Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin
Pertanyaan ke-1:
Penanya ini mengatakan: Jika seorang wanita haid telah suci dan mandi setelah terbit fajar, lalu ia telah shalat dan menyempurnakan puasanya, apakah wajib baginya meng-qadha puasa tersebut?
Jawaban:
Jika seorang wanita telah suci dari haid sebelum terbit fajar, walaupun kurang satu detik saja, tetapi ia sudah yakin bahwa ia telah suci, maka jika hal ini terjadi di bulan Ramadan, wajib baginya berpuasa. Dan puasanya dianggap sah, sehingga tidak wajib baginya meng-qadha puasanya. Karena pada saat itu, ia sudah berpuasa dan suci. Adapun, jika ia belum mandi (mengundurkan waktu mandi), kecuali setelah terbit fajar, yang demikian itu tidak mengapa. Sebagaimana seorang laki-laki jika ia berada dalam keadaan junub setelah jima’ atau mimpi basah, kemudian ia sahur dalam kondisi belum mandi junub, kecuali setelah terbit fajar, maka puasa laki-laki tersebut tetap sah.
Pada kesempatan ini, saya juga ingin menyampaikan hal lain yang berkaitan dengan perempuan. Jika telah datang masa haid kepada para wanita, dan ia telah menyelesaikan puasanya pada hari tersebut, ada sebagian wanita yang mengira (berpendapat), apabila haidnya datang setelah waktu berbuka, dan sebelum datang waktu shalat isya, maka puasanya di hari tersebut menjadi fasid (tidak sah), dan hal ini tidaklah berdasarkan dalil. Adapun yang benar, bahwasanya jika haid itu datang setelah terbenam matahari walaupun sesaat setelahnya, maka puasanya tetap sempurna dan sah.
Pertanyaan ke-2:
Apakah wajib bagi para perempuan nifas untuk shalat dan puasa sebelum 40 hari?
Jawaban:
Iya. Kapanpun para wanita nifas sudah suci, (meski) sebelum 40 hari, wajib baginya untuk berpuasa jika ia sedang berada di bulan Ramadan. Serta wajib baginya sholat, dan boleh bagi suaminya untuk menggaulinya. Karena ia telah suci, tidak ada yang menghalanginya dari berpuasa, shalat, ataupun jima’.
Pertanyaan ke-3:
Jika seorang wanita memiliki kebiasaan bulanan (haid) selama 8 hari atau 7 hari, kemudian berlanjut satu atau dua hari, apa hukumnya?
Jawaban:
Jika kebiasaan (haid) wanita ini 6 hari, atau 7 hari, kemudian lebih panjang dari waktu tersebut, lalu menjadi 8 hari atau 9 hari atau 10 hari atau 11 hari, maka ia tetap tidak shalat sampai ia suci. Hal ini sebagaimana Nabi Muhammad shalallaahu ‘alaihi wa sallam pernah tidak memberi batasan yang pasti dalam perkara haid. Allah Ta’ala berfirman:
ويسئلونك عن المحيض قل هو أذى
“Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah sesuatu yang kotor”. (QS. Al-Baqarah: 22)
Maka Jika darahnya masih mengalir, wanita tersebut masih dalam kondisi haid, sampai ia suci. Adapun, jika tidak sama jangka waktu haidnya dengan bulan sebelumnya, maka yang paling utama ialah, bahwa apabila masih ada darah haidnya, ia tidak shalat, baik itu haidnya sesuai dengan kebiasaan sebelumnya atau bertambah atau berkurang. Dan jika sudah suci, barulah ia shalat.
Pertanyaan ke-4:
Jika seorang wanita merasa seperti ada darah, tetapi tidak keluar sebelum terbenam matahari, atau merasakan sakit seperti yang ia rasakan sebagaimana kebiasaan (setiap bulannya), apakah puasanya di hari tersebut sah, atau harus meng-qadha-nya?
Jawaban:
Jika seorang wanita merasa suci dari haid dan ia berpuasa, serta darahnya tidak keluar, kecuali setelah terbenamnya matahari, atau merasakan sakit seperti saat haid tetapi darahnya tidak keluar, kecuali setelah terbenam matahari, maka puasanya di hari itu dianggap sah dan tidak perlu baginya mengulang puasa tersebut jika itu adalah puasa wajib. Dan tidak pula membatalkan pahala puasa jika itu puasa sunnah.
Pertanyaan ke-5:
Jika seorang wanita melihat darah dan tidak yakin apakah darah tersebut darah haid, apa hukum puasa di hari tersebut?
Jawaban:
Puasanya di hari tersebut dianggap sah. Karena pada asalnya tidak ada haid sampai jelas terlihat bahwasanya darah tersebut adalah darah haid.
[Bersambung]
Baca juga: Dianjurkan Mengusap Tempat Keluar Darah Haid dengan Kapas yang Dibaluri Kasturi
***
Penulis: Evi Noor Azizah
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
Diterjemahkan dari kitab Risalatun fii ad-Dimaai ath-Thabi’iyyati li an-Nisa` karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin halaman 37-38.