpa Syarat
Allah ﷻ berfirman:
إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَىٰ رَبِّي سَيَهْدِينِ (٩٩) رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ (١٠٠) فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ (١٠١)
“Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Rabbku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku. Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang saleh. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran) seorang anak yang penyantun.” (QS. Ash-Shaffat: 99–101)
Yang dimaksud anak dalam ayat ini adalah Nabi Ismail ‘alaihis salam. Anak ini sangat dinantikan oleh Nabi Ibrahim, mengingat usianya yang sudah senja dan belum juga dikaruniai keturunan yang dapat melanjutkan risalah dakwahnya. Doa yang tulus dan penuh harap ini akhirnya dijawab oleh Allah ﷻ dengan kabar gembira akan lahirnya seorang putra yang memiliki sifat penyantun (halim).
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
“Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab: ‘Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ash-Shaffat: 102)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa mimpi para nabi adalah wahyu, dan ini merupakan ujian berat dari Allah ﷻ kepada Khalilullah (kekasih Allah) untuk menyembelih putra kesayangannya yang baru saja ia dapatkan di usia tua. Perintah ini datang melalui mimpi untuk menunjukkan tingkat ketaatan Ibrahim ‘alaihis salam yang luar biasa.
Ibnu Katsir mengutip riwayat yang mengatakan bahwa “mimpi para nabi adalah wahyu,” sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama. Dalam konteks ini, mimpi yang dialami Nabi Ibrahim bukanlah sekadar mimpi biasa, tetapi merupakan wahyu yang diberikan Allah kepadanya. Mimpi ini menjadi ujian yang sangat berat bagi Ibrahim, seorang nabi yang sangat mencintai putranya, namun beliau siap untuk taat sepenuhnya kepada perintah Allah.
فرؤيا الأنبياء وحي، كما قاله طائفة كثيرة من العلماء، واستدلوا عليه بهذه الآية
“Mimpi para nabi adalah wahyu, sebagaimana dikatakan oleh banyak ulama, dan mereka berdalil dengan ayat ini.” (Tafsir Ibnu Katsir rahimahullah, jilid 7, hal. 125, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut)
Nabi Ismail ‘Alaihissalam: Anak yang Taat kepada Rabb dan Ayahnya
Luar biasanya, Nabi Ismail ‘alaihis salam, yang saat itu masih belia, tidak menunjukkan penolakan atau keraguan sedikit pun terhadap perintah yang disampaikan oleh ayahnya, Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Jawabannya yang terekam dalam Al-Qur’an:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
“Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Wahai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar (QS. Ash-Shaffat: 102).“
Ini menunjukkan tingkat keimanan, ketakwaan, dan kebaktian yang sangat tinggi kepada Allah ﷻ dan kepada ayahnya.
Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah:
وكان إسماعيل في غاية البر بأبيه، ورضي بالتضحية بنفسه قربةً لله تعالى
“Ismail berada pada puncak bakti kepada ayahnya, dan ia rida mengorbankan dirinya sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah Ta’ala.”
Baca juga: Adab Doa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam
Hajar: Keteladanan Tawakal Seorang Ibu
Jangan dilupakan pula sosok Hajar, ibunda Ismail ‘alaihis salam. Kisah Hajar, merupakan cerminan luar biasa dari ketabahan dan ketawakalan kepada Allah ﷻ. Ujian berat dihadapinya ketika Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, atas perintah Allah ﷻ, meninggalkannya bersama Ismail ‘alaihis salam yang saat itu masih bayi. Mereka ditinggalkan di lembah Bakkah (Mekkah) yang tandus dan belum berpenghuni, hanya berbekal sedikit makanan dan minuman. Ketika Hajar menanyakan alasan di balik tindakan tersebut, Nabi Ibrahim ‘alaihis salam menjelaskan bahwa itu adalah perintah dari Allah ﷻ. Dengan penuh keyakinan dan kepasrahan, Hajar kemudian berkata:
إِذًا لَا يُضَيِّعُنَا
“Kalau begitu, Dia (Allah) tidak akan menyia-nyiakan kami.”
Ucapan ini, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari (hadis no. 3364), menunjukkan tingkat kepasrahan total dan keyakinan yang mendalam bahwa Allah ﷻ tidak akan pernah menelantarkan hamba-Nya yang taat. Terkait ucapan Hajar tersebut, Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah dalam penjelasannya mengenai hadis ini (yang dikutip dari Syarh Riyadhus Shalihin) menyatakan:
فهذا يدل على إيمانها العميق، وتوكلها الكامل على الله سبحانه وتعالى
“Ini menunjukkan keimanan yang dalam dan tawakal yang sempurna dari Hajar kepada Allah ﷻ.”
Peristiwa Sa’i, yaitu usaha Hajar berlari kecil antara bukit Shafa dan Marwah dalam upaya mencari air untuk putranya, Ismail, menjadi bukti nyata dari perjuangan tanpa henti dan kepercayaan penuh akan datangnya pertolongan Allah ﷻ. Kisah ini terus diabadikan dalam salah satu rukun ibadah Haji dan Umrah.
Allah ﷻ Gantikan Pengorbanan Itu dengan Keberkahan
Ketika Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan Nabi Ismail ‘alaihis salam telah menunjukkan puncak kepasrahan dan ketaatan mereka kepada Allah ﷻ dengan melaksanakan perintah penyembelihan, Allah ﷻ dengan rahmat-Nya menggantikan Nabi Ismail dengan seekor sembelihan yang besar.
وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ
“Dan Kami tebus anak itu dengan sembelihan yang besar.” (QS. Ash-Shaffat: 107)
Peristiwa agung ini kemudian menjadi dasar disyariatkannya ibadah kurban bagi umat Islam.
Imam As-Sa’di rahimahullah menjelaskan makna ayat tersebut dalam kitab tafsirnya:
[ وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ } أي: صار بدله ذبح من الغنم عظيم، ذبحه إبراهيم، فكان عظيما من جهة أنه كان فداء لإسماعيل، ومن جهة أنه من جملة العبادات الجليلة، ومن جهة أنه كان قربانا وسنة إلى يوم القيامة.
“Dan Kami tebus dia dengan sembelihan yang besar.”
Maksudnya, penggantinya adalah sembelihan besar dari jenis kambing/domba, yang disembelih oleh Ibrahim.
Maka, ia menjadi besar dari sisi bahwa ia adalah tebusan untuk Ismail, dari sisi bahwa ia termasuk ibadah yang agung, dan dari sisi bahwa ia adalah kurban dan sunnah hingga hari kiamat.
Pengorbanan ini tidak sia-sia; Allah ﷻ membalasnya dengan keberkahan yang melimpah, baik bagi keluarga Ibrahim maupun bagi generasi sesudahnya.
Pelajaran untuk Keluarga Muslim
Kisah keluarga Nabi Ibrahim ‘alaihis salam bukanlah sekadar dongeng pengantar tidur atau cerita masa lalu yang hanya dikenang. Lebih dari itu, kisah ini sarat dengan pelajaran berharga yang relevan sepanjang masa bagi setiap keluarga Muslim yang mendambakan keridaan Allah ﷻ.
Di antara hikmah dan pelajaran penting yang dapat dipetik adalah penekanan fundamental bahwa ketaatan mutlak kepada Allah ﷻ haruslah ditempatkan di atas segala-galanya, melebihi kecintaan terhadap anak, harta, maupun diri sendiri.
Selain itu, kisah ini dengan jelas menyoroti peran penting seorang ayah sebagai kepala keluarga, yang tidak hanya bertanggung jawab atas nafkah materi, tetapi yang lebih utama adalah menjadi pemimpin iman, teladan dalam ketakwaan serta pembimbing dalam hal pengembangan nilai-nilai agama bagi seluruh anggota keluarganya.
Tidak kalah pentingnya adalah pendidikan anak-anak; mereka perlu ditanamkan nilai-nilai tauhid yang kokoh dan sifat sabar dalam menghadapi ujian sejak usia dini, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Ismail. Peran seorang ibu juga terukir dengan indah dalam kisah ini; ia memiliki andil besar dalam membentuk generasi penerus yang bertawakal penuh kepada Allah ﷻ, sebagaimana keteguhan dan kepasrahan Hajar menjadi inspirasi abadi.
Penutup
Keluarga Nabi Ibrahim ‘alaihis salam adalah teladan keluarga Muslim ideal yang dibangun di atas pondasi iman, takwa, ketaatan, kesabaran, dan tawakal kepada Allah ﷻ. Setiap anggota keluarga memainkan perannya masing-masing dengan penuh keikhlasan demi meraih cinta dan keridaan Ilahi. Kisah mereka menjadi cermin bagi kita semua tentang bagaimana seharusnya sebuah keluarga Muslim menjalani kehidupan di dunia ini.
Semoga Allah ﷻ senantiasa memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua, agar kita dapat meneladani keikhlasan, pengorbanan, dan keteguhan iman keluarga Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dalam membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah, serta diridai-Nya. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Baca juga: Meneladani Jejak Kepatuhan dan Pengorbanan Nabi Ibrahim
***
Penulis: Olga Mia Soransa
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
- Al-Qur’anul Karim
(Sumber utama, semua ayat dari mushaf standar cetakan Madinah) - Ibnu Katsir, Ismail bin Umar.
Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim (Tafsir Ibnu Katsir), jilid 7, hlm. 125. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah. - Ibnu Rajab al-Hanbali, Abdurrahman bin Ahmad.
Lathaif al-Ma‘arif fima li Mawasim al-‘Am min al-Wazhaif, Riyadh: Dar Ibn al-Jauzi. - Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail.
Shahih al-Bukhari. Hadis no. 3364. Riyadh: Dar Thauq al-Najah. Dapat diakses melalui Sunnah.com, Sahih al-Bukhari 3364, diakses pada 13 Mei 2025, dari https://sunnah.com/bukhari:3364. - Al-Fauzan, Shalih bin Fauzan.
Syarh Riyadhus Shalihin. Jilid 4, hlm. 345. Riyadh: Dar al-Watan. - As-Sa’di, Abdurrahman bin Nashir.
Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan. Tafsir untuk QS. Ash-Shaffat: 107. Diakses dari http://quran.ksu.edu.sa/tafseer/saadi/sura37-aya107.html pada 13 Mei 2025.