Di antara sifat seorang yang berakal adalah senantiasa menyibukkan lisannya dengan berdzikir kepada Allah. Karena tidaklah ia memandang kepada alam yang indah di sekitarnya, memikirkan hikmah dari setiap kejadian di sekelilingnya ataupun yang ia lalui sendiri, kecuali padanya terdapat tanda-tanda akan kebesaran Allah Tabaraka wa Ta’ala.
Dzikir merupakan amalan yang ringan, ibadah yang paling mudah, karena gerakan lisan lebih ringan dan mudah daripada gerakan anggota badan yang lain. Meskipun begitu, dzikir kepada Allah merupakan amalan yang tinggi derajatnya, agung martabatnya, serta memiliki keutamaan dan faidah yang amat banyak.
Ketika seorang wanita disibukkan dengan berbagai pekerjaan rumah, seperti menyapu, mencuci baju, menyetrika, ataupun yang lainnya, maka hendaknya ia melakukan pekerjaan tersebut sembari membasahi lisannya dengan berdzikir kepada Allah. Karena dengan melakukan hal tersebut, niscaya ia mendapatkan kebaikan yang sangat banyak.
Dari sahabat Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
”أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ، وَأَزْكَاهَا عِنْدَ مَلِيكِكُمْ، وَأَرْفَعِهَا فِي دَرَجَاتِكُمْ، وَخَيْرٌ لَكُمْ مِنْ إِنْفَاقِ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ، وَخَيْرٌ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوا أَعْنَاقَكُمْ؟“ قَالُوا: ”بَلَى“ قَالَ: “ذِكْرُ اللَّهِ تَعَالَى“
“Maukah aku tunjukkan kepada kalian amalan yang paling utama, paling suci di sisi Rabb kalian, paling baik untuk meninggikan derajat kalian, lebih baik daripada kalian menginfakkan emas dan perak, serta lebih utama daripada kalian bertemu (berperang) dengan musuh lalu memenggal leher mereka dan mereka memenggal leher kalian?” Mereka berkata, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dzikir kepada Allah.” (Shahih Al-Jami’, no. 2629)
Imam Muslim telah meriwayatkan dalam Shahih-nya, dari hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سَبَقَ المُفَرِّدُونَ
“Al-Mufarridun telah menang.”
Mereka berkata, “Apakah Al-Mufarridun itu, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda,
الذَّاكِرُوْنَ اللَّهَ كَثِيراً وَالذَّاكِرَاتُ
“Laki-laki dan perempuan yang banyak berdzikir kepada Allah.” (HR. Muslim no. 2676)
Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَثَلُ الَّذِي يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِي لَا يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ
“Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Rabbnya dan yang tidak berdzikir adalah seperti orang hidup dan mati.” (HR. Bukhari no. 6407)
Berdzikir merupakan perintah Allah
Allah Ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya.” (QS. Al-Ahzab: 41)
Syekh ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-Badr hafizhahullah mengatakan dalam kitab beliau, “Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan dalam ayat ini agar hamba-Nya banyak berdzikir kepada-Nya. Hal ini dikarenakan besarnya kebutuhan seorang hamba terhadap dzikir, ketergantungannya padanya, serta ketidakberdayaan tanpanya meskipun sekejap mata. Setiap kesempatan yang tidak digunakan oleh seorang hamba untuk berdzikir niscaya menjadi beban atasnya dan bukan keberhasilan baginya. Kerugian yang menimpanya lebih besar daripada keberuntungan yang didapatkannya saat lalai dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kelak dia akan sangat menyesal ketika bertemu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat.” (Fiqih Doa dan Dzikir, hal. 12)
Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ سَاعَةٍ تَمُرُّ بِابْنِ آدَمَ لَا يَذْكُرُ اللهَ تَعَالَى فِيْهَا إِلَّا تَحَسَّرَ عَلَيْهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Tidak ada satu waktu pun yang berlalu atas anak keturunan Adam, sedangkan dia tidak berdzikir kepada Allah Ta’ala di dalamnya, melainkan dia akan menyesalinya pada hari kiamat.” (Shahih Al-Jami’, no. 5720)
Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan sebuah hadis dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
مَا مِنْ قَوْمٍ جَلَسُوا مَجْلِسًا لَمْ يَذْكُرُوا اللهَ فِيْهِ، إِلَّا رَأَوْهُ حَسْرَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Tidak ada satu pun kelompok manusia yang sama-sama duduk di sebuah majelis, namun tidak berdzikir kepada Allah, kecuali mereka akan melihatnya pada hari kiamat nanti dengan penuh penyesalan.” (HR. Ahmad, 2: 224)
‘Ali bin Abi Thalhah menuturkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang firman Allah (ٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا), beliau berkata, “Sungguh, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mewajibkan suatu kewajiban kepada hamba-hamba-Nya kecuali Dia menjadikan kewajiban itu memiliki batasan-batasan tertentu. Kemudian Allah menetapkan kondisi-kondisi yang menjadi udzur untuk meninggalkan kewajiban tersebut, kecuali kewajiban berdzikir. Karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menetapkan batasan tertentu dan tidak ada seorang pun yang diizinkan untuk meninggalkannya, kecuali dalam keadaan darurat.”
Dzikir hendaknya dilakukan dalam setiap keadaan, sebagaimana firman-Nya; (فَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ قِيَٰمًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ) “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan terbaring.” (QS. An-Nisa: 103) Baik di malam hari ataupun di siang hari, di daratan ataupun di lautan, di perjalanan ataupun di rumah, di saat kaya ataupun miskin, di saat sehat ataupun sakit, pada saat tersembunyi ataupun tampak kelihatan oleh manusia, dan pada segala situasi. Firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala; (وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا) “Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” Apabila kalian telah melakukan hal itu, niscaya Allah akan melimpahkan rahmat-Nya kepada kalian dan para malaikat akan mendoakan kalian.” (Tafsir Ath-Thabari, 20: 280)
[Bersambung]
Baca juga: Dzikir-Dzikir Penghapus Dosa
***
Penulis: Annisa Auraliansa
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
Fiqih Doa dan Dzikir, Syekh ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-Badr, Penerbit Griya Ilmu, Cetakan Ketujuh, Rabi’ul Awwal 1444/ Oktober 2022.
Shahih Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka Ibnu Katsir Jakarta, Cetakan Kedelapan, Rabi’ul Awwal 1435/ Januari 2014.
Tafsir Al-Qur’an, Syekh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Penerbit Darul Haq Jakarta, Cetakan Keenam, Dzulqa’dah 1437/ Agustus 2016.