Bismillah.
Di antara indahnya ajaran Islam adalah bahwa antara satu bagian dengan bagian yang lain memiliki kaitan dan hubungan yang sangat erat. Oleh sebab itu, para ulama terdahulu memiliki pandangan yang luas dan dalam mengenai hakikat ilmu dan amal yang akan menjadi sebab utama keselamatan hamba di akhirat.
Berikut ini akan kami sajikan kutipan-kutipan ucapan ulama salaf yang menjelaskan kepada kita mengenai kedudukan ilmu dan hakikatnya serta urgensi amal dalam keimanan dan kaitan yang sangat erat antara ilmu, iman, dan ketakwaan. Termasuk di dalamnya adalah pentingnya seorang muslim berpegang teguh dengan Sunnah (ajaran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi bid’ah-bid’ah.
Pada akhir pembahasan ini juga akan kami sampaikan ringkasan keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah seputar ragam penjelasan hakikat atau definisi iman dalam perspektif para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari masa ke masa.
Perkataan ulama salaf mengenai kedudukan dan hakikat ilmu
Sufyan rahimahullah pernah ditanya, “Menuntut ilmu yang lebih kau sukai ataukah beramal?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya ilmu itu dimaksudkan untuk beramal, maka jangan tinggalkan menuntut ilmu dengan dalih untuk beramal, dan jangan tinggalkan amal dengan dalih untuk menuntut ilmu.” (Lihat Tsamrat al-‘Ilmi al-‘Amal, hal. 44-45)
Abu Abdirrahman as-Sulami rahimahullah berkata, “Para sahabat yang mengajarkan bacaan al-Qur’an kepada kami seperti ‘Utsman bin ‘Affan, Abdullah bin Mas’ud, dan lain-lain menuturkan kepada kami, bahwasanya dahulu apabila mereka mempelajari sepuluh ayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mereka tidaklah melewatinya kecuali setelah mereka pelajari pula kandungan ilmu dan amal yang terdapat di dalamnya. Mereka berkata, “Maka kami mempalajari Al-Qur’an, ilmu, dan amal sekaligus secara bersamaan.” (Lihat Ushul fi at-Tafsir oleh Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 26)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Dahulu kami -para sahabat- apabila belajar kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sepuluh ayat, maka kami tidaklah mempelajari sepuluh ayat lain yang diturunkan berikutnya kecuali setelah kami pelajari apa yang terkandung di dalamnya.” Hadits ini disahihkan oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi menyepakatinya. (Lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 1: 68)
Abu Abdillah ar-Rudzabari rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang berangkat menimba ilmu, sementara yang dia inginkan semata-mata ilmu, ilmunya tidak akan bermanfaat baginya. Dan barangsiapa yang berangkat menimba ilmu untuk mengamalkan ilmu, niscaya ilmu yang sedikit pun akan bermanfaat baginya.” (Lihat al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa’iq, hal. 71)
Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk diamalkan, niscaya Allah berikan taufik kepadanya. Dan barangsiapa menuntut ilmu bukan untuk diamalkan, maka ilmunya akan semakin membuatnya congkak.” (Lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 569)
Masruq rahimahullah berkata, “Sekadar dengan kualitas ilmu yang dimiliki seseorang, maka sekadar itulah rasa takutnya kepada Allah. Dan sekadar dengan tingkat kebodohannya, maka sekadar itulah hilang rasa takutnya kepada Allah.” (Lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal, 1: 136)
Ibnu Mubarak rahimahullah berkata, “Semestinya orang yang paling banyak ilmunya di antara kalian adalah orang yang paling besar rasa takutnya.” (Lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliya’, hal. 312)
Rabi’ bin Anas rahimahullah mengatakan, “Tanda [lurusnya] agama adalah mengikhlaskan amal untuk Allah, sedangkan tanda keilmuan [yang hakiki] adalah rasa takut kepada Allah.” (Lihat al-Ikhlas wa an-Niyah, karya Imam Ibnu Abid Dun-ya, hal. 23)
Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu mengatakan, “Pelajarilah ilmu. Sesungguhnya mempelajari ilmu karena Allah adalah bentuk rasa takut -kepada-Nya- dan menuntutnya adalah ibadah. Mengajarkannya adalah tasbih (penyucian terhadap Allah). Membahas tentangnya adalah bagian dari jihad. Mengajarkan ilmu kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah sedekah. Mencurahkannya kepada orang yang berhak menerimanya adalah qurbah (pendekatan diri) -kepada Allah-; itulah yang akan menjadi penenang di saat sendirian dan sahabat pada waktu kesepian.” (Lihat Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, hal. 15)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Kebutuhan kepada ilmu di atas kebutuhan kepada makanan, bahkan di atas kebutuhan kepada nafas. Keadaan paling buruk yang dialami orang yang tidak bisa bernafas adalah kehilangan kehidupan jasadnya. Adapun lenyapnya ilmu menyebabkan hilangnya kehidupan hati dan ruh. Oleh sebab itu, setiap hamba tidak bisa terlepas darinya sekejap mata sekalipun. Apabila seseorang kehilangan ilmu akan mengakibatkan dirinya jauh lebih jelek daripada keledai. Bahkan, jauh lebih buruk daripada binatang melata di sisi Allah, sehingga tidak ada makhluk apapun yang lebih rendah daripada dirinya ketika itu.” (Lihat al-‘Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 96)
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya ilmu lebih diutamakan daripada perkara yang lain karena dengannya -manusia- bisa bertakwa.” (Lihat Manaqib al-Imam al-A’zham Abi ‘Abdillah Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri, hal. 30)
Ibnu ‘Ajlan rahimahullah berkata, “Tidaklah menjadi baik suatu amal tanpa tiga hal, yaitu: ketakwaan kepada Allah, niat baik, dan cara yang benar.” (Lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 19)
Wahb bin Munabbih rahimahullah berkata, “Iman itu telanjang, sedangkan pakaiannya adalah ketakwaan. Hartanya adalah fikih (ilmu agama). Adapun perhiasannya adalah rasa malu.” (Lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1176)
Thalq bin Habib rahimahullah mengatakan, “Takwa adalah kamu mengerjakan ketaatan kepada Allah dengan bimbingan cahaya dari Allah seraya mengharap pahala dari Allah, dan kamu meninggalkan kemaksiatan kepada Allah dengan bimbingan cahaya dari Allah seraya merasa takut terhadap siksaan dari Allah.” (Lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 6: 222; Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 211)
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata, “Ketakwaan kepada Allah bukan sekedar dengan berpuasa di siang hari, salat malam, dan menggabungkan antara keduanya. Akan tetapi, hakikat ketakwaan kepada Allah adalah meninggalkan segala yang diharamkan Allah dan melaksanakan segala yang diwajibkan Allah. Barangsiapa yang setelah menunaikan hal itu dikaruniai amal kebaikan, maka itu adalah kebaikan di atas kebaikan.” (Lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 211)
Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu ditanya tentang orang-orang yang bertakwa. Beliau pun menjawab, “Mereka adalah suatu kaum yang menjaga diri dari kemusyrikan dan peribadahan kepada berhala, serta mengikhlaskan ibadah mereka untuk Allah semata.” (Lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 211)
Masruq rahimahullah berkata, “Cukuplah menjadi tanda keilmuan seseorang tatkala dia merasa takut kepada Allah. Dan cukuplah menjadi tanda kebodohan seseorang apabila dia merasa ujub dengan amalnya.” (Lihat Min A’lam as-Salaf, 1: 23)
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Bukanlah seorang alim [ahli ilmu] orang yang mengetahui kebaikan dan keburukan. Akan tetapi, sesungguhnya orang yang alim adalah yang mengetahui kebaikan lalu mengikutinya dan mengetahui keburukan lalu berusaha menjauhinya.” (Lihat Min A’lam as-Salaf, 2: 81)
Imam Ibnu Jama’ah rahimahullah berpesan, ”Ketahuilah, bahwasanya segala sanjungan yang diberikan kepada ilmu dan ulama ini hanya berlaku bagi orang-orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya, orang-orang yang baik dan bertakwa. Mereka yang meniatkan dengan ilmunya untuk meraih wajah Allah yang mulia. Mereka yang bermaksud dengan ilmunya untuk mencari kedekatan diri di sisi-Nya di surga-surga yang penuh dengan kenikmatan. Bukan orang yang mencari ilmu dengan niat buruk, atau dibarengi perilaku yang kotor. Atau mencari ilmu dalam rangka mengejar kepentingan dan ambisi-ambisi dunia. Berupa kedudukan, harta, atau berbanyak-banyakan pengikut dan santri/penimba ilmu…” (Lihat Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, hal. 45)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Orang yang diberikan kenikmatan kepada mereka itu adalah orang yang mengambil ilmu dan amal. Adapun orang yang dimurkai adalah orang-orang yang mengambil ilmu dan meninggalkan amal. Dan orang-orang yang sesat adalah orang-orang yang mengambil amal, namun meninggalkan ilmu.” (Lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 25)
Mutharrif bin Abdillah asy-Syikhkhir rahimahullah berkata, “Baiknya hati dengan baiknya amalan. Adapun baiknya amalan adalah dengan baiknya niat.” (Lihat Iqazh al-Himam al-Muntaqa min Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 35)
Abdullah bin Mubarak rahimahullah berkata, “Betapa banyak amal yang kecil menjadi besar karena niatnya, dan betapa banyak amal yang besar menjadi kecil karena niatnya.” (Lihat Iqazh al-Himam al-Muntaqa min Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 35)
Adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya ilmu bukanlah dengan banyaknya riwayat. Akan tetapi, ia adalah cahaya yang Allah berikan ke dalam hati. Syaratnya adalah ittiba’ (setia) mengikuti tuntunan dan meninggalkan hawa nafsu (penyimpangan) dan membuat-buat bid’ah.” (Lihat Ma’alim fi Thariq Thalab al-‘Ilmi, hal. 40)
Bilal bin Sa’ad rahimahullah berkata, “Tiga hal yang menyebabkan amalan tidak akan diterima apabila disertai olehnya, yaitu; syirik, kekafiran, dan ra’yu.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud ra’yu?” Beliau menjawab, “Yaitu apabila dia meninggalkan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya dan beramal dengan ra’yu (pendapatnya sendiri).” (Lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa‘, hal. 359)
Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Sebagian orang enggan untuk mudaawamah [konsisten dalam beramal]. Demi Allah, bukanlah seorang mukmin yang hanya beramal selama sebulan atau dua bulan, setahun atau dua tahun. Tidak, demi Allah! Allah tidak menjadikan batas akhir beramal bagi seorang mukmin kecuali kematian.” (Lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1160)
Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Seorang mukmin ber-husnuzhan kepada Rabbnya, oleh sebab itu dia membaguskan amalnya. Adapun orang munafik, mereka ber-su’uzhan kepada Rabbnya, oleh sebab itu dia memperburuk amalnya.” (Lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1157)
al-Humaidi rahimahullah berkata, “Iman adalah ucapan dan amalan, ia bisa bertambah dan berkurang. Tidaklah bermanfaat ucapan tanpa amalan. Tidak juga bermanfaat amalan dan ucapan kecuali dengan dilandasi niat [baca; ikhlas]. Dan tidaklah bermanfaat ucapan, amal yang dibarengi niat tersebut kecuali apabila selaras dengan Sunnah.” (Lihat ‘Aqa’id A’immah as-Salaf, hal. 151-152)
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Adalah suatu hal yang telah disepakati di antara para sahabat, tabi’in, ulama sesudah mereka, dan para ulama yang kami jumpai bahwasanya iman terdiri dari ucapan, amalan, dan niat. Salah satu saja tidak sah, apabila tidak dibarengi oleh bagian yang lainnya.” (Lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1145)
Al-Baghawi rahimahullah mengatakan, “Para sahabat dan tabi’in serta orang-orang sesudah mereka dari kalangan para ulama Sunnah telah sepakat bahwasanya amal adalah bagian dari iman. Mereka mengatakan bahwa iman adalah ucapan, amalan, dan aqidah (keyakinan).” (Lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1145)
Baca juga: Ketika Jenuh Menuntut Ilmu
Memahami ucapan salaf tentang hakikat iman
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan maksud beberapa ungkapan yang diriwayatkan dari para ulama salaf tentang makna iman.
Pertama: Sebagian salaf mengatakan bahwa iman adalah ucapan dan amalan. Maka yang mereka maksud dengan “ucapan” itu adalah ucapan hati dan ucapan lisan. Sedangkan yang mereka maksud dengan “amalan” adalah amal hati dan amal anggota badan.
Kedua: Sebagian salaf mengatakan bahwa iman adalah ucapan, amalan, dan keyakinan. Maka yang mereka maksud dengan “ucapan” adalah ucapan lisan -sebagaimana yang banyak dipahami orang- oleh sebab itu keyakinan disebutkan secara khusus. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa yang mereka maksud dengan “amalan” adalah amalan hati dan amal anggota badan.
Ketiga: Sebagian salaf mengatakan bahwa iman adalah ucapan, amalan, dan niat. Maka yang mereka maksudkan dengan “ucapan” adalah ucapan hati (keyakinan) dan ucapan lisan. Adapun maksud dari “amalan” terkadang hanya dipahami oleh banyak orang sebagai amalan lahiriyah. Oleh sebab itu, mereka menambahkan niat pada pengertian iman.
Keempat: Sebagian salaf menambahkan pada pengertian iman selain apa yang sudah disebutkan di atas dengan kata-kata ittiba’ kepada sunnah’. Karena perkara-perkara tersebut -ucapan, amalan, keyakinan, dan niat- tidaklah menjadi suatu hal yang dicintai Allah kecuali dengan mengikuti (ittiba’) kepada Sunnah.
Perlu diperhatikan pula, bahwa yang mereka maksudkan dengan ucapan dan amalan bukanlah semua ucapan dan amalan manusia, akan tetapi yang mereka maksud adalah ucapan dan amalan yang disyariatkan. Lantas mengapa para salaf memakai ungkapan-ungkapan semacam itu? Jawabannya adalah dalam rangka membantah sekte Murji’ah yang hanya menjadikan iman sebagai ucapan. Oleh sebab itu, Ahlus Sunnah menegaskan bahwa iman itu ucapan dan amalan.
Adapun para ulama yang membagi hakikat iman menjadi empat, maksud mereka adalah seperti jawaban Sahl bin Abdullah at-Tustari rahimahullah ketika ditanya tentang iman. Beliau mengatakan bahwa iman itu adalah, “Ucapan, amalan, niat (ikhlas), dan sunnah. Karena iman apabila hanya berupa ucapan tanpa amalan adalah kekafiran. Apabila ia hanya berupa ucapan dan amalan tanpa niat (ikhlas), maka itu adalah kemunafikan. Apabila ia berupa ucapan, amalan, dan niat (ikhlas) namun tidak disertai dengan Sunnah, maka itu adalah bid’ah.” (Lihat al-Muntakhab min Kutub Syaikhil Islam Ibni Taimiyah hal. 39)
Baca juga: Jangan Minder dengan Identitas Sebagai Penuntut Ilmu Syar’i
***
Penulis: Ari Wahyudi
Artikel: Muslimah.or.id