Zulhijah telah datang. Bulan yang ditinggikan derajatnya oleh Allah, yang sepuluh harinya disaksikan oleh langit dan bumi sebagai hari-hari paling mulia dalam setahun. Inilah bulan agung yang tidak semua hamba diberi kesempatan menjumpainya, amal di dalamnya lebih dicintai Allah daripada berjihad di jalan-Nya, kecuali orang yang keluar dengan jiwa dan hartanya, lalu tidak kembali dengan apa pun. Sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari sahabat yang mulia Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ما من أيام العمل الصالح فيها أحب إلى الله من هذه الأيام – يعني أيام العشر – قالوا : يا رسول الله ولا الجهاد في سبيل الله ؟ قال ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجل خرج بنفسه وماله ثم لم يرجع من ذلك بشيء
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidak ada hari di mana amal saleh pada saat itu lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini, yaitu sepuluh hari dari bulan Zulhijah.’ Mereka bertanya, ‘Wahai Rasulullah, tidak juga jihad fi sabilillah?’ Beliau menjawab, ‘Tidak juga jihad fi sabilillah, kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu apapun.’” (HR. Bukhari)
Namun, di balik keutamaannya dan di dalam lautan takbir yang menggema, dalam aroma darah kurban yang mengalir, terselip kisah yang tak pernah lekang oleh zaman, yaitu kisah tentang cinta, ketundukan, dan pengorbanan. Kisah itu milik seorang hamba yang disebut oleh Allah sebagai “Khalilullah” (kekasih Allah); yaitu Nabi Ibrahim ‘alaihis salam.
Namanya selalu berkaitan dengan Zulhijah, dalam lisan jemaah haji, dalam doa dan khotbah, bahkan dalam setiap ibadah kurban yang kita tunaikan. Tapi pernahkah kita benar-benar duduk sejenak, diam, dan bertanya dalam hati, “Apa yang membuat Ibrahim begitu agung di sisi Allah?”
Satu perintah, seluruh kehidupan
Allah memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih anaknya melalui sebuah mimpi. Bukan mimpi biasa. Tapi sebuah wahyu. Sebuah ujian dari langit yang mengguncang jiwa. Namun lihatlah bagaimana Ibrahim menjawabnya, dengan tenang, tulus, dan lapang,
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّيٓ أَرَىٰ فِي ٱلْمَنَامِ أَنِّيٓ أَذْبَحُكَ فَٱنظُرْ مَاذَا تَرَىٰ
“Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Wahai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’”
Dan anak itu (Ismail ‘alaihis saalam) menjawab dengan jawaban yang begitu mulia,
يَا أَبَتِ ٱفْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّـٰبِرِينَ
“Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Perkataan Ismail, “Lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”, adalah sebuah bentuk keikhlasan dan ketaatan yang luar biasa. Ayah dan anak, keduanya tunduk sepenuhnya kepada perintah Allah.
Percakapan kedua manusia yang mulia ini pun Allah abadikan di dalam Al-Qur’an surah Ash-Shaffat ayat 102.
Meneladani kepatuhan Nabi Ibrahim
Nabi Ibrahim ‘alaihis salam diuji dengan perintah yang mengguncangkan logika manusia, yaitu menyembelih putranya sendiri. Tapi Ibrahim patuh, tidak bertanya “mengapa?”, tidak berkata “nanti dulu”, tidak pula mencari jalan tengah. Apa yang ia lakukan? Langsung berserah diri dan bersegera melaksanakan perintah itu.
Sedangkan kita? Mungkin tidak diperintahkan menyembelih anak. Tapi, tidakkah kita pernah merasa sulit ketika harus menyembelih rasa malas saat adzan memanggil? Menyembelih ego ketika diperintah untuk memaafkan? Menyembelih cinta dunia saat diminta untuk bersedekah?
Sebagian dari kita mungkin berpikir, “Tentu saja Ibrahim bisa, karena beliau seorang nabi.”
Tapi bukankah kita juga diuji?
Ibrahim menunjukkan bahwa ketaatan tidak butuh banyak alasan. Tidak perlu menunggu siap. Tidak menunggu semuanya sempurna. Yang dibutuhkan hanyalah keyakinan, “Jika itu perintah Allah, maka aku lakukan. Karena aku tahu, Allah tidak mungkin salah.”
Baca juga: Bagaimana Hendaknya Kita Menyikapi Ujian?
Mengikuti jejak teladan terbaik
Benar, kita bukan Ibrahim. Tapi kita adalah umat Nabi Muhammad ﷺ, yang diperintahkan untuk meneladani para nabi. Allah berfirman,
قدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِيٓ إِبْرَٰهِيمَ وَٱلَّذِينَ مَعَهُ
“Sungguh telah ada teladan yang baik bagimu pada (diri) Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya …” (QS. Al-Mumtahanah: 4)
Bahkan Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi sallam diperintakan untuk mengikuti jalan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Allah berfirman,
ثُمَّ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ أَنِ ٱتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَٰهِيمَ حَنِيفًا ۖ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), ikutilah agama Ibrahim yang lurus …” (QS. An-Nahl: 123)
Meneladani Ibrahim bukan berarti kita harus menghadapi ujian sebesar beliau. Tapi cukup dengan meresapi semangatnya: taat, meski berat; ikhlas, meski harus kehilangan; rida, meski air mata mengalir.
Apa yang sudah kita korbankan?
Setiap insan beriman pasti pernah diuji dengan pengorbanan baik harta, waktu, keinginan, bahkan orang-orang yang dicintainya. Namun, adakah pengorbanan kita yang mendekati ujian yang Allah berikan kepada Khalilullah, Nabi Ibrahim ‘alaihis salam?
Ketika diperintahkan menyembelih putranya, Nabi Ibrahim tak ragu. Ia siap mengorbankan apa yang paling ia cintai demi menaati Rabb-nya. Allah berfirman,
فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ
“Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya …” (QS. As-Saffat: 103)
Ketaatan dan pengorbanan itu dibalas dengan kemuliaan. Allah berfirman,
وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيم
“Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS. As-Saffat: 107)
Dari kisah ini, kita diajarkan bahwa pengorbanan sejati adalah bukti keikhlasan dan ketaatan kepada Allah. Maka tanyakan pada diri kita, “Apa yang sudah kita korbankan di jalan Allah?”
Saat kita membaca kisah agung Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, hati ini seharusnya bergetar. Apakah kita sudah benar-benar tunduk sebagaimana beliau tunduk? Kita mungkin tidak diminta menyembelih anak, tapi kita sering diminta mengorbankan hal-hal yang jauh lebih ringan: meninggalkan dosa, menahan hawa nafsu, menyisihkan waktu untuk salat, menyedekahkan sebagian harta, atau bersabar atas takdir yang pahit.
Namun, seringkali kita enggan. Kita menunda taat, berat memberi, atau sulit menahan diri. Lalu bagaimana mungkin kita mengaku mencintai Allah seperti Ibrahim, jika pengorbanan kecil saja masih terasa berat?
Allah ‘Azza wa Jalla mengingatkan kita di dalam sebuah ayat. Allah berfirman,
قُلْ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَٰنُكُمْ وَأَزْوَٰجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَٰلٌ ٱقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَٰرَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَٰكِنُ تَرْضَوْنَهَآ أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٍ فِى سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُوا۟ حَتَّىٰ يَأْتِىَ ٱللَّهُ بِأَمْرِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلْفَٰسِقِينَ
“Katakanlah, “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah: 24)
Ayat ini mengguncang jiwa. Cinta dan ketaatan kepada Allah harus berada di atas segalanya. Bila tidak, maka ancaman Allah sangat nyata.
Berusaha meneladani Nabi Ibrahim
Kita tentu tidak akan bisa seperti Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang telah lulus dengan beban ujian yang didapatnya. Namun, ingatlah bahwa Allah tidak membebani hamba-Nya, melainkan sesuai dengan kemampuannya. Setiap kali kita merasa berat untuk taat, ingatlah kisah Ibrahim yang mengajarkan kita bahwa ketaatan kepada Allah bukanlah hal yang mustahil. Allah berfirman dalam Al-Qur’an,
فَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupan kalian.” (QS. At-Taghabun: 16)
Kalau Ibrahim bisa dengan ujian yang berat, semoga kita pun bisa dengan ujian yang kita hadapi setiap hari. Yang dibutuhkan hanyalah niat yang tulus, usaha yang maksimal, dan tawakal kepada Allah.
Semoga kita diberikan kekuatan dan kemudahan untuk meneladani ketulusan Ibrahim dalam setiap langkah kehidupan kita. Mari kita berusaha berkorban untuk Allah, karena setiap pengorbanan akan digantikan dengan sesuatu yang lebih baik oleh-Nya.
Baca juga: Hadapi Ujian dengan Penuh Kesabaran
***
Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan
Artikel Muslimah.or.id