Bismillah.
Dalam hadis riwayat Ahmad dan Nasa’i dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan kepada para sahabat pada saat datangnya bulan Ramadan. Beliau menggambarkan bahwa Ramadan adalah bulan yang diberkahi. Bulan yang diwajibkan bagi kita menjalankan ibadah puasa di dalamnya. Pada bulan itu, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu. Pada bulan itu pula terdapat sebuah malam yang lebih baik daripada seribu bulan; barangsiapa yang terhalang dari kebaikannya, sungguh dia telah gagal meraih kebaikan. (Lihat Wa Jaa’a Syahru Ramadan, hal. 6; karya Syekh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah)
Dalam hadis riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga menjelaskan keistimewaan bulan Ramadan. Pada malam pertama di bulan Ramadan, ada penyeru yang mengumumkan, “Wahai pencari kebaikan, bersemangatlah! Wahai pencari keburukan, berhentilah!” Dan Allah menetapkan pada setiap malam di bulan Ramadan ada orang-orang yang Allah bebaskan dari hukuman azab neraka. (Lihat Wa Jaa’a Syahru Ramadan, hal. 10)
Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa keberkahan bulan Ramadan merupakan keuntungan besar yang semestinya membuat hati kita semakin berbunga-bunga. Seperti halnya seorang pedagang yang hendak bertemu dengan pelanggan kelas kakap dan mendekati musim ribuan pembeli melarisi dagangannya.
Bulan Ramadan jelas bukan waktu yang biasa-biasa. Sebab pada bulan inilah dijanjikan ampunan dan pahala bagi kaum muslimin yang tunduk kepada syariat Allah untuk menahan haus dan lapar pada siang hari hingga matahari terbenam. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Ramadan dalam keadaan beriman dan mengharapkan pahala, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan kepada kalian puasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 183)
Allah juga berfirman,
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Barangsiapa di antara kalian yang menyaksikan bulan itu, hendaklah dia berpuasa.” (QS. al-Baqarah: 185)
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Islam dibangun di atas lima perkara: syahadat bahwa tidak ada ilah (sesembahan) -yang benar- selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah; mendirikan salat; menunaikan zakat; berhaji ke Baitullah; dan puasa Ramadan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Setiap amal anak Adam adalah untuk dirinya sendiri kecuali puasa. Puasa itu adalah untuk-Ku. Dan Aku-lah yang akan membalasnya.” Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada semerbak minyak kasturi. (HR. Muslim)
Puasa adalah amal yang sangat utama. Karena di dalam puasa tergabung tiga bentuk kesabaran: 1) sabar dalam ketaatan; 2) sabar dalam menjauhi maksiat; dan 3) sabar menghadapi musibah dan hal-hal yang tidak menyenangkan. Oleh sebab itu, puasa merupakan wujud nyata dari kesabaran. Sementara pahala orang yang bersabar akan disempurnakan oleh Allah tanpa batasan. Sebagaimana firman-Nya,
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang sabar itu akan disempurnakan pahalanya tanpa perhitungan.” (QS. az-Zumar: 10)
Baca juga: Keistimewaan Bulan Ramadan, Waktu Terbaik dalam Mendekatkan Diri kepada Allah
Hal ini berbeda dengan amal-amal lain yang diberikan balasan pahala dari kisaran sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat. Adapun puasa, maka balasannya tidak terbatas pada bilangan ini. Diriwayatkan secara mursal dari Ibnu ‘Umar bahwa puasa karena Allah tidaklah diketahui besar pahalanya kecuali oleh Allah. (Lihat keterangan Ibnu Rajab rahimahullah dalam Bughyatul Insan fi Wazha’if Ramadan, hal. 13-14)
Barangsiapa yang dimuliakan oleh Allah dan diberikan kelapangan umur sehingga bisa menjumpai bulan yang mulia ini, sungguh merupakan nikmat yang sangat agung bagi seorang hamba untuk bisa bergabung dengan kaum muslimin yang lain untuk memetik buah-buahan pahala di musim yang agung dan diberkahi ini; musim berseminya ketaatan, keimanan, dan taqarrub kepada ar-Rahman. (Lihat Wa Jaa’a Syahru Ramadan, hal. 5-6)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan setiap siang dan malam orang-orang yang akan dibebaskan dari api neraka; yaitu pada bulan Ramadan. Dan sesungguhnya pada bulan itu, setiap muslim memiliki doa yang akan dikabulkan untuknya.” (HR. al-Bazzar)
Syekh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata, “Tidaklah diragukan bahwasanya kesempatan anda untuk bisa menjumpai bulan Ramadan ini -sedangkan anda berada dalam keadaan sehat wal afiyat, selamat, dan dalam keadaan beriman-, ini semua adalah suatu kenikmatan yang sangat besar. Sebuah anugerah yang begitu agung yang semestinya anda bisa menghargainya dengan sebagaimana mestinya, dan mengenali kedudukannya yang amat mulia. Sesungguhnya salah satu bentuk syukur terhadap nikmat Allah kepada anda ketika bisa menjumpai bulan yang agung ini adalah hendaknya anda bersemangat untuk serius dan bersungguh-sungguh melakukan ketaatan kepada Allah di bulan ini -semoga Allah mengantarkanmu kepada bulan itu-. Oleh sebab itu, bersemangatlah dalam menunaikan hak Allah Tabaraka wa Ta’ala di bulan itu dengan berpuasa, salat malam, ketaatan, dan taqarrub kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala serta menjauhi perkara-perkara yang diharamkan Allah Jalla wa ‘Ala.” (lihat Wa Jaa’a Syahru Ramadan, hal. 17)
Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Puasa Ramadan adalah suatu bentuk ibadah (penghambaan) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan meninggalkan makan, minum, dan jima’ (hubungan suami-istri) sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Inilah hakikat puasa, yaitu seseorang beribadah kepada Allah dengan meninggalkan perkara-perkara ini, bukan meninggalkannya hanya sebagai sebuah kebiasaan atau karena ingin menjaga kesehatan badan. Akan tetapi, dia beribadah dengannya kepada Allah. Dia menahan dari menikmati makanan, minuman, dan berhubungan badan, demikian pula seluruh pembatal lainnya, dari sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari, dari sejak terlihatnya hilal Ramadan hingga tampak hilal Syawal.” (Lihat Syarh Riyadhus Shalihin, 3: 380; cet. Dar al-Bashirah)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Betapa banyak orang yang berpuasa dan tidak ada yang didapatkannya selain rasa dahaga, dan betapa banyak orang yang mendirikan salat malam dan tidak ada yang didapatkannya selain begadang.” (HR. ad-Darimi, sanadnya dinyatakan jayyid oleh Syekh al-Albani dalam al-Misykat)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dan tindakan dusta serta perilaku bodoh, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minumannya.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud, lafal milik Abu Dawud)
Syekh Abdullah al-Bassam rahimahullah menjelaskan bahwa istilah al-qaul az-zuur (perkataan dusta) di dalam hadis ini mencakup segala ucapan yang menyimpang dari kebenaran, tercakup di dalamnya kebohongan dan fitnah. Termasuk yang paling parah adalah persaksian palsu dalam rangka mengambil sesuatu dengan cara yang batil atau menggugurkan hak. Termasuk di dalamnya adalah ghibah (menggunjing), namimah (adu domba), mengumpat, dan sebagainya. Adapun yang dimaksud tindakan bodoh adalah ucapan yang kotor/keji. Hadis ini menunjukkan bahwa puasanya orang yang melakukan perbuatan semacam itu menjadi berkurang maknanya dan sedikit pahalanya karena ia bukan puasa yang sempurna. (Lihat Taudhih al-Ahkam, 3: 482-483)
Syekh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwa perkara-perkara semacam ini -berkata dusta, berbohong, dan sebagainya- adalah perkara yang membatalkan secara maknawi, walaupun secara lahiriah puasanya dihukumi sah (tidak perlu diganti). Bisa jadi pahalanya hilang sama sekali atau minimal berkurang pahalanya. Tercakup di dalamnya adalah semua perbuatan yang diharamkan, melihat yang diharamkan, atau ucapan-ucapan haram. Beliau juga menegaskan bahwa yang dimaksud al-qaul az-zuur mencakup semua perkataan yang diharamkan. Karena kata az-zuur bermakna inhiraf (penyimpangan). Oleh sebab itu, para ulama menafsirkan bahwa salah satu bentuk perbuatan ‘menyaksikan az-zuur’ yang tidak dilakukan oleh hamba-hamba Allah yang salih -sebagaimana disebutkan dalam surah al-Furqan ayat 72- adalah ‘menghadiri hari raya orang kafir’. Karena hari raya mereka itu adalah penyimpangan dan kebatilan. (Lihat Tas-hil al-Ilmam, 3: 217-218)
Demikian sedikit kumpulan tulisan dan catatan yang bisa kami susun -dengan kemudahan dan taufik dari Allah semata- semoga bermanfaat bagi penyusun dan para pembaca.
Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wasallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Baca juga: Bagaimana Jika Ini Ramadan Terakhirku?
***
Yogyakarta, pertengahan Sya’ban 1446
Penulis: Ari Wahyudi
Artikel Muslim.or.id