Di dalam Al-Qur’anul Karim, ada beberapa ayat yang dimulai dengan kalimat يا ايها الذين امنوا “Wahai orang-orang yang beriman” sebagai seruan dari Allah Tabaraka wa Ta’ala bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya, agar mereka memperhatikan dan mengamalkan perintah yang akan disebutkan setelah seruan tersebut.
قال ابن مسعود: إذا سمعت الله يقول: { يا أيها الذين آمنوا } فأرعها سمعك: فإنه خير تأمر به؛ أو شر ينهى عنه
Ibnu Mas’ud berkata, “Jika engkau mendengar firman Allah, ‘Wahai orang-orang yang beriman’, maka pusatkan perhatianmu. Sesungguhnya ayat tersebut mengandung kebaikan yang diperintahkan untukmu atau keburukan untuk engkau jauhi.”
Dan di antara ayat-ayat tersebut, terdapat satu ayat yang berisikan perintah bagi orang-orang mukmin untuk memperbanyak shalawat kepada baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ ٱللَّهَ وَمَلَٰٓئِكَتَهُۥ يُصَلُّونَ عَلَى ٱلنَّبِىِّ ۚ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ صَلُّوا۟ عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا۟ تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab: 56)
Maka sudah sepatutnya kita memperbanyak membaca shalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memahami makna dari bacaan shalawat tersebut.
Redaksi shalawat Nabi
Ada beberapa redaksi bacaan shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Salah satunya di dalam hadis yang diriwayatkan dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amry Al-Anshari Al-Badri, ia mengatakan, “Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam datang kepada kami saat kami berada di majelis Sa’ad bin Ubadah. Basyir bin Sa’ad bertanya pada beliau, ‘Allah telah memerintahkan kami bershalawat untuk Anda, lalu bagaimana cara kami bershalawat untuk Anda?’” Beliau menjawab,
قُولُو اللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ
“Ucapkanlah, ‘Ya Allah, limpahkanlah shalawat untuk Muhammad dan keluarga Muhammad.” (HR. Ahmad, 4: 118, 7: 273-274, Muslim no. 405, An-Nasa’i, 3: 45, dan Tirmidzi no. 3220, ia mensahihkannya)
Makna kata ‘Allahumma’
Diawali dengan ‘Allahumma’ yang artinya, ‘Ya Allah’. Karenanya, kata ini tidak dipergunakan selain untuk memohon. Oleh karena itu, tidak diucapkan, “Allahumma, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang” tetapi diucapkan, “Allahumma, ampuni aku dan kasihi aku”.
Para pakar ilmu nahwu berbeda pendapat tentang huruf Mim bertasydid yang terdapat di penghujung nama ‘Allah’ ini.
Kami (Ibnul Qayyim) katakan, ‘Mim’ adalah huruf syafahi (bibir) di mana orang yang mengucapkannya harus mengatupkan kedua bibirnya. Bangsa Arab menjadikannya sebagai tanda jamak dan ini telah diriwayatkan dari banyak generasi salaf.
Hasan Bashri pernah mengucapkan, “Allahumma adalah penghimpun doa.”
Abu Raja’ Al-Atharidi mengatakan, “Huruf ‘mim’ dalam Allahumma meliputi 99 nama Allah.”
Nadhr bin Syumail mengatakan, “Siapa mengucapkan, ‘Allahumma’, berarti ia telah berdoa kepada Allah dengan seluruh nama-Nya.”
Sekelompok ulama memberikan alasan pendapat ini, huruf ‘mim’ di sini seperti huruf ‘wawu’ yang menunjukkan arti jamak, karena keduanya berasal dari satu makhraj (sama-sama huruf syafahiyah). Seolah-olah orang yang berdoa dengan mengucapkan Allahumma mengatakan, “Ya Allah, Dzat yang nama-nama nan indah dan sifat-sifat nan luhur terkumpul pada diri-Nya.” Oleh karena itu, huruf ‘mim’ ini di-tasydid sebagai ganti dua tanda kata jamak, yakni huruf ‘Wawu’ dan ‘Nun’ dalam kata muslimuuna dan semisalnya (jamak mudzakar salim).
Namun, mengacu pada pemahaman yang telah kami sebutkan, huruf ‘mim’ sendiri menunjukkan makna jamak sehingga tidak membutuhkan alasan ini.
[Bersambung]
Lanjut ke bagian 2: Tafsir Shalawat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (Bag. 2)
—
Penulis: Annisa Auraliansa
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
Jala’ul Afham (Keutamaan Shalawat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Penerbit Al-Qowam, Sukoharjo.