Bismillahi walhamdulillahi wash-shalatu wassalamu ‘ala nabiyyina Muhammad salallahu ‘alaihi wasallam; amma ba’du.
Beberapa waktu terakhir, sedang hangat di telinga kita persoalan beribadah ke tanah suci tanpa mahram bagi wanita untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah. Sebuah fenomena yang sering sekali kita jumpai, dan tidak sedikit dari kita yang masih merasa ragu dengan hal tersebut.
Tentu kita menyadari, bahwasanya ibadah haji dan umrah adalah ibadah yang begitu dinanti dan diupayakan oleh para muslimin dan muslimat. Bagaimana tidak? Ibadah ini memiliki derajat yang tinggi di sisi Allah Ta’ala. Terlebih ibadah haji yang hanya bisa dilakukan pada satu musim dalam satu tahun. Lalu tatkala kesempatan untuk menunaikannya ada di depan mata, tentu hal ini tidak akan dilewatkan begitu saja.
Namun, pada kenyataanya, tidak semua kesempatan bisa kita ambil tanpa menimbang boleh dan tidaknya hal tersebut dalam kacamata syariat. Seperti halnya bagi para wanita yang sudah Allah beri kemampuan berupa harta untuk beribadah ke tanah suci, tetapi belum ada mahram yang membersamainya untuk melakukan safar ke tanah kelahiran Nabi tersebut.
Beberapa fatwa terkait masalah ini
Dalam hal ini, terdapat beberapa fatwa yang menjawab keraguan hal tersebut.
Penjelasan dari Syekh Abdul Muhsin bin Muhammad Al-Qasim
Syekh Abdul Muhsin bin Muhammad Al-Qasim menyebutkan dalam muqarrar-nya ketika menjelaskan kitab Zaad al-Mustaqni’ dalam daurah fikih haji, pada hari pertama (hal. 4-18), mengenai syarat-syarat Haji, di antaranya:
1) Beragama Islam
2) Merdeka (bukan seorang budak)
3) Mukalaf; yakni berakal dan balig
4) Mampu
Selain empat syarat di atas, beliau juga menambahkan satu syarat, khususnya bagi wanita; yakni adanya mahram. Beliau hafidzahullah mengatakan, “Dan disyaratkan wajibnya haji bagi wanita: adanya mahram, yaitu suaminya, atau siapa saja yang diharamkan baginya (mahram bagi wanita tersebut) selamanya, baik dari segi nasab, ataupun segi lain dengan sebab yang diperbolehkan (dalam syariat).”
Beliau juga melanjutkan perkataannya, “Disyaratkan untuk wajibnya haji bagi wanita dengan syarat tambahan selain lima syarat yang telah disebutkan; yakni adanya mahram, (dalam kata lain) seseorang yang menemaninya ketika safar. Hal ini adalah bentuk perhatian Islam kepada wanita agar ada seseorang membersamainya ketika safar yang menjaganya dan melindunginya; hal ini karena wanita memiliki kedudukan yang tinggi lagi mulia dalam pandangan Islam.”
Beliau juga menjelaskan, bahwasanya mahram bagi wanita yang safar, bukan hanya dibatasi untuk haji saja, namun untuk semua kondisi. Artinya, ke manapun wanita bepergian atau safar, maka harus ada mahram yang mendampinginya.
Dalam muqarrar yang lain, Syarh Bulughul Maram (hal. 2-3) pada bab haji, beliau menegaskan, “Dan tambahan bagi wanita (tambahan syarat bagi wanita); al-mahram (adanya mahram). Jika seorang wanita tidak memiliki mahram, maka ibadah haji bukanlah sebuah kewajiban bagi dirinya, meskipun ia mampu dari segi harta dan yang lainnya.”
Penjelasan dari Syekh Bin Baz
Syekh Bin Baz juga memberi nasihat bagi wanita yang menghadapi permasalahan serupa, yaitu keinginan haji atau umrah tanpa mahram, dengan nasihat yang indah:
“Kami menasihati saudari-saudari muslim kami agar mereka bertakwa pada Allah dan memelihara dirinya (berhati-hati) dari safar (bepergian) tanpa mahram. Kami juga menasihati para mahram untuk bertakwa pada Allah dan berbuat baik pada mahram-mahram mereka jika mereka (para wanita) membutuhkannya, baik itu untuk haji, atau urusan lain yang diperbolehkan Allah, serta agar mereka membantunya dan tidak enggan (dalam membantu para wanita). Allah Jalla wa ‘Ala berfirman,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى
“Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan.” (QS. Al-Maidah: 2)”
Beliau juga melanjutkannya, “Maka wasiat bagi para wanita ialah agar tidak bermudah-mudahan dalam perkara ini (safar tanpa mahram). Dan tidak keluar bersama para wanita lain, ataupun selain dengan para wanita, terkecuali bersama mahram, tidak hanya dalam haji, dan tidak pula dalam safar dengan tujuan selain haji.”
Syekh Bin Baz juga pernah berfatwa dengan hal serupa, “Wahai Engkau! Safarnya seorang wanita untuk haji atau selainnya tanpa didampingi mahram adalah sebuah perkara yang tidak diperbolehkan. Hal ini karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, ‘Janganlah seorang wanita safar tanpa ada mahram yang membersamainya’. Dan ini (hadis ini) bermakna umum, baik itu untuk haji ataupun selainnya. Maka tidak boleh bagimu safar untuk melaksanakan haji tanpa mahram. Dan jika memungkinkan bagimu, insyaallah, semoga engkau dimudahkan untuk haji bersama suami, atau dengan salah seorang saudara laki-lakimu jika engkau memilikinya. Dan segala puji bagi Allah, udzur yang engkau miliki adalah udzur yang jelas dan syar’i. Maka jika mudah bagi mahrammu (ikut haji), maka tunaikanlah haji, alhamdulillah.”
Penjelasan dari Lajnah Daimah
Lajnah Daimah juga mengeluarkan fatwa tentang masalah ini, “Jika yang terjadi adalah seperti yang engkau (penanya) tanyakan (yaitu haji tanpa mahram), maka tidak wajib bagimu (bagi penanya) selama engkau masih dalam kondisi serupa (tidak ada mahram dalam haji); karena, ditemani oleh suami atau mahrammu selama safar untuk ibadah haji adalah syarat wajibnya ibadah haji tersebut bagimu. Dan haram bagimu bepergian untuk melaksanakan haji atau selainnya tanpa mahram, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
لا تسافر امرأة إلا مع ذي محرم
“Janganlah seorang wanita safar kecuali ada bersamanya mahram.” (Muttafaqun ‘alaih)
Bersungguh-sungguhlah dalam beramal saleh yang tidak mengharuskan engkau bepergian atau safar, bersabarlah dalam berharap agar Allah memudahkan segala urusanmu, dan Allah (akan) siapkan bagimu jalan untuk melaksanakan ibadah haji bersama suami atau mahram. (Lajnah Daimah, 11: 95)
Baca juga: Hikmah Tidak Disunahkannya Puasa Arafah Bagi Jemaah Haji
Siapakah mahram wanita dalam safar?
Syekh Bin Baz pernah menyebutkan bahwa mahram yang dimaksudkan untuk menemani wanita safar ialah laki-laki yang haram dinikahkan dengan wanita tersebut, baik karena nasab, seperti: ayahnya, adik atau kakak laki-lakinya, serta keponakan laki-lakinya. Selain itu, mahram yang dimaksudkan juga termasuk mahram dengan sebab yang mubah, seperti: suaminya, ayah dari suaminya, anak dari suaminya, anak laki-laki dari sepersusuan, ataupun saudara laki-laki sepersusuan. Adapun sesama wanita bukan termasuk mahram yang dapat menemani dalam perjalanan jauh atau safar.
Tidak diperkenankan pula bagi seorang laki-laki untuk pergi berdua dengan wanita ajnabi (bukan mahram), dan tidak diperkenankan pula bagi mereka untuk safar bersama.
Adapun para ulama berbeda pendapat apakah seorang anak laki-laki harus mencapai usia baligh ataukah tidak agar bisa menjadi mahram bagi ibu atau saudarinya. Jumhur ulama berpendapat jika anak laki-laki tersbut tidak harus mencapai usia baligh, asalkan bisa mendatangkan rasa aman dan mampu mendampingi mahramnya. Namun mazhab Hanbali berpendapat bahwasanya anak laki-laki tersebut haruslah mencapai usia baligh, dan ini pendapat yang lebih hati-hati.
Bagaimana jika seorang wanita wafat dan belum melaksanakan haji atau umrah?
Syekh Abdul Muhsin bin Muhammad Al-Qasim menyebutkan dalam Syarh Zad al-Mustanqi’, pertemuan pertama (hal. 21-22), bahwasanya jika ada seseorang yang wafat dan belum melaksanakan haji atau umrah wajib, maka wajib mengambil dari harta peninggalannya untuk memberi upah bagi orang yang menggantikannya melaksanakan kedua ibadah tersebut, meskipun ia tidak berwasiat demikian. Ini dengan catatan, orang yang telah wafat tersebut mampu membayarnya. Hal ini dilakukan karena ia meninggal dalam keadaan memiliki hutang kepada Allah, yaitu melaksanakan haji.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, ketika beliau ditanya tentang wafatnya seseorang yang belum berhaji,
قال: يا رسول الله، إن أبي مات ولم يحج، أفأحج عنه؟ قال: أرأيت لو كان على أبيك دين، أكنت قاضيه؟ قال: نعم. قال: فدين الله أحق
“Ia (penanya) berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku telah wafat dan belum melaksanakan haji, apakah aku berhaji untuknya?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Apakah menurutmu, jika ayahmu memiliki hutang, akankah kamu menunaikannya (melunasinya)?’ Lalu penanya berkata, ‘Iya.’ Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, ‘Maka, hutang kepada Allah jauh lebih berhak (untuk ditunaikan atau dilunasi).’” (HR. An-Nasai no. 2639)
Kesimpulan
Tidak diperkenankan bagi wanita untuk melaksanakan haji dan umrah, ataupun safar (bepergian) tanpa adanya mahram. Mahram yang dimaksudkan dalam kondisi ini ialah suami, ayah, kakak atau adik laki-laki, anak laki-laki, anak laki-laki dari suami, ayah dari suami, anak laki-laki dari sepersusuan, keponakan laki-laki, saudara laki-laki sepersusuan, serta paman dari ayah atau ibu kandung. Dan untuk bentuk kehati-hatian, sebaiknya mahram yang menemani dalam perjalanan ialah yang sudah baligh, serta mampu mendatangkan rasa aman dan menjaganya. Lalu apabila ada yang meninggal sebelum berhaji wajib, maka harus ada yang menggantikannya jika harta peninggalan sang mayit mampu membiayai penggantinya tersebut.
Allahu ta’ala a’lam.
Baca juga: Keutamaan Haji dan Akhlak Seorang yang Berhaji
***
Penulis: Evi Istiqomah Ummu Syafiq
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
- Al Qasim, Abdul Muhsin Muhammad. Dauratun fii Fiqh al Hajj min Zad al Mustaqni’.
- Al Qasim, Abdul Muhsin Muhammad. Dauratun fii Fiqh al Hajj min Bulughul Maram.
- Baaz. Hukmu Safari al Mar-ah lil Haj biduuni Mahram. https://binbaz.org.sa/fatwas/14825/حكم-سفر-المراة-للحج-بدون-محرم
- Baaz. Hukmul Mar-ah Idza Lam Tastathi’ al Hajj li ‘Adami Wujudi al Mahram. https://binbaz.org.sa/fatwas/7102/حكم-المراة-اذا-لم-تستطع-الحج-لعدم-وجود-المحرم
- Baaz. Safar al Mar-ah Ma’a al Mar-ah biduuni Mahram. https://binbaz.org.sa/fatwas/2276/سفر-المراة-مع-المراة-بدون-محرم
- Shalih, al Munjid. Ladayhaa Maal Yakfi lil Hajj wa Laa Tajidu Mahram. https://m.islamqa.info/ar/answers/83762/لديها-مال-يكفي-للحج-ولا-تجد-محرما?traffic_source=main_islamqa