Bismillah.
Salah satu kewajiban utama yang harus kita kerjakan setiap hari adalah bersyukur kepada Allah dan memuji-Nya atas segala nikmat yang terlimpah. Hal ini bisa kita lihat dalam ibadah salat yang kita lakukan lima kali dalam sehari semalam.
Di dalam salat kita diwajibkan membaca surah al-Fatihah yang di dalamnya terkandung pujian dan sanjungan kepada Allah. Seperti dalam kalimat ‘alhamdulillah …’ yang artinya, “Segala puji bagi Allah.” ar-Rahman ar-Rahim, yang artinya, “[Allah] Yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang.” Maaliki yaumid diin, yang artinya, “[Allah] Yang menguasai hari pembalasan.”
Di dalam ucapan ‘alhamdulillah’ terkandung nilai syukur. Oleh sebab itu, para ulama tafsir mengatakan bahwa kalimat ini merupakan kalimat dari setiap orang yang bersyukur kepada Allah. Adapun syukur itu sendiri memiliki makna mengakui nikmat dari Allah; memuji Allah atasnya; dan menggunakan nikmat itu dalam hal-hal yang diridai-Nya. Para ulama mengatakan, “Apabila nikmat itu disyukuri, maka ia menetap (lestari). Akan tetapi, apabila ia dikufuri, maka ia akan lenyap.”
Ucapan alhamdulillah selalu kita dengar dan bahkan kita baca. Setiap kali di dalam salat minimal 17 kali dalam sehari semalam kita membacanya. Setiap kali seusai salat kita pun dianjurkan membaca ‘alhamdulillah’ dalam dzikir setelah salat sebanyak 33 kali. Bahkan setiap bangun tidur pun, kita dianjurkan berdoa ‘alhamdulillahilladzi ahyaanaa’, dan seterusnya.
Memang ucapan ‘alhamdulillah’ bukan sekedar kumpulan huruf tanpa makna. Ia merupakan kalimat yang sangat agung. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الطُّهُورُ شَطْرُ الإِيْمَانِ، وَالحَمْدُ للهِ تَمْلأُ المِيْزَانَ
“Bersuci adalah separuh keimanan, dan alhamdulillah memenuhi timbangan…” (HR. Muslim)
Ucapan ‘alhamdulillah’ menunjukkan kesempurnaan Allah; yaitu kesempurnaan pada sifat-sifat-Nya dan kesempurnaan nikmat yang diberikan oleh-Nya kepada segenap hamba. Karena ucapan ‘alhamdu’ (segala puji; pujian yang mutlak) tidak layak diberikan kecuali kepada Dzat yang sempurna sifat dan perbuatannya. (Lihat Ahkam minal Qur’anil Karim, 1: 22; karya Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah)
Yang dimaksud dengan ‘alhamdu’ itu adalah pemberian sifat kepada yang dipuji dengan kesempurnaan yang disertai dengan kecintaan dan pengagungan. Allah terpuji karena kesempurnaan sifat-sifatnya, seperti Maha hidup, Maha kuasa, dan sebagainya. Selain itu, Allah juga terpuji karena kesempurnaan ihsan dan kebaikan yang Allah curahkan kepada segenap makhluk. Oleh sebab itu, disyariatkan apabila seorang insan makan atau minum untuk mengucapkan ‘alhamdulillah’. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah benar-benar rida kepada seorang hamba ketika dia makan, lalu dia memuji-Nya atas hal itu; dan meminum suatu minuman, lantas dia pun memuji-Nya atas hal itu.” (HR. Muslim) (Lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 30-34; karya Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah)
Hanya Allah yang layak menerima pujian yang sempurna (alhamdu). Oleh sebab itu, apabila menjumpai sesuatu yang menggembirakan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan ‘alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmush shaalihaat’ (artinya: ‘segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan bisa terlaksana’). Dan apabila beliau mengalami sesuatu yang kurang menyenangkan, beliau mengatakan, ‘alhamdulillahi ‘ala kulli haal’ (artinya: ‘segala puji bagi Allah dalam keadaan apapun’). (HR. Ibnu Majah) (Lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 35)
Oleh sebab itu, kalimat ‘alhamdulillah’ mengandung pujian kepada Allah atas kesempurnaan sifat-sifat-Nya dan ungkapan syukur kepada Allah atas segala nikmat dari-Nya. (Lihat Tafsir Imam al-Baghawi rahimahullah yang dikenal dengan nama Ma’alim at-Tanzil, hal. 9)
Baca juga: Mensyukuri Nikmat Lisan
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma mengatakan bahwa ‘alhamdulillah’ adalah kalimat yang diucapkan oleh setiap orang yang bersyukur. (Lihat Tafsir Imam Ibnu Katsir rahimahullah yang dikenal dengan nama Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 1: 128)
Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Syukur adalah menunaikan ketaatan kepada Sang pemberi nikmat dengan pengakuan dari dalam hati -bahwa nikmat datang dari Allah- disertai pujian dengan lisan, dan ketaatan dengan segenap anggota badan.” (Lihat Tafsir Surat Luqman, hal. 74)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Adapun syukur, ia adalah menunaikan ketaatan kepada-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan berbagai hal yang dicintai-Nya, baik yang bersifat lahir maupun batin.” (Lihat al-Fawa’id, hal. 193)
Ditinjau dari sarananya, syukur lebih luas daripada pujian. Syukur dilakukan dengan hati, lisan, dan anggota badan. Adapun pujian dilakukan dengan hati dan lisan saja. (Lihat Min-hatul ‘Allam fi Syarh Bulugh al-Maram oleh Syekh Abdullah bin Shalih al-Fauzan, 1: 12)
Ditinjau dari sebabnya, pujian lebih luas dari syukur. Syukur timbul atas perbuatan baik, sedangkan pujian timbul atas sebab yang lebih banyak, yaitu kesempurnaan pada dzat, nama, sifat, dan perbuatan Allah. (Lihat Syarh Lum’ah al-I’tiqad oleh Syekh Shalih al-Fauzan, hal. 25)
Sebagian ulama menjelaskan, bahwa pujian kepada Allah itu muncul baik ketika dalam kondisi senang maupun susah, sedangkan syukur terbatas pada saat mendapatkan kenikmatan. (Lihat Fat-h al-‘Aliim oleh Syekh Husain al-‘Awaisyah, hal. 54)
Syekh Sa’ad bin Nashir asy-Syatsri hafizhahullah menerangkan bahwa hakikat syukur adalah menunaikan hak atas nikmat yang Allah berikan. Syukur mencakup tiga aspek. Dengan hati, ia mengakui bahwa nikmat itu datang dari Allah. Dengan lisan, ia menceritakan nikmat yang Allah berikan dan menyandarkan nikmat itu kepada-Nya. Dan dengan anggota badan, ia gunakan nikmat itu dalam hal-hal yang mendatangkan keridaan Allah. Dengan demikian, syukur itu mencakup segala bentuk amal ketaatan. (Lihat Syarh Mutun al-‘Aqidah, hal. 220)
Apabila diperjelas lagi, hakikat syukur dengan anggota badan adalah menggunakan nikmat yang Allah berikan dalam rangka ketaatan kepada-Nya, baik berupa ucapan maupun perbuatan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْراً
“Lakukanlah amal wahai keluarga Dawud, sebagai bentuk syukur.” (QS. Saba’: 13) (Lihat al-Lubab fi at-Tafsir oleh Syekh Sulaiman al-Lahim, hal. 217)
Orang yang benar-benar beribadah kepada Allah adalah yang bersyukur kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman,
وَاشْكُرُواْ لِلّهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“Dan bersyukurlah kepada Allah, jika kalian benar-benar beribadah hanya kepada-Nya.” (QS. al-Baqarah: 172)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Sesungguhnya yang beribadah kepada-Nya adalah yang bersyukur kepada-Nya. Maka barangsiapa yang tidak bersyukur kepada-Nya, berarti dia bukan termasuk golongan orang yang beribadah kepada-Nya.” (Lihat ‘Uddatu ash-Shabirin, hal. 222)
Makhlad bin al-Husain rahimahullah berkata, “Orang-orang dahulu mengatakan bahwa hakikat syukur adalah meninggalkan maksiat.” (Lihat ‘Uddatu ash-Shabirin, hal. 242)
Demikian kumpulan tulisan dan catatan yang Allah mudahkan bagi kami untuk menyusunnya, semoga bermanfaat bagi penulis dan para pembaca. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Baca juga: Qana’ah: Kunci Syukur dalam Kehidupan
***
Selesai disusun di markas YPIA Pogungrejo
Jum’at 4 Jumada Tsaniyah 1446/ 6 Desember 2024
Penulis: Ari Wahyudi
Artikel Muslimah.or.id