Saat langit Zulhijah mulai merona dan gema takbir memenuhi bumi, hati setiap muslim dipanggil untuk kembali mengingat makna keberadaan, menapaki jejak ketaatan, dan menyentuh inti dari ibadah, yaitu menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah Subhanahu wa Ta‘ala.
Iduladha bukan sekadar hari besar ataupun perayaan penyembelihan hewan, tetapi perenungan tentang makna hidup, penghambaan kepada Allah, dan kepedulian terhadap sesama. Ia adalah panggilan hati, peringatan cinta yang tertinggi tentang bagaimana seorang hamba menundukkan keinginannya demi kehendak Rabb-nya; dan bagaimana pengorbanan bukanlah kehilangan, melainkan jalan menuju kedekatan yang hakiki.
Kisah pengorbanan yang melintasi zaman
Tak ada kisah yang lebih menggugah jiwa dalam Iduladha selain pengorbanan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan putranya, Ismail. Dalam Al-Qur’an, Allah mengabadikan momen suci itu dalam firman-Nya,
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي ٱلْمَنَامِ أَنِّيٓ أَذْبَحُكَ فَٱنظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَـٰٓأَبَتِ ٱفْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّـٰبِرِينَ
“Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Wahai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab, ‘Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.'” (QS. As-Saffat: 102)
Dalam percakapan lembut itu, terpatri dua jiwa yang telah melebur dalam cinta Ilahi. Keduanya tidak hanya taat, tetapi juga rida dan menyerahkan yang dicintai kepada Allah. Dan dari peristiwa itu, kita belajar bahwa cinta kepada Allah harus mengungguli segala cinta yang lain.
Ketaatan Nabi Ibrahim dan keikhlasan Nabi Ismail menjadi teladan tertinggi dari pengorbanan dan kepatuhan tanpa syarat kepada perintah Allah. Ini bukan hanya soal ayah yang rela mengorbankan anaknya, tetapi lebih jauh lagi, ini adalah bentuk pencapaian tauhid yang sempurna, yaitu meletakkan Allah di atas segala cinta duniawi.
Darah yang tertumpah, tapi takwa yang terangkat
Hewan kurban yang disembelih pada hari Iduladha bukanlah tujuan utama. Allah mengingatkan,
لَن يَنَالَ ٱللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَآؤُهَا وَلَـٰكِن يَنَالُهُ ٱلتَّقْوَىٰ مِنكُمْ
“Daging-daging unta dan darahnya itu tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kalian.” (QS. Al-Hajj: 37)
Syekh As-Sa’di rahimahullah berkata ketika menjelaskan ayat tersebut di dalam tafsirnya, “Maksudnya, bukanlah tujuan dari penyembelihan itu agar daging dan darahnya sampai kepada Allah. Karena Allah Maha Kaya dan tidak membutuhkan apa pun dari ciptaan-Nya. Akan tetapi, yang sampai kepada-Nya adalah keikhlasan, niat yang baik, dan harapan pahala dari-Nya. Oleh karena itu, Allah berfirman (yang artinya), ‘Akan tetapi, yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan dari kalian.’” (Taisiir Al-Kariim Ar-Rahman fii Tafsir Al-Kalaam Al-Mannan, hal. 626)
Demikian pula semua ibadah, jika tidak disertai dengan keikhlasan dan ketakwaan kepada Allah, maka ibarat jasad tanpa ruh.
Hal ini senada dengan sabda Nabi Muhammad ﷺ,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَٰكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian dan harta kalian. Akan tetapi, Dia melihat kepada hati dan amal kalian.” (HR. Muslim)
Seruan ketundukan dan pengakuan
ٱللَّهُ أَكْبَرُ ٱللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ وَٱللَّهُ أَكْبَرُ ٱللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ ٱلْحَمْدُ
Takbir bukan hanya lafaz yang menggema di masjid dan jalanan, tetapi seruan batin yang mengajarkan bahwa tiada yang lebih agung dari Allah. Ia adalah pengakuan bahwa hidup ini bukan milik kita, bahwa segala yang kita cintai hanyalah titipan, dan bahwa pada akhirnya semua akan kembali kepada-Nya.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
وَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ فِىٓ أَيَّامٍ مَّعْدُودَٰتٍ
“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.” (QS. Al-Baqarah: 203)
Para ulama menafsirkan bahwa maksud dari “hari yang berbilang” adalah hari tasyrik, yaitu 11-13 Zulhijah. Hari-hari tasyrik adalah “ayyamullah”, hari-hari milik Allah, saat kaum muslimin diperintahkan untuk memperbanyak takbir, tahlil, dan tahmid. Dalam sebuah hadis disebutkan,
أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرٍ لِلَّهِ
“Hari-hari tasyrik adalah hari makan, minum, dan berdzikir kepada Allah.” (HR. Muslim)
Jalan empati dan solidaritas
Kurban juga mengandung pesan sosial yang mendalam. Ia mengajarkan untuk berbagi, menyatukan hati antar golongan, dan menguatkan ikatan kasih sayang di tengah masyarakat. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
فَكُلُوا۟ مِنْهَا وَأَطْعِمُوا۟ ٱلْبَآئِسَ ٱلْفَقِيرَ
“Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al-Hajj: 28)
Rasulullah ﷺ bersabda,
كُلُوا وَادَّخِرُوا وَتَصَدَّقُوا
“Makanlah (daging kurban), simpanlah, dan bersedekahlah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam momen Iduladha, seorang muslim diajak untuk tidak hanya menyembelih hewan, tetapi juga menyembelih keegoisan, menumbuhkan kepekaan, dan melihat bahwa masih banyak saudara yang butuh uluran tangan dan perhatian.
Menemukan diri di hari Iduladha
Di antara makna terbesar Iduladha adalah proses menemukan kembali diri. Kurban bukan sekadar tentang kambing atau sapi yang disembelih, melainkan tentang apa yang siap kita lepaskan demi Allah. Bisakah kita menyembelih rasa malas dalam beribadah? Bisakah kita menyembelih rasa iri, sombong, cinta dunia, dan ketergantungan kepada makhluk? Sebab, kebahagiaan sejati bukanlah pada gemerlap dunia, tetapi pada kedekatan dengan Allah dan ketenangan hati yang pasrah.
“Jalan pulang” menuju Allah
Iduladha adalah panggilan untuk pulang kembali. Namun, bukan ke rumah, tapi ke dalam hati yang kembali kepada Allah. Takbir adalah bisikan cinta dari langit, dan kurban adalah bukti bahwa kita masih sanggup memberi, meski harus melepaskan.
Semoga di hari-hari mulia ini, kita tidak hanya menyembelih hewan, tetapi juga menyembelih segala yang menghalangi kita dari Allah. Semoga kita mampu mendengar suara takbir bukan hanya di telinga, tetapi juga dalam jiwa sebagai seruan lembut untuk kembali, tunduk, dan mencintai-Nya sepenuh hati.
Baca juga: Syiar-Syiar Pada Iduladha
***
Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan
Artikel Muslimah.or.id