Keutamaan berdzikir (lanjutan)
Dzikir mengamankan pelakunya dari sifat nifaq (kemunafikan)
Karena seorang yang munafik sangat sedikit mengingat Allah. Sebagaimana firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala,
إِنَّ ٱلْمُنَٰفِقِينَ يُخَٰدِعُونَ ٱللَّهَ وَهُوَ خَٰدِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوٓا۟ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ قامُوا۟ كُسَالَىٰ يُرَآءُونَ ٱلنَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk salat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan salat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa’: 142)
Allah Tabaraka wa Ta’ala juga mengakhiri surah Al-Munafiqun dengan firman-Nya,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَٰلُكُمْ وَلَآ أَوْلَٰدُكُمْ عَن ذِكْرِ ٱللَّهِ ۚ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْخَٰسِرُونَ
“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian, mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Munafiqun: 9)
Dzikir menjadi penyembuh bagi hati dan obat bagi penyakit-penyakit hati
Makhul bin ‘Abdullah rahimahullah berkata, “Dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah penyembuh dan dzikir (mengingat) manusia adalah penyakit.”
Berdzikir menghilangkan kekerasan hati
Suatu ketika, seorang laki-laki datang kepada Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah dan berkata, “Wahai Abu Said, aku mengadukan kepadamu kekerasan hatiku.” Beliau berkata, “Luluhkan ia dengan dzikir.”
Dzikir mendatangkan nikmat-nikmat dan menolak bencana
Syekh ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-Badr hafizhahullah mengatakan dalam kitab beliau, “Tidak ada yang bisa mendatangkan nikmat dan tidak pula menolak bencana seperti halnya dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ ٱللَّهَ يُدَٰفِعُ عَنِ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا
“Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Hajj: 38)
Pembelaan Allah Subhanahu wa Ta’ala atas mereka sesuai dengan kekuatan iman mereka dan kesempurnaannya. Sedangkan materi iman dan kekuatannya adalah dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Barangsiapa imannya lebih sempurna dan dzikirnya lebih banyak, maka bagiannya yang berupa pembelaan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadapnya lebih besar dan luas. Barangsiapa yang berkurang, niscaya berkurang pula pembelaannya. Jika berdzikir, niscaya diingat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bila lupa berdzikir, maka akan dilupakan pula oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Fiqih Doa dan Dzikir, hal. 30)
Syekh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah mengatakan di dalam tafsir beliau berkaitan dengan ayat ketiga puluh delapan dalam surah Al-Hajj di atas, “Ini merupakan informasi, janji, dan berita baik dari Allah bagi orang-orang yang beriman, bahwa Allah melindungi mereka dari segala hal yang dibenci, mengenyahkan segala kejelekan dari mereka, lantaran keimanan mereka (kepada Allah), seperti kejahatan orang-orang kafir, kejelekan dan bisikan keraguan dari setan, keburukan-keburukan internal mereka, kesalahan amalan-amalan mereka, menanggung beban penderitaan mereka saat datangnya musibah tatkala mereka tidak mampu memikulnya, sehingga meringankannya sampai benar-benar ringan. Setiap mukmin memperoleh hak pembelaan dan keutamaan ini sesuai dengan kadar keimanannya, sedikit atau banyak.” (Tafsir As–Sa’di, 4: 674-675)
Berdzikir secara terus-menerus dapat menggantikan amal-amal ketaatan lainnya, bahkan menempati posisinya
Hal itu telah disebutkan secara tegas dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Sesungguhnya orang-orang fakir dari kaum Muhajirin datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, orang-orang yang berkecukupan (kaya) telah memboyong pahala-pahala dan kenikmatan abadi. Mereka salat seperti kami salat, mereka puasa seperti kami puasa, sedangkan mereka memiliki kelebihan harta yang mereka gunakan untuk menunaikan haji, umrah, jihad, dan sedekah.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلا أُعَلِّمُكُمْ شَيْئًا تُدْرِكُونَ بِهِ مَنْ سَبَقَكُمْ، وَتَسْبِقُونَ بِهِ مَنْ بَعْدَكُمْ، وَلَا أَحَدٌ يَكُوْنُ أَفْضَلَ مِنْكُمْ إِلَّا مَنْ صَنَعَ مَا صَنَعْتُمْ؟
“Maukah aku ajarkan kepada kamu sesuatu yang dengannya kamu dapat menyusul orang-orang yang mendahului kamu, dan dengannya kamu bisa melampaui orang-orang yang sesudah kamu, dan tidak ada seorang pun yang lebih utama di antara kamu, kecuali orang yang melakukan seperti yang kamu lakukan?”
Mereka berkata, “Baiklah, wahai Rasulullah.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تُسَبِّحُوْنَ وَتَحْمَدُوْنَ وَتُكَبِّرُوْنَ خَلْفَ كُلِّ صَلَاةٍ
“Bertasbihlah, bertahmidlah, dan bertakbirlah di akhir setiap salat …” hingga akhir hadis. (Muttafaqun ‘alaih, HR. Bukhari no. 843 dan Muslim no. 1006)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan dzikir sebagai pengganti bagi mereka atas apa yang telah luput dari mereka yang berupa haji, umrah, dan jihad. Dikabarkan pula bahwa mereka dapat mengungguli yang lain disebabkan oleh dzikir ini. Ketika orang-orang yang berkecukupan mendengarnya, maka mereka juga mengamalkannya. Maka mereka mendapatkan tambahan – di samping sedekah dan ibadah maliyah (harta benda) – peribadatan dengan dzikir ini. Mereka pun meraih dua keutamaan. Akhirnya, orang-orang miskin tidak mau ketinggalan dan mengabarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa orang-orang yang berkecukupan telah bersekutu dengan mereka dalam hal itu. Sementara orang-orang kaya itu memiliki amalan tersendiri yang tidak mampu mereka lakukan. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيْهِ مَنْ يَشَاءُ
“Itulah karunia Allah yang diberikannya kepada siapa saja yang Dia kehendaki.”
Dalam hadis Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Al-Hakim, dan selain mereka, beliau berkata, Seorang Arab badui datang dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya syariat-syariat Islam telah banyak atasku, maka beritahukan kepadaku sesuatu yang bisa aku jadikan pegangan.’
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ الله
“Hendaklah senantiasa lisanmu basah karena dzikir kepada Allah.” (HR. Tirmidzi no. 3375, Ibnu Majah no. 3793, dan Al-Hakim, 1: 495)
Hanya kepada Allah kita memohon taufik.
[Selesai]
***
Penulis: Annisa Auraliansa
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
Fiqih Doa dan Dzikir, Syekh ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-Badr, Penerbit Griya Ilmu, Cetakan Ketujuh, Rabi’ul Awal 1444/ Oktober 2022.
Shahih Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka Ibnu Katsir Jakarta, Cetakan Kedelapan, Rabi’ul Awal 1435/ Januari 2014.
Tafsir Al-Qur’an, Syekh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Penerbit Darul Haq Jakarta, Cetakan Keenam, Dzulqa’dah 1437/ Agustus 2016.