Di tengah gempuran fenomena flexing (pamer kekayaan) yang terjadi di zaman media sosial saat ini, keimanan seorang mukmin sangatlah diuji. Bagaimana tidak, di saat sebagian orang menghalalkan segala cara untuk mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya, seorang mukmin haruslah berpegang teguh pada syariat agamanya. Dia hanya mencari penghidupan pada jalan yang telah Allah halalkan baginya, meskipun terkadang jalan tersebut lebih sukar dan membutuhkan lebih banyak kesabaran.
Pada saat ini juga, rasa syukur seorang mukmin diuji. Bagaimana ia tetap menghaturkan rasa syukurnya kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala yang telah mengaruniakan kepadanya, bukan hanya nikmat berupa harta, namun juga nikmat keimanan, kesehatan, dan kemudahan dalam menjalankan syariat agamanya, yang kebanyakan manusia lalai dari nikmat-nikmat ini dan tenggelam dalam pembangkangannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Maka rasa qana’ah adalah kunci untuk menghadapi semua gempuran ujian ini. Merasa cukup dan menutup sikap tamak kepada manusia, tidak menengok apa yang ada di tangan mereka, serta tidak ambisius dalam mengumpulkan harta.
Dalam Shahih Muslim, dari ‘Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ، وَرُزِقَ كَفَافًا، وَقَنَّعَهُ اللهُ بمَا آتَاهُ
“Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberi rizki yang cukup, dan Allah membuatnya qana’ah dengan apa yang Dia berikan kepadanya.” (HR. Muslim no. 1053, at-Tirmidzi no. 2347, Ibnu Majah no. 4138)
Dalam hadis dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اَلْقَنَاعَةُ مَالٌ لَا يَنْفَذُ
“Qana’ah adalah harta yang tidak habis.” (Dhaif sekali, diriwayatkan oleh al-Qudha’i dari Anas, dan hadis ini tercantum dalam Dha’if al–Jami’ no. 4140)
Kiat untuk meraih qana’ah
Pondasi untuk meraih sifat qana’ah adalah sabar, ilmu, dan amal. Dan ini terinci dalam lima perkara:
1) Seimbang dalam hidup dan mencukupkan diri dengan apa yang ada. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا عَالَ مَنِ اقْتَصَدَ
“Tidak akan miskin orang yang bersikap sederhana.” (HR. Ahmad no. 4270, dari Ibnu Mas’ud, Dha’if al–Jami’ no. 5100, 5101 dan as–Silsilah adh–Dha’ifah no. 611)
Dalam hadis yang lain, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اَلتَّدْبِيرُ نِصْفُ الْعَيْشِ
“Pengaturan adalah setengah penghidupan.” (HR. Ad-Dailami dan ath-Thabari dalam al–Mu’jam ash–Shagir dari hadis Anas dan al-Qudha’i dari hadis ‘Ali. Tercantum dalam as–Silsilah adh–Dha’ifah no. 1560 dan Dha’if al–Jami’ ash–Shagir no. 2506)
2) Tidak mencemasi masa depan dan meyakini bahwa apa yang telah ditetapkan untuknya berupa rezeki akan datang kepadanya secara pasti. Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ رُوْحَ الْقُدُسِ نَفَثَ فِي رُوْعِي، أَنَّهُ لَيْسَ مِنْ نَفْسٍ تَمُوْتُ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ رِزْقَهَا وَأَجَلَهَا، فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ، وَلَا يَحْمِلَنَّكُمْ اِسْتِبْطَاءَ الرِّزْقِ أَنْ تَطْلُبُوهُ بِمَعَاصِي اللهِ ، فَإِنَّهُ لَا يُدْرِكُ عِنْدَ اللهِ إِلَّا بِطَاعَتِهِ
“Sesungguhnya Ruhul Qudus (Jibril) membisikkan ke dalam jiwaku bahwa sebuah jiwa tidak mati sebelum dia genap (menyelesaikan) ajal dan rezekinya. Maka bertakwalah kepada Allah dan baguskanlah dalam mencari (rezeki). Jangan sampai terlambatnya rezeki mendorong kalian untuk mencarinya dengan mendurhakai Allah, karena apa yang ada di sisi Allah tidak didapatkan, kecuali dengan ketaatan kepada–Nya.” (Shahih al–Jami’ no. 2085 dan as–Silsilah ash–Shahihah no. 2866)
3) Menyadari bahwa qana’ah memberikan kemuliaan, sebaliknya ketamakan dan ambisi mendatangkan kehinaan. Sebagian ahli hikmah mengatakan, “Anda senantiasa mulia selama Anda berselimut sikap qana’ah.”
4) Hendaknya melihat kepada sejarah kehidupan para nabi, para kekasih Allah, dan orang-orang salih. Ini akan meringankan beban sabar di atas yang sedikit dan qana’ah terhadap yang sederhana. Ingatlah bahwa ketika ia menikmati makan, maka hewan itu makan lebih banyak. Dan ketika ia menikmati wanita, maka burung jantan lebih sering daripada dirinya.
5) Dalam perkara dunia, kita dituntut untuk senantiasa memandang kepada yang lebih rendah. Adapun dalam urusan agama, maka kita melihat kepada yang di atas hal ini sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوْا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
“Lihatlah kepada orang yang di bawah kalian dan jangan melihat kepada orang yang di atas kalian. Karena hal itu lebih patut bagi kalian untuk tidak meremehkan nikmat Allah kepada kalian.” (HR. Bukhari no. 6490, Muslim no. 2963, at-Tirmidzi no. 2513, dan Ibnu Majah no. 4142)
Hendaknya setiap orang menyadari bahwa harta memiliki resiko yang berbahaya dan penawar racunnya adalah mengambil kadar yang cukup darinya dan memanfaatkan sisanya pada jalan-jalan kebaikan. Ingatlah bahwa kesabaran di dunia hanyalah hari-hari yang sedikit dalam rangka meraih kenikmatan abadi, seperti orang sakit yang sabar meminum obat yang pahit karena berharap kesembuhan bagi dirinya.
Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.
Baca juga: Mengajarkan Ridha dan Qana’ah pada Anak (Bag. 1)
***
Penulis: Annisa Auraliansa
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
Maqdisy, Ibnu Qudamah. 2000. Mukhtashar Minhajul Qashidin. (I. Karimi, Terjemahan). Jakarta: Penerbit Darul Haq.