Bukan pekerjaan mudah
Ternyata, menjadi orang tua bukanlah pekerjaan yang mudah. Sebagian mengira bahwa pekerjaan terberat adalah dokter, polisi, tentara, pebisnis, dan yang lainnya. Tiada yang mengira bahwa pekerjaan yang terberat, tak ada waktu untuk pensiun, tak ada waktu libur ataupun cuti, adalah menjadi orang tua.
Orang tua adalah sebuah gelar yang disematkan kepada seseorang yang sudah mempunyai anak, dan gelar ini tidak ada masa pensiunnya, gelar yang masih akan melekat kepada seseorang hingga akhir hayatnya, bahkan dibawa sampai kubur dan akhiratnya.
Sebagaimana seorang memiliki anak, ia akan merawat, mengasuh, dan mendidiknya. Awalnya, bayi diajarkan untuk membalikkan badan dari tengkurap menjadi terlentang, menegakkan kepala, hingga punggungnya cukup kuat untuk duduk. Selanjutnya, ketika kakinya mulai cukup kuat, ia belajar berdiri dan berjalan. Kemudian, anak tersebut diajarkan berbicara, dikenalkan dengan berbagai kosakata, hingga akhirnya mampu berbicara dengan jelas dan berkomunikasi dengan lancar.
Pekerjaan tersebut tidak pernah usai. Mendidiknya hingga ia bisa mandiri, makan sendiri, minum sendiri, membuang hajatnya sendiri di tempat yang seharusnya. Dan ketika dia sudah mulai bergaul dengan teman sebayanya, orang tua mulai mendidiknya dengan memberikan peringatan, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang wajib dan haram.
Manusia itu lemah, butuh hidayah dan pertolongan
Namun, selain sebagai makhluk yang lemah, manusia juga mempunyai karakter masing-masing. Sehingga mungkin kita pun tidak akan mendapati kesempurnaan sifat dan karakter anak-anak kita sebagaimana yang kita inginkan. Maka, sebagai orang tua, kita harus menyadari bahwa kita pun manusia yang punya banyak kelemahan, yang tak dapat mengatur hal-hal yang kita inginkan. Jika kita adalah manusia yang beriman, seharusnya kita mengetahui siapa satu-satunya yang memberikan hidayah, petunjuk, dan taufik kepada anak kita. Siapa yang satu-satunya bisa membantu, menolong kita dalam pengasuhan dan pendidikan kepada anak kita. Ialah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Maka, hendaknya kita menghadapkan diri kepada Allah, berdoa memohon kepada-Nya untuk memperbaiki dan memberkahi anak keturunan kita serta menjaga mereka dari berbagai keburukan.
Orang-orang yang disifati sebagai ‘ibadurrahman berdoa,
ربنا هب لنا من أزواجنا وذريتنا قرة أعين واجعلنا للمتقين اماما
“Wahai Rabb kami, berikanlah kepada kami dari istri-istri kami dan anak-anak kami sebagai penyejuk hati, dan jadikanlah kami sebagai imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan: 74)
Syekh Shalih Al-Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Riyadhus Shalihin (2: 338-340) menjelaskan bahwa kata azwaaj (أزواج) merupakan bentuk jamak dari zauj (زوج), yang dalam bahasa Arab fusha dapat merujuk pada suami maupun istri. Namun, menurut para ulama fikih rahimahumullah, mereka menetapkan bahwa kata zauj (زوج) digunakan secara khusus untuk laki-laki, sedangkan zaujah (زوجة) diperuntukkan bagi perempuan, guna membedakan keduanya dalam hukum fikih waris. Sementara itu, dalam bahasa Arab secara umum, kata zauj tetap berlaku bagi suami maupun istri. Oleh karena itu, doa yang terdapat dalam surah Al-Furqan ayat 74 dapat dipahami sebagai doa yang berlaku untuk suami maupun istri.
Begitu pula, tatkala Allah menjadikan keturunan mereka penyejuk hati bagi manusia, mereka akan menaati apa yang diperintahkan, menjauhi apa yang dilarang, dan menjalani itu semua dengan aturan-Nya, dan inilah yang layak bagi penyejuk hati bagi orang-orang yang bertakwa.
Kemudian, inti dari doa ini adalah pada kalimat, (وجعل للمتقين إماما) “Dan jadikanlah (anak-anak keturunan kami) sebagai imam untuk orang-orang yang bertakwa.” Maksudnya adalah, jadikanlah kami sebagai imam bagi orang-orang yang bertakwa, yang bisa menjadi teladan dalam perbuatan dan perkataan, dalam apa yang dilakukan dan apa yang ditinggalkan. Karena orang yang beriman, terutama orang yang berilmu, akan dijadikan teladan dengan perkataan dan perbuatan mereka.
Dan “Imam” di sini merujuk kepada pemimpin dalam agama, yang menjadi bagian dari ibadah khusus kepada manusia. Imam juga berperan sebagai pemimpin dalam dakwah, pengajaran, serta dalam memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang mungkar serta hal-hal lain yang berkaitan dengan syariat.
Doa yang sangat dalam, yang selayaknya orang beriman sungguh meresapi doa ini ketika berdoa sehingga Allah mengabulkan doa, dan menolong kita dalam pengasuhan dan pendidikan anak-anak kita.
Anak sudah besar, kita tetap menjadi orang tuanya
Meskipun anak kita sudah besar, namun gelar orang tua tidak akan pernah lepas dari diri kita sampai kapanpun. Bahkan Nabi Nuh ‘alaihis salam tetap mendakwahkan kepada anaknya selama ratusan tahun agar dia masuk Islam. Allah Ta’ala menceritakan kisah ini dalam firman-Nya,
وَنَادَىٰ نُوحٌ ٱبۡنَهُۥ وَكَانَ فِی مَعۡزِلࣲ یَـٰبُنَیَّ ٱرۡكَب مَّعَنَا وَلَا تَكُن مَّعَ ٱلۡكَـٰفِرِینَ
“Dan Nuh memanggil anaknya ketika beliau berada di tempat terpencil, ‘Wahai Anakku! Naiklah (kapal) bersama kami, dan janganlah Engkau bersama orang-orang kafir!’” (QS. Hud: 42)
Dan juga di dalam hadis yang panjang dalam Shahih Bukhari (no. 3364), Nabi Ibrahim ‘alaihi salam berkunjung ke tempat Nabi Ismail tatkala ia sudah dewasa di Makkah, yang akhirnya Nabi Ibrahim menanyakan kabar Nabi Isma’il melalui istrinya. Sampai akhirnya Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ‘alaihimas salam membangun pondasi kakbah bersama.
Pertolongan akan datang bersama dengan kesabaran
Mendidik anak membutuhkan hati yang kuat dan nafas yang panjang. Maka bersabarlah duhai ayah dan bunda! Mendidik dan mengasuh anak bukanlah perkara setahun atau dua tahun. Tapi menjadi orang tua adalah selama hidup kita. Bersabarlah atas kesulitan dan pedih terseok-seok atas semua prahara pendidikan. Karena kalau kita tidak mau bersabar, maka hal yang lebih rumit akan terjadi.
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan di dalam Majmu’ Al-Fatawa (11: 36),
يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ قَوِيًّا مِنْ غَيْرِ عُنْفٍ لَيِّنًا مِنْ غَيْرِ ضَعْفٍ فَبِصَبْرِهِ يَقْوَى وَبِلِينِهِ يَرْحَمُ وَبِالصَّبْرِ يَنْصُرُ الْعَبْدَ فَإِنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ وَبِالرَّحْمَةِ يَرْحَمُهُ اللَّهُ تَعَالَى
“Selayaknya seseorang kuat namun bukan keras. Lembut tapi bukan lembek. Kesabaran itulah yang menguatkan, dan kelemahlembutan akan memberikan kasih sayang. Dengan kesabaran, Allah akan menolong hamba-Nya. Karena pertolongan bersama dengan kesabaran, dan dengan kasih sayang, Allah akan memberikan kasih sayang-Nya.”
Abu Dawud rahimahullah mengatakan,
إذا جاءك أمر لا كفاء لك به فأصبر وانتظر الفرج من الله
“Ketika ada suatu masalah yang tak sanggup kau selesaikan bagimu, maka bersabarlah, dan tunggulah pertolongan dari Allah.” (Kitabuz Zuhd, karya Imam Ahmad, hal. 173)
Kondisi anakmu saat ini, tidak lepas dari kondisimu
Pepatah mengatakan, “Buah jatuh tak jauh dari pohonnya.” Maka hal inilah yang semestinya orang tua perhatikan. Tak ada contoh yang paling banyak dilihat dari seorang anak, melainkan orang tuanya. Maka sebelum mendidik, sebelum mengharapkan ekspektasi yang tinggi terhadap anak kita, hendaklah kita bercermin, mengintrospeksi diri kita, apakah kita sudah layak dijadikan contoh?
Kita menginginkan anak salat tepat waktu, kita menginginkan anak rajin membaca Al-Quran, kita menginginkan anak semangat mengkaji ilmu, namun perhatikanlah, apakah hal tersebut sudah ada di dalam diri kita juga? Menyadari bahwa pendidikan bukanlah hanya teori, bukan hanya memperlakukan anak harus seperti ini dan seperti itu. Namun, inti dari semua teori adalah introspeksi diri kita sebagai orang tua, apakah kita sudah layak? Sebelum itu, kita memohon taufik dari Allah agar Dia memudahkan kita menjadi orang tua yang baik, yang sabar dalam mendidik dan mengasuh anak-anak kita. Allahu a’lam
***
Penulis: Triani Pradinaputri
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih. 1424. Syarh Riyadhus Shalihin. Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Ibnu Taimiyyah, Taqiyyuddin Ahmad. 1421. Tuhfatul Iraqiyyah Fii A’malil Qalbiyyah. Maktabah Ar-Rusdy. Saudi Arabia.
Ibnu Taimiyyah, Ahmad. 1425. Majmu’ Al-Fatawa. Disusun oleh Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim. Majmu’ Malik Fahd. Saudi Arabia. Al-Maktabah Asy-Syamilah.