Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من حج فلم يَرْفُثْ ولم يَفْسُقْ رجع من ذنوبه كيوم ولدته أمه
“Barangsiapa yang berhaji dan tidak berkata kotor dan melakukan kefasikan, maka dia kembali dari dosa-dosanya sebagaimana ketika ia dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam lafaz lain riwayat Muslim,
من أتى هذا البيت فلم يَرْفُثْ ولم يَفْسُقْ رجع كما ولدته أمه
“Barangsiapa yang mendatangi rumah ini (yaitu Ka’bah) dan tidak berkata kotor dan berbuat kefasikan, maka ia kembali sebagaimana ketika ia dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari no. 1449 dan Muslim no. 1350)
Hadis di atas menunjukkan keutamaan dan agungnya pahala haji di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahwa seorang yang berhaji kembali dari ibadah hajinya dalam keadaan bersih dari dosa-dosa, suci dari kotoran-kotoran, sebagaimana keadaan ia dilahirkan oleh ibunya, apabila terealisasi dua karakter:
Pertama: Tidak berkata kotor. Arti الرَّفَث (Ar-Rafats), yaitu menyebut tentang jima’ (hubungan badan) dan pendorong-pendorongnya, baik secara langsung ataupun menemui wanita kemudian melakukan hubungan suami istri (bersetubuh) yang membangkitkan syahwat.
Kedua: Sifat yang kedua, ولم يَفْسُقْ (Tidak melakukan kefasikan), yaitu tidak keluar dari ketaatan kepada Allah dengan melakukan kemaksiatan, di antaranya adalah larangan-larangan ihram. Allah Ta’ala berfirman,
فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ ٱلْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِى ٱلْحَج
“Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS. Al-Baqarah: 197)
Maknanya, barangsiapa yang mengerjakan ibadah haji, maka hendaklah dia mengharamkan apa yang harus dia pegang teguh di antara syiar-syiar Allah dan menjauhi segala perkara yang meniadakan pentauhidan ibadah kepada Allah dan tujuannya mendatangi masjidil haram.
Hendaklah ia tidak berkata kotor, tidak melakukan kefasikan, tidak berselisih, tidak melakukan perselisihan pada perkara yang tidak ada manfaatnya, karena hal itu menyebabkan seorang yang berhaji keluar dari hikmah ibadah haji, yaitu khusyu’ beribadah kepada Allah dan menyibukkan diri dengan berzikir dan berdoa.
Wajib bagi orang-orang yang melaksanakan ibadah haji agar bersemangat untuk merealisasikan sebab-sebab pengampunan yang telah dijanjikan ini, yaitu dengan konsisten mengerjakan ketaatan kepada Allah, menjaga hajinya, dan melindungi ibadah haji tersebut dari hal-hal yang diharamkan berupa perkataan keji, kefasikan, perselisihan, atau debat kusir. Dan hendaknya benar-benar mewaspadai diri dari dosa-dosa dan kemaksiatan, yang kebanyakan orang bermudah-mudahan di zaman kita sekarang ini. Karena hal itu dilarang di segala waktu dan keadaan, tetapi lebih dikhususkan larangannya ketika dalam keadaan berhaji karena keutamaan waktu dan tempat serta karena agungnya batasan-batasan Allah.
Oleh karena itu, orang yang memakai pakaian haji, pertama kali ia memakai pakaian ihram agar ia bisa masuk ke dalam rukun ihram. Kemudian bertambah keharaman tersebut ketika ia masuk ke dalam tanah haram. Kemudian bertambah keharaman tersebut dengan mengerjakan amalan-amalan haji. Hendaknya orang tersebut untuk mengkondisikan diri pada adab dan keadaan terbaik.
Wajib bagi orang yang telah bertekad kuat mengerjakan ibadah haji untuk mengenal hukum-hukum haji dan sifat pelaksanaanya. Hendaknya ia mengetahui sifat berihram, cara tawaf, sifat sa’i, begitu juga manasik lainnya. Karena syarat diterimanya amal ibadah adalah ikhlas mengharapkan wajah Allah dan sesuai dengan apa yang disyariatkan-Nya di dalam Al-Qur’an dan yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Supaya seorang mukmin beribadah di atas ilmu dan merealisasikan bentuk ittiba’ kepada Nabi. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لتأخذوا مناسككم
“Hendaklah kalian mengambil dariku cara manasik kalian.” (HR. Muslim no. 1297)
Sarana merealisasikan tujuan di atas adalah dengan bertanya kepada ahli ilmu tentang bagaimana menunaikan manasik atau membaca kitab-kitab manasik apabila ia bisa membaca dan memahami kitab-kitab tersebut. Atau dengan mengikuti teman penuntut ilmu yang bisa diambil faidahnya ketika mengerjakan ibadah haji.
Sebagian orang jatuh dalam kesalahan ketika mengerjakan syiar yang agung ini seperti sifat ihram, sifat tawaf, sa’i, atau selainnya. Hal ini dikarenakan beberapa sebab:
Pertama: Tidak mengetahui hukum-hukum manasik;
Kedua: Tidak bertanya kepada ahli ilmu yang terpercaya dalam keilmuan dan wara’-nya;
Ketiga: Bertanya kepada orang yang bukan ahli ilmu;
Keempat: Saling taklid antara yang satu dengan yang lain.
Ya Allah, berikanlah kami taufik untuk mendapatkan keridhaan-Mu dan jauhkan kami dari berbuat maksiat. Jadikanlah kami termasuk golongan hamba-hamba-Mu yang shalih dan kelompok-Mu yang beruntung. Maafkanlah kami, berikanlah kami taubat dan ampunilah dosa-dosa kami dan kedua orang tua kami. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad.
***
Penulis: Annisa Auraliansa
Artikel Muslimah.or.id
Catatan kaki:
Diterjemahkan dari kitab Ahadits Asyr Dzilhijjah wa Ayyami Tasyriq Ahkam wa Adab, karya Syekh Abdullah bin Salih al-Fauzan.