Keutamaan berdzikir
Allah senantiasa mengingat hamba-Nya yang berdzikir kepada-Nya
Hal ini sebagaimana firman Allah,
فَٱذْكُرُونِىٓ أَذْكُرْكُمْ
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu.” (QS. Al-Baqarah: 152)
Dalam Ash-Shahihain, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَقُوْلُ اللهُ: مَنْ ذَكَرَيْ فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِيْ، وَمَنْ ذَكَرَنِ فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ
“Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, ‘Barangsiapa yang mengingat-Ku dalam hatinya (kesendirian), niscaya aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Dan barangsiapa mengingat-Ku dalam keramaian, niscaya Aku akan mengingatnya dalam keramaian yang lebih utama dari manusia (yaitu kumpulan para malaikat).” (HR. Bukhari no. 7405 dan Muslim no. 2675)
Dzikir menghidupkan hati
Syekh ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-Badr hafizhahullah mengatakan dalam kitab beliau, “Dzikir adalah kehidupan hakiki bagi hati. Ia adalah makanan hati dan ruh. Apabila seorang hamba kehilangan atau lalai dari berdzikir, jadilah ia seperti jasad yang dijauhkan dari makanannya. Tak ada kehidupan bagi hati kecuali dengan dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Dzikir bagi hati seperti air bagi ikan. Bagaimana keadaan ikan apabila berpisah dengan air?” (Al-Wabil Ash-Shayyib, hal. 85)” (Fiqih Doa dan Dzikir, hal. 19)
Selain itu, berdzikir juga akan mendatangkan ketenangan bagi hati. Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ ٱللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ ٱللَّهِ تَطْمَئِنُّ ٱلْقُلُوبُ
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah, hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
Dzikir menyelamatkan pelakunya dari adzab Allah
Dalam Al-Musnad dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ عَمَلاً أَنْجَى لَهُ مِنْ عَذَاب الله مِنْ ذِكْرِ الله تَعَالَى
“Tidaklah seorang manusia mengamalkan suatu amalan yang lebih menyelamatkannya dari adzab Allah daripada dzikir kepada Allah Ta’ala.” (Al-Musnad, 5: 239. Dinyatakan sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 5644)
Dzikir menjadi cahaya bagi pelakunya di dunia, di kuburnya, dan cahaya baginya di tempat kembalinya, bahkan ia berjalan di hadapannya di atas shirath
Allah Ta’ala berfirman,
أَوَمَن كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَٰهُ وَجَعَلْنَا لَهُۥ نُورًا يَمْشِى بِهِۦ فِى ٱلنَّاسِ كَمَن مَّثَلُهُۥ فِى ٱلظُّلُمَٰتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِّنْهَا ۚ
“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya?” (QS. Al-An’am: 122)
Permisalan pertama adalah orang mukmin, dia bercahaya disebabkan oleh keimanannya pada Allah, kecintaan, ma’rifat, dan dzikir kepada-Nya.
Permisalan kedua adalah orang yang lalai berdzikir pada Allah Subhanahu wa Ta’ala serta berpaling dari dzikir dan kecintaan kepada-Nya.
Puncak dari segala persoalan dan inti dari semua keberuntungan adalah adanya cahaya. Sedangkan puncak dari segala kesengsaraan adalah hilangnya cahaya tersebut. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa memperbanyak doa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, memohon agar cahaya itu hadir dalam setiap aspek kehidupannya, baik lahir maupun batin. Beliau juga memohon agar cahaya itu mengelilinginya dari segala penjuru, serta menjadikan dzat dan seluruh tubuhnya bercahaya.
Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dalam Shahih-nya, dari hadis Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, tentang dzikir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam hari, beliau berkata, “Dan dalam doa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
اللَّهُمَّ اجْعَلْ فِي قَلْبِي نُوْراً، وَفِي بَصَرِي نُوْراً، وَفِي سَمْعِي نُوْراً، وَعَنْ يَمِيْنِي نُوْراً ، وَعَنْ يَسَارِي نُوْراً ، وَفَوْقِيْ نُوْراً، وَتَحْتِي نُوْراً، وَأَمَامِي نُوْراً، وَخَلْفِي نُوراً، وَعَظِّمْ لِي نُوراً
“Ya Allah, jadikanlah pada hatiku cahaya, pada pandanganku cahaya, pada pendengaranku cahaya, dari kananku cahaya, dan kiriku cahaya, di atasku cahaya, di bawahku cahaya, di depanku cahaya, di belakangku cahaya, dan perbanyaklah bagiku cahaya.” (HR. Muslim no. 763)
Dzikir adalah cahaya bagi hati, wajah dan anggota badan orang yang berdzikir. Cahaya baginya di dunia, di alam kubur dan di hari kiamat. (Fiqih Doa dan Dzikir, hal 24-25)
Selawat Allah dan para malaikat kepada orang yang berdzikir
Allah Ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا * وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا * هُوَ ٱلَّذِى يُصَلِّى عَلَيْكُمْ وَمَلَٰٓئِكَتُهُۥ لِيُخْرِجَكُم مِّنَ ٱلظُّلُمَٰتِ إِلَى ٱلنُّورِ ۚ وَكَانَ بِٱلْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Ahzab: 41-43)
Selawat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah pujian Allah terhadap hamba-hamba-Nya yang disampaikan di hadapan para malaikat. Pengertian seperti ini dikemukakan oleh Al-Bukhari yang mengutip pendapat Abul ‘Aliyah (Al-Bukhari, Tafsir Al-Ahzab). Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Abu Ja’far Ar-Razi yang mengutip pendapat Ar-Rabi’ bin Anas. Pendapat lain mengatakan bahwa selawat yang berasal dari Allah adalah rahmat. Dan kedua pendapat ini tidak saling bertentangan.
Adapun selawat dari malaikat memiliki arti bahwa malaikat berdoa dan memohonkan ampunan kepada Allah untuk manusia. Sebagaimana firman-Nya,
ٱلَّذِينَ يَحْمِلُونَ ٱلْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُۥ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِۦ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَىْءٍ رَّحْمَةً وَعِلْمًا فَٱغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا۟ وَٱتَّبَعُوا۟ سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ ٱلْجَحِيمِ * رَبَّنَا وَأَدْخِلْهُمْ جَنَّٰتِ عَدْنٍ ٱلَّتِى وَعَدتَّهُمْ وَمَن صَلَحَ مِنْ ءَابَآئِهِمْ وَأَزْوَٰجِهِمْ وَذُرِّيَّٰتِهِمْ ۚ إِنَّكَ أَنتَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيمُ * وَقِهِمُ ٱلسَّيِّـَٔاتِ ۚ وَمَن تَقِ ٱلسَّيِّـَٔاتِ يَوْمَئِذٍ فَقَدْ رَحِمْتَهُۥ ۚ وَذَٰلِكَ هُوَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ
“(Malaikat-malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Rabbnya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan), ‘Ya Rabb kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertobat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala. Ya Rabb kami, masukkanlah mereka ke dalam surga ‘Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka, dan istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Dan peliharalah mereka dari (balasan) kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau pelihara dari (pembalasan) kejahatan pada hari itu, maka sesungguhnya telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. Ghafir: 7-9) (Tafsir Ibnu Katsir, 7: 317-318)
[Bersambung]
***
Penulis: Annisa Auraliansa
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
Fiqih Doa dan Dzikir, Syekh ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-Badr, Penerbit Griya Ilmu, Cetakan Ketujuh, Rabi’ul Awwal 1444/ Oktober 2022.
Shahih Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka Ibnu Katsir Jakarta, Cetakan Kedelapan, Rabi’ul Awwal 1435/ Januari 2014.
Tafsir Al-Qur’an, Syekh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Penerbit Darul Haq Jakarta, Cetakan Keenam, Dzulqa’dah 1437/ Agustus 2016.