Bismillah.
Saudaraku yang dirahmati Allah, seorang muslim membangun agamanya di atas ilmu dan keyakinan. Dan di antara perkara yang paling pokok untuk dipahami dan diyakini adalah kandungan dari dua kalimat syahadat. Sebab dua kalimat syahadat inilah pondasi tegaknya ajaran agama Islam.
Konsekuensi syahadat “laa ilaaha illallah”
Dua kalimat syahadat itu mencakup syahadat (persaksian) bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang benar selain Allah, dan persaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Syahadat yang pertama mengandung keyakinan bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah. Adapun syahadat yang kedua mengandung pedoman bahwa ibadah tidak dikerjakan kecuali dengan mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kalimat laa ilaha illallah mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah semata; Rabb yang menciptakan mereka dan menciptakan langit dan bumi beserta isinya. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian; Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 21)
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Kami utus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang benar selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. al-Anbiyaa’: 25)
Ibadah kepada Allah itu pun tidak dinilai benar kecuali apabila sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dengan tegas,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah/ajarannya dari kami, maka (amalan itu) tertolak.” (HR. Muslim)
Oleh sebab itu, niat baik belaka tidak cukup. Niat yang baik harus diwujudkan dengan cara yang benar, yaitu mengikuti tuntunan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Katakanlah, jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS. Ali ‘Imran: 31)
Baca juga: Belajar Syukur dari Nabi Nuh ‘Alaihissalam
Konsekuensi syahadat “Muhammad rasulullah”
Sesungguhnya kecintaan dibuktikan dengan ketaatan dan kesetiaan. Taat kepada ajaran Rasul dan setia dengan bimbingannya. Sebagaimana yang diingatkan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu, “Seandainya kalian meninggalkan sunnah (ajaran) Nabi kalian, pasti kalian tersesat.”
Syahadat Muhammad utusan Allah mengandung konsekuensi membenarkan beritanya, melaksanakan perintahnya, menjauhi larangannya, dan beribadah kepada Allah hanya dengan syari’at dan ajarannya. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
“Dan tidaklah dia -Muhammad- itu berbicara dari hawa nafsunya. Tidaklah itu melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. an-Najm: 3-4)
Allah Ta’ala juga berfirman,
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Hendaklah merasa takut orang-orang yang menyelisihi dari perintah (ajaran) rasul; bahwa mereka akan ditimpa fitnah (malapetaka) atau menimpa mereka azab yang sangat pedih.” (QS. an-Nuur: 63)
Sesungguhnya ketaatan kepada Rasul adalah bagian dari ketaatan kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman,
مَّنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللّهَ
“Barangsiapa yang taat kepada Rasul itu, sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (QS. an-Nisaa’: 80)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa di dalam ayat ini, Allah memberitakan bahwa barangsiapa taat kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia telah taat kepada Allah. Dan barangsiapa durhaka kepadanya, sesungguhnya dia telah durhaka kepada Allah. Dan tidaklah hal itu melainkan karena apa-apa yang beliau ucapkan tidak lain merupakan wahyu yang diwahyukan kepadanya. (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 2: 363)
Tunduk kepada aturan dan ketetapan Rasul adalah suatu kewajiban iman yang sangat agung. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
“Dan tidaklah pantas bagi seorang lelaki beriman atau perempuan beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan suatu perkara kemudian masih ada bagi mereka pilihan lain dalam urusan mereka …” (QS. al-Ahzab: 36)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ، مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُـحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ فِـي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِـي النَّارِ.
“Ada tiga perkara; barangsiapa yang memilikinya niscaya dia akan merasakan manisnya iman: 1) apabila Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada selainnya; 2) dia mencintai orang lain, dan tidaklah dia mencintainya kecuali karena Allah; 3) dan dia tidak suka kembali kepada kekafiran sebagaimana tidak suka dilemparkan ke dalam api (neraka).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Allah Ta’ala berfirman,
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجاً مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيماً
“Sekali-kali tidak, demi Rabbmu, tidaklah mereka beriman sampai mereka menjadikanmu sebagai hakim (pemutus) perkara dalam urusan yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak mendapati rasa sempit (berat) terhadap keputusan yang kamu berikan itu, dan mereka pun pasrah dengan sepenuhnya.” (QS. an-Nisaa’: 65)
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
“Katakanlah, jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS. Ali ‘Imran: 31)
Ath-Thabari rahimahullah membawakan riwayat dari Ibnu Juraij, beliau berkata,
كان قوم يزعمون أنهم يحبون الله، يقولون: إنا نحب ربّنا! فأمرهم الله أن يتبعوا محمدًا صلى الله عليه وسلم، وجعل اتباع محمد علمًا لحبه
“Dahulu ada suatu kaum yang mengaku bahwa mereka mencintai Allah. Mereka berkata, “Kami benar-benar mencintai Rabb kami”. Maka Allah pun memerintahkan mereka untuk mengikuti Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Allah menjadikan ittiba’ (sikap mengikuti ajaran) Muhammad itu sebagai tanda kecintaan kepada-Nya.” (lihat Tafsir ath-Thabari dari link situs : http://quran.ksu.edu.sa/tafseer/tabary/sura3-aya31.html)
Al-Qurthubi rahimahullah menyebutkan dalam tafsirnya, perkataan dari Sahl bin Abdullah,
علامة حب الله حب القرآن ، وعلامة حب القرآن حب النبي – صلى الله عليه وسلم – وعلامة حب النبي – صلى الله عليه وسلم – حب السنة
“Tanda kecintaan kepada Allah adalah mencintai Al-Qur’an, dan tanda mencintai Al-Qur’an adalah mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan tanda mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mencintai Sunah.” (lihat Tafsir al-Qurthubi, 4: 57; di situs islamweb.net)
Yang dimaksud dengan “sunnah” di sini adalah ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena mengikuti Sunnah beliau adalah konsekuensi kecintaan kepada Allah Ta’ala.
Oleh sebab itu, wajib tunduk kepada perintah dan larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Apabila aku melarang kalian dari sesuatu, maka jauhilah hal itu. Dan apabila aku memerintahkan sesuatu, maka lakukanlah sekuat kemampuan kalian.” (HR. Bukhari)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
أَلَّا وَإِنَّ مَا حَرَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ
“Ketahuilah, bahwa apa-apa yang diharamkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sama kedudukannya dengan apa-apa yang diharamkan oleh Allah.” (HR. Ibnu Majah) (lihat Ma’alim Ushul Fiqh, hal. 121)
Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ’anhu bahwa beliau berkata, “Dahulu aku menulis apa saja yang kudengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena aku ingin menghafalkannya. Orang-orang Quraisy pun melarangku, mereka berkata, “Apakah kamu menulis semua yang kamu dengar, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia dimana beliau berbicara dalam keadaan murka dan rida?!” Maka aku pun menahan diri dari mencatatnya. Kemudian aku ceritakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau pun mengisyaratkan dengan jarinya ke mulutnya sembari berkata, “Tulislah! Demi Tuhan yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak keluar dari sini selain kebenaran.” (Hadis ini dinyatakan sahih oleh al-Albani. Lihat Sahih Sunan Abi Dawud, 2: 408)
Demikian sedikit kumpulan faedah yang Allah mudahkan bagi kami untuk menyusunnya. Semoga Allah beri taufik bagi kami dan segenap pembaca untuk menjadi pengikut setia Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Baca juga: Tafsir Shalawat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
***
Penulis: Ari Wahyudi
Artikel Muslimah.or.id