Di antara akhlak yang mulia adalah tidak mendahului orang yang lebih tua dalam perkara-perkara mubah atau perkara duniawi. Tidak mendahului maksudnya ialah mengutamakan mereka dan memberi kesempatan kepada mereka lebih dahulu. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
أَمَرَنِي جِبْرِيلُ أَنْ أُقَدِّمَ الأَكَابِرَ
“Jibril memerintahkan aku untuk mengutamakan orang-orang tua.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al Kubra, 173. dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, 4/74)
Juga dari ‘Aisyah radhiyallahu ’anha, ia berkata:
كَانَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَسْتَنُّ وَعِنْدَهُ رَجُلاَنِ فَأُوحِيَ إِلَيْهِ: أَنْ كَبِّرْ: أَعْطِ السِّوَاكَ الأَكْبَرَ
“Pernah ketika Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam sedang bersiwak, ada dua orang lelaki. Lalu diwahyukan kepada beliau untuk mendahulukan yang lebih tua, maksudnya mengambilkan siwak untuk orang yang lebih tua.” (HR. Abu Daud no. 50, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abi Daud)
Akhlak ini juga dipraktikkan oleh salafuna ash shalih. Ketika Ibnu Umar dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum sedang bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, datang sekelompok orang lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنَّ مِنَ الشَّجَرِ شَجَرَةً لا يَسْقُطُ ورَقُها، وإنَّها مَثَلُ المُسْلِمِ، فَحَدِّثُونِي ما هي
“Sesungguhnya ada pohon yang daunnya tidak berguguran, dan ia merupakan permisalan seorang muslim. Pohon apa itu?”
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu mengetahui bahwa yang dimaksud adalah pohon kurma namun ia enggan mengatakannya karena ia ketika itu adalah yang paling muda. Maka ketika tidak ada yang menjawab, Rasulullah pun memberitahu jawabannya,
هي النَّخْلَةُ
“Pohon tersebut adalah pohon kurma.” (HR. Bukhari no. 131, dan Muslim no. 2811)
Dari hadis ini, tidak berbicara lebih dahulu dari orang yang lebih tua dan dihormati adalah sebuah adab yang mulia.
Sebagaimana juga kisah tentang tiga orang yang terperangkap di dalam gua, lalu mereka meminta pertolongan kepada Allah dengan perantara amalan saleh yang pernah mereka lakukan. Salah seorang diantara mereka berkata,
اللَّهُمَّ إنَّه كانَ لي وَالِدَانِ شيخَانِ كَبِيرَانِ، وَامْرَأَتِي، وَلِي صِبْيَةٌ صِغَارٌ أَرْعَى عليهم، فَإِذَا أَرَحْتُ عليهم، حَلَبْتُ، فَبَدَأْتُ بِوَالِدَيَّ، فَسَقَيْتُهُما قَبْلَ بَنِيَّ، وَأنَّهُ نَأَى بِي ذَاتَ يَومٍ الشَّجَرُ، فَلَمْ آتِ حتَّى أَمْسَيْتُ، فَوَجَدْتُهُما قدْ نَامَا، فَحَلَبْتُ كما كُنْتُ أَحْلُبُ، فَجِئْتُ بالحِلَابِ، فَقُمْتُ عِنْدَ رُؤُوسِهِما أَكْرَهُ أَنْ أُوقِظَهُما مِن نَوْمِهِمَا، وَأَكْرَهُ أَنْ أَسْقِيَ الصِّبْيَةَ قَبْلَهُمَا، وَالصِّبْيَةُ يَتَضَاغَوْنَعِنْدَ قَدَمَيَّ، فَلَمْ يَزَلْ ذلكَ دَأْبِي وَدَأْبَهُمْ حتَّى طَلَعَ الفَجْرُ، فإنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ ذلكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ، فَافْرُجْ لَنَا منها فُرْجَةً، نَرَى منها السَّمَاءَ
“Ya Allah, aku memiliki kedua orang tua yang sudah tua renta, seorang istri dan seorang anak kecil perempuan, aku ayomi mereka semua. Jika aku telah selesai menggembala, aku pun mengurus mereka semua, aku memeras susu untuk mereka. Aku selalu mendahulukan kedua orang tuaku dari pada anakku. Pada suatu hari, aku pulang terlalu sore, dan ternyata kedua orang tuaku sudah tertidur. Lalu aku pun memerah susu sebagaimana biasa. Aku membawa susu lalu berdiri di samping kepala mereka. Aku pun menjadi enggan untuk mengganggu tidur mereka, tapi aku juga enggan memberi susu ini kepada anakku sebelum orang tuaku meminumnya. Padahal anakku sudah kelaparan dan bersandar di kakiku. Keadaannya terus demikian hingga akhirnya datanglah fajar. Aku melakukan hal tersebut karena semata mengharap wajah-Mu. Batu yang menghalangi gua pun bergeser hingga kami bisa melihat langit.” (HR. Muslim no. 2743)
Demikianlah sikap seorang anak yang saleh, tidak mendahului dan mengutamakan orang tuanya dalam makan atau minum. Bahkan amalan saleh ini menyebabkan doa orang saleh tersebut diijabah oleh Allah.
Akhlak ini juga berlaku pada semua bentuk muamalah duniawi. Diantara contoh praktik lainnya:
- ketika berjalan bersama orang yang lebih tua, hendaknya tidak mendahuluinya atau di depannya
- ketika masuk angkutan umum, hendaknya mempersilahkan orang yang tua untuk lebih dahulu dan mempersilakan ia memilih tempat duduk
- ketika masuk ke dalam antrian bersamaan dengan orang yang tua, sebaiknya mendahulukannya
- dll.
Namun perlu menjadi catatan, ini tidak berlaku dalam amalan ibadah dan ketaatan. Karena diri kita sendiri sangat sangat butuh akan pahala dan rahmat Allah yang akan berguna bagi kita kelak di hari ketika harta dan anak keturunan tidak bermanfaat, ketika tidak ada pertolongan dan naungan selain dari-Nya. Sehingga tentu tidak ada alasan bagi kita untuk membiarkan diri kita tersusul dan tersisih oleh orang lain dalam meraih pahala dan rahmat Allah. Allah Ta’ala berfirman,
فَاسۡتَبِقُوا الۡخَيۡرٰتِؕ
“Berlomba-lombalah dalam kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 148).
Wallahu waliyyut taufiq.
Referensi: Fiqhut Ta’amul ma’a Walidain, Syaikh Musthafa Al ‘Adawi
Artikel Muslimah.Or.Id
Penulis: Yulian Purnama
???? ???? ????
Thanks