Bismillah.
Segala puji bagi Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji manusia; siapakah di antara mereka yang terbaik amalnya. Selawat dan salam semoga tercurah kepada manusia terbaik dan rasul paling utama teladan bagi pengejar keutamaan. Amma ba’du.
Nikmat iman dan amal saleh
Hari-hari ini kita menemukan begitu banyak fenomena memprihatinkan di tengah masyarakat Islam. Perkara-perkara yang membuat hati dan perasaan seorang mukmin tergetar dan merenung. Kasus-kasus kerusakan dan kemungkaran yang merambah di sudut-sudut kehidupan umat.
Fenomena miras (minuman keras), pinjol, dan judi online seolah mengguncangkan akal dan menggoyahkan rumah dan tatanan kehidupan. Belum lagi kasus bunuh diri dan berbagai bentuk penyakit mental yang mengancam generasi penerus. Di sisi lain, kita perhatikan banyak masjid seolah tidak diminati oleh kaum muda. Pada jam-jam salat, mereka masih saja bercanda dan duduk santai di warung. Panggilan azan seolah tak terdengar oleh mereka, semoga Allah beri petunjuk-Nya untuk kita dan mereka.
Hal ini kembali mengingatkan kita akan sebuah surah yang sudah kita hafal bersama, yaitu surah al-’Ashr. Allah Ta’ala berfirman,
وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam menetapi kesabaran.” (QS. al-’Ashr: 1-3)
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Seandainya manusia mau merenungkan surat ini, niscaya ia telah cukup untuk (menyadarkan) mereka.”
Banyak orang yang lupa atau lalai, bahwa kehidupan dunia ini hanya sementara. Masih ada kehidupan setelah kematian dan hari pembalasan atas amal-amal hamba. Orang yang selamat dan berbahagia bukanlah yang paling banyak harta, paling tinggi jabatan, atau paling cantik wajahnya. Akan tetapi yang bahagia adalah hidup berjalan di atas petunjuk Allah dan tuntunan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah berfirman,
فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى
“Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (QS. Thaha: 123)
Allah telah menjelaskan mana jalan kebenaran dan mana jalan-jalan kesesatan. Adalah kesempatan bagi kita untuk menempuh jalan keselamatan dan menjauhi jurang kehancuran. Betapa bodoh orang yang menjual kenikmatan abadi di surga dengan serpihan dunia yang semu dan fana.
Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Para pemuja dunia telah keluar dari dunia dalam kondisi belum merasakan sesuatu yang paling baik dan paling lezat di dalamnya.” Orang-orang pun bertanya kepadanya, “Wahai Abu Yahya, apakah itu yang paling lezat di dunia?” beliau menjawab, “Mengenal Allah ‘azza wa jalla.”
Orang yang mengira bahwa kebahagiaan itu diukur dengan harta dan kemewahan, maka sungguh telah tertipu dan terpedaya. Lihatlah Qarun dan segala kekayaannya, justru ia sengsara dan binasa karena kesombongan dan kelalaiannya dari perintah agama. Begitu pula pongahnya Fir’aun, Namrud, Abu Jahal, dan Abu Lahab sehingga memilih jalan kekafiran dan tidak mau tunduk pasrah kepada aturan dan ajaran Allah, penguasa langit dan bumi.
Apabila kita cermati surat al-Ashr di atas, tampaklah bahwa keberuntungan itu akan diraih bagi mereka yang membekali dirinya dengan iman dan menghiasi waktunya dengan ketaatan dan ibadah kepada Allah. Iman dan amal saleh menjadi pundi-pundi ketakwaan yang akan tertanam dengan kuat di bumi penghambaan. Allah berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56)
Jangan anda kira bahwa ibadah itu demi kepentingan Allah. Justru kita lah orang pertama yang paling butuh kepadanya. Tanpa ibadah, hidup tak akan bahagia. Tanpa iman, hidup semakin merana. Ibadah adalah ruh dan cahaya bagi kehidupan umat manusia. Manusia senantiasa membutuhkan bimbingan risalah (ajaran rasul); kebutuhan mereka terhadapnya lebih besar daripada kebutuhan kepada makanan, minuman, atau bahkan air dan udara. Sebab risalah inilah kunci kehidupan, ruh, dan cahaya bagi perjalanan umat manusia.
Allah Maha mengetahui segala permasalahan dan kesulitan yang menimpa anda. Allah pula yang paling mengerti apa yang terbaik untuk anda. Allah lebih sayang kepada kita daripada ibu dan ayah kita. Barangsiapa beramal saleh, maka itu demi kebaikan dirinya sendiri. Barangsiapa yang berpaling dari petunjuk dan peringatan Allah, maka dia akan hidup dalam kegalauan dan kesempitan. Walaupun dia bermandikan emas dan perak serta tidur di atas ranjang empuk nan mewah dan tinggal di dalam istana nan megah!
Baca juga: Bersabarlah Sebentar Saja
Agungnya sabar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ
“Tidaklah seseorang diberikan suatu anugerah yang lebih baik dan lebih lapang daripada sabar.” (HR. Bukhari no. 1469 dan Muslim no. 1053)
Ibrahim al-Khawwash rahimahullah berkata, “Hakikat kesabaran itu adalah teguh di atas al-Kitab dan as-Sunnah.” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 3: 7).
Ibnu ‘Atha’ rahimahullah berkata, “Sabar adalah menyikapi musibah dengan adab/cara yang baik.” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 3: 7)
Abu Ali ad-Daqqaq rahimahullah berkata, “Hakikat dari sabar yaitu tidak memprotes sesuatu yang sudah ditetapkan dalam takdir. Adapun menampakkan musibah yang menimpa selama bukan untuk berkeluh-kesah -kepada makhluk- maka hal itu tidak meniadakan kesabaran.” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 3: 7)
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Sabar secara bahasa artinya adalah menahan diri. Allah Ta’ala berfirman kepada nabi-Nya,
وَٱصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم
‘Sabarkanlah dirimu bersama orang-orang yang berdoa kepada Rabb mereka’. Maksudnya adalah: tahanlah dirimu untuk tetap bersama mereka. Adapun di dalam istilah syari’at, sabar adalah: menahan diri di atas ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan untuk meninggalkan kedurhakaan (kemaksiatan) kepada-Nya …” (I’anat al-Mustafid bi Syarhi Kitab at-Tauhid, 3: 134; software Maktabah asy-Syamilah)
al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah memiliki hak untuk diibadahi oleh hamba di saat tertimpa musibah, sebagaimana ketika dia mendapatkan kenikmatan.” Beliau juga mengatakan, “Maka sabar adalah kewajiban yang selalu melekat kepadanya, dia tidak boleh keluar darinya untuk selama-lamanya. Sabar merupakan penyebab untuk meraih segala kesempurnaan.” (Fath al-Bari, 11: 344)
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Adapun sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah dan sabar dalam menjauhi kemaksiatan kepada-Nya, maka hal itu sudah jelas bagi setiap orang bahwasanya keduanya merupakan bagian dari keimanan. Bahkan, kedua hal itu merupakan pokok dan cabangnya. Karena pada hakikatnya, iman itu secara keseluruhan merupakan kesabaran untuk menetapi apa yang dicintai Allah dan diridai-Nya serta untuk senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya, demikian pula harus sabar dalam menjauhi hal-hal yang diharamkan Allah. Dan juga karena sesungguhnya agama ini berporos pada tiga pokok utama: [1] membenarkan berita dari Allah dan rasul-Nya; [2] menjalankan perintah Allah dan rasul-Nya; dan [3] menjauhi larangan-larangan keduanya …” (al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 105-106)
Umar bin Khatthab radhiyallahu ’anhu mengatakan, “Kami berhasil memperoleh penghidupan terbaik kami dengan jalan kesabaran.” (HR. Bukhari secara mu’allaq dengan nada tegas, dimaushulkan oleh Ahmad dalam az-Zuhd dengan sanad sahih. Lihat Fath al-Bari, 11: 342; cet. Dar al-Hadits tahun 1424)
Dari Shuhaib radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik untuknya. Dan hal itu tidak ada kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila dia mendapatkan kesenangan, maka dia pun bersyukur, maka hal itu adalah kebaikan untuknya. Apabila dia tertimpa kesulitan maka dia pun bersabar, maka hal itu juga sebuah kebaikan untuknya.” (HR. Muslim no. 2999. Lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 9: 241)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu mengatakan, “Sabar adalah separuh keimanan.” (HR. Abu Nu’aim dalam al-Hilyah dan al-Baihaqi dalam az-Zuhd. Lihat Fath al-Bari, 1: 62 dan 11: 342)
Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu mengatakan, “Sabar bagi keimanan laksana kepala dalam tubuh. Apabila kesabaran telah lenyap, maka lenyap pulalah keimanan.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya [31079] dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman [40]. Bagian awal atsar ini dilemahkan oleh al-Albani dalam Dha’if al-Jami’ [3535]; lihat Shahih wa Dha’if al-Jami’ as-Shaghir [17: 121] software Maktabah asy-Syamilah)
Wallahu a’lam bish shawaab.
Baca juga: Sabar Menahan Gangguan Dari Orang Tua
***
Penulis: Ari Wahyudi
Artikel Muslimah.or.id