Salah satu metode yang banyak digunakan orang tua dalam mendidik anaknya adalah dengan memberi hadiah (reward) ketika anak melakukan kebaikan dan memberikan hukuman (punishment) ketika anak melakukan kesalahan. Hal ini biasa dikenal dengan reward and punishment atau operant conditioning. Sebenarnya, bagaimana efeknya terhadap anak? Lalu adakah aturan agar hal ini bisa diterapkan dengan baik? Insyaallah, kita akan membahasnya dalam tulisan berikut.
Operant conditioning (reward and punishment)
Dalam ilmu psikologi dan parenting, salah satu cara untuk membentuk perilaku anak lebih disiplin adalah dengan penguatan (reinforcement). Penguatan positif bisa dengan pujian atau hadiah (reward), sedangkan penguatan negatif dengan hukuman atau konsekuensi. Istilah operant conditioning dicetuskan oleh B. F. Skinner pada tahun 1937. Prinsip inti dari operant conditioning adalah konsekuensi dari suatu tindakan menentukan kemungkinan perilaku tersebut terulang di masa mendatang. Ketika konsekuensi dari suatu perilaku menyenangkan, perilaku tersebut lebih mungkin terjadi lagi di masa mendatang [2]. Dengan kata lain, perilaku yang diperkuat atau diberi penghargaan lebih mungkin diulang, sementara perilaku yang dihukum atau tidak memiliki konsekuensi menyenangkan cenderung tidak diulangi lagi.
Efek pada anak
Secara keseluruhan, operant conditioning sangat relevan dalam psikologi anak, yang menyediakan alat praktis untuk membentuk dan memodifikasi perilaku dan kebiasaan anak-anak. Bagi orang tua atau pendidik, penghargaan (reward) dan hukuman (punishment) yang tepat dapat membantu anak-anak mengembangkan pola perilaku positif dan mengurangi terjadinya perilaku yang tidak diinginkan. [1]
Dengan memberikan penguatan positif dan rasa pencapaian, hadiah dapat mendorong anak-anak untuk berusaha meraih kesuksesan lebih lanjut. Di sisi lain, hukuman dapat mencegah perilaku buruk. Ketika anak-anak mengalami konsekuensi negatif atau hukuman karena terlibat dalam perilaku tertentu, hukuman dapat membentuk perilaku dengan menghalangi anak-anak dari perilaku buruk. Penting untuk mempertimbangkan perbedaan individu saat menerapkan hadiah dan hukuman. Setiap individu merespons secara berbeda terhadap berbagai jenis dan ukuran hadiah dan hukuman. Pengetahuan tentang preferensi dan kebutuhan individu membantu menyesuaikan hadiah dan hukuman untuk memaksimalkan efeknya.
Bolehkah “reward and punishment” dalam Islam?
Di dalam ajaran Islam, dikenal balasan dari Allah Ta’ala atas apa yang kita kerjakan. Balasan ini ada yang Allah Ta’ala berikan di dunia, ada pula yang Allah Ta’ala berikan di akhirat. Hal ini sebagaimana firman-Nya,
لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا۟ فِى هَٰذِهِ ٱلدُّنْيَا حَسَنَةٌ
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, mereka memperoleh balasan kebaikan di dunia.” (QS. Az-Zumar: 10)
Dalam QS. Al-Kahfi, Allah Ta’ala menyebutkan balasan bagi orang yang beriman dan beramal shalih adalah surga.
إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّاتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلًا (107) خَالِدِينَ فِيهَا لَا يَبْغُونَ عَنْهَا حِوَلًا (108)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka adalah surga Firdaus yang menjadi tempat tinggal, mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah dari padanya.” (QS. Al-Kahfi: 107-108)
Allah Ta’ala menggunakan surga sebagai hadiah, sedangkan neraka sebagai hukuman.
Apakah anak-anak sebelum baligh mendapatkan pahala dari apa yang dia perbuat?
Jawaban Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafidzahullaahu Ta’ala, “Ya, anak-anak akan mendapatkan pahala atas perbuatan baik yang mereka lakukan, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya (no. 1335) dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Seorang wanita mengangkat anaknya lalu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah hajinya dihitung?’ Beliau menjawab, ‘Ya, dan kamu akan mendapatkan pahala.’”
Penulis kitab Mawahibul Jalil fii Syarh Mukhtashar Asy-Syaikh Khalil berkata tentang masalah anak kecil yang diperintahkan ketika ia telah berumur tujuh tahun,
قَالَ الْقَرَافِيُّ فِي كِتَابِ الْيَوَاقِيتِ فِي الْمَوَاقِيتِ : الصَّبِيَّ .. يَحْصُلُ لَهُ أَجْرُ الْمَنْدُوبَاتِ إذَا فَعَلَهَا لِحَدِيثِ الْخَثْعَمِيَّةِ
“Al-Qarafi mengatakan dalam kitab Al-Yawaqit fil Mawaqiit bahwa anak kecil ketika itu juga mendapatkan pahala karena telah melakukan amalan sunnah jika ia melakukannya. Alasannya adalah hadis Al–Khats’amiyyah.”
Ibnu Rusyd rahimahullah mengatakan,
إنَّ الصَّغِيرَ لا تُكْتَبُ عَلَيْهِ السَّيِّئَاتُ وَتُكْتَبُ لَهُ الْحَسَنَاتُ عَلَى الصَّحِيحِ مِنْ الأَقْوَالِ
“Sesungguhnya anak kecil tidak dicatat baginya dosa. Namun dicatat baginya (pahala) kebaikan menurut pendapat yang shahih dari pendapat yang ada.”
Tidak ada khilaf (perselisihan antara para ulama) bahwa anak kecil diberi pahala dari ketaatann yang ia lakukan. Namun jika ia melakukan kesalahan (dosa), maka ia dimaafkan karena apa yang sengaja ia lakukan seperti dihukumi orang yang khatha’ (keliru). (Dikutip dari fatwa no. 3277). [3]
Baca juga: AI dan Risiko Bahayanya untuk Anak
Aturan dalam memberikan reward and punishment
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, dalam ajaran Islam, kita akan diberikan balasan atas apa yang kita lakukan. Namun, balasan tersebut bukan selalu sesuatu yang konkret atau berwujud. Misalnya ketika seseorang berdzikir kepada Allah Ta’ala, dia akan mendapatkan ketenangan.
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’du: 28)
Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika menerapkan reward and punishment agar tidak menyelisihi ajaran Islam.
Pertama, ketika memberikan reward¸ kita harus menjelaskan alasannya.
Orang tua bisa memberikan penegasan poin mana yang diapresiasi. Misalnya, ”Masyaallah, adek hafalan Al-Qurannya sudah selesai satu juz dan lancar. Baarakallaahu fiik.”
Kedua, tidak boleh terlalu sering intensitasnya.
Kaidah menjelaskan,
ﻛﺜﺮﺓ ﺍﻟﻤﺴﺎﺱ ﺗﻤﻴﺖ ﺍﻻﺣﺴﺎﺱ
“Seringnya intensitas bisa mematikan sensitifitas.”
Kalau anak terlalu sering mendapatkan reward untuk hal-hal yang sepele, dikhawatirkan anak akan merasakan istimewanya reward tersebut.
Ketiga, mengajarkan niat melakukan kebaikan karena Allah Ta’ala.
Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Khattab radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya seseorang hanya mendapatkan apa yang dia niatkan. Maka barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketika orang tua memberikan hadiah, sampaikan kepada anak bahwa hadiah yang diberikan sekedar penyemangat saja. Apa yang kita lakukan sebaiknya dilakukan karena Allah Ta’ala semata, jangan karena mengharap hadiah. Balasan dari Allah untuk orang-orang yang beriman dan beramal shalih tentu lebih istimewa daripada yang diberikan orang tua.
Keempat, mendisiplinkan anak secara bertahap.
Ketika anak melakukan kesalahan, orang tua sebaiknya tidak langsung memukul, bahkan hukuman fisik merupakan cara terakhir setelah cara-cara lain sudah dilakukan.
Al-Izz bin Abdissalam rahimahullah menjelaskan,
وَمَهْمَا حَصَل التَّأْدِيبُ بِالأَْخَفِّ مِنَ الأَْفْعَال وَالأَْقْوَال، لَمْ يُعْدَل إِلَى الأَْغْلَظِ، إِذْ هُوَ مَفْسَدَةٌ لاَ فَائِدَةَ فِيهِ، لِحُصُول الْغَرَضِ بِمَا دُوْنَهُ
“Ketika pengajaran kepada anak sudah tercapai dengan cara-cara yang ringan, baik berupa perkataan maupun perbuatan, maka tidak boleh beralih kepada cara yang keras. Karena itu akan memberikan kerusakan yang tidak ada faedahnya. Karena dengan cara-cara yang ringan pun sudah tercapai tujuannya tanpa cara yang keras.” (Qawa’idul Ahkam, 2: 75)
Kelima, menumbuhkan rasa cinta (mahabbah) kepada Allah.
Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafidzahullaahu Ta’ala ditanya bagaimana cara mendisiplinkan anak. Beliau menjawab bahwa yang pertama, mendidik mereka agar mencintai Allah dan Rasul-Nya serta mencintai ajaran Islam. Kedua, menyampaikan kepada mereka bahwa Allah memiliki surga dan neraka. Ketiga, menjauhkan mereka dari tempat-tempat yang maksiat dan sesat. Keempat, pendidik anak hendaknya bersikap penyayang, mudah bergaul, mudah didekati, tidak suka berkata kasar dan tidak jorok, cara bicaranya baik, jauh dari hinaan, celaan, dan pukulan. [4]
Keenam, membangun kelekatan dengan anak.
Orang tua sebaiknya membangun kelekatan (parental bonding) dengan anak, agar anak dapat mendengarkan dan menerima apa yang diajarkan orang tua. Hal ini sesuai dengan hasil studi bahwa parental bonding meningkatkan perkembangan anak, baik kognitif, perilaku, maupun emosi. [5]
Semoga Allah Ta’ala menjaga anak-anak kita agar memiliki akhlak yang mulia dan tidak mudah terbawa arus perkembangan zaman.
Baca juga: Bohong kepada Anak, Bolehkah
***
Penulis: Victa Ryza Catartika
Artikel Muslimah.or.id
Referensi
[1] Hu,J. (2024).Operant Conditioning in Child Psychology: Understanding the Influence of Rewards and Punishments on Children’s Behavior.Lecture Notes in Education Psychology and Public Media,44,259-265.
[2] Skinner, B. F. (1953). Science and human behavior. Simon and Schuster
[3] Muhammad Shalih Al Munajjid. (2000, December 29). Will children be rewarded for their good deeds? – Islam Question & Answer. Islam Question & Answer. https://islamqa.info/en/answers/3277/will-children-be-rewarded-for-their-good-deeds
[4] Muhammad Shalih Al Munajjid. (2002, October 4). How to discipline children in Islam – Islam Question & Answer. Islam Question & Answer. https://islamqa.info/en/answers/10016/how-to-discipline-children-in-islam
[5] Suzuki D, Ohashi Y, Shinohara E, Usui Y, Yamada F, Yamaji N, Sasayama K, Suzuki H, Nieva RF Jr, da Silva Lopes K, Miyazawa J, Hase M, Kabashima M, Ota E. The Current Concept of Paternal Bonding: A Systematic Scoping Review. Healthcare (Basel). 2022 Nov 11;10(11):2265. doi: 10.3390/healthcare10112265. PMID: 36421589; PMCID: PMC9690989.