Bersandar kepada baiknya pilihan Allah
Imam adz-Dzahabi [1] dan Ibnu Katsir [2] menukil dalam biografi sahabat yang mulia dan cucu kesayangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa pernah disampaikan kepada beliau tentang ucapan sahabat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, “Kemiskinan lebih aku sukai daripada kekayaan dan (kondisi) sakit lebih aku sukai daripada (kondisi) sehat.” Maka al-Hasan bin Ali berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Dzar, adapun yang aku katakan adalah, ‘Barangsiapa yang bersandar kepada baiknya pilihan Allah untuknya, maka dia tidak akan mengangan-angankan sesuatu (selain keadaan yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala pilihkan untuknya). Inilah batasan (sikap) selalu rida (menerima) segala ketentuan takdir (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dalam semua keadaan (yang Allah) berlakukan (bagi hamba-Nya).’”
Atsar (riwayat) sahabat al-Hasan di atas menggambarkan akan tingginya pemahaman Islam para sahabat dan keutamaan mereka dalam semua segi kebaikan dalam agama. [3]
Dalam atsar ini, sahabat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu menjelaskan bahwa kondisi susah (miskin atau sakit) lebih baik bagi seorang hamba daripada kondisi senang (kaya dan sehat). Karena biasanya, seorang hamba lebih mudah bersabar menghadapi kesusahan daripada bersabar untuk tidak melanggar perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam keadaan senang dan lapang. Hal ini sebagaimana yang diisyaratkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang aku takutkan (akan merusak agama) kalian. Akan tetapi, yang aku takutkan bagi kalian adalah jika (perhiasan) dunia dibentangkan (dijadikan berlimpah) bagi kalian sebagaimana (perhiasan) dunia dibentangkan bagi umat (terdahulu) sebelum kalian. lalu kalian pun berambisi dan berlomba-lomba mengejar dunia sebagaimana mereka berambisi dan berlomba-lomba mengejarnya, sehingga akibatnya dunia itu membinasakan kalian sebagaimana dunia membinasakan mereka.” [4]
Akan tetapi, dalam atsar ini, cucu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-Hasan bin ‘Ali mengomentari ucapan Abu Dzar di atas dengan pemahaman agama yang lebih tinggi dan merupakan konsekuensi suatu kedudukan yang sangat agung dalam Islam. Yaitu rida kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabb (Pencipta, Pengatur, Pelindung, dan Penguasa bagi alam semesta), yang berarti rida juga kepada segala perintah dan larangan-Nya, kepada ketentuan takdir dan pilihan-Nya, serta kepada apa saja yang diberikan dan yang tidak diberikan oleh-Nya. [5]
Sikap ini merupakan ciri utama orang yang akan meraih manisnya dan sempurnanya iman, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Akan merasakan kelezatan (manisnya) iman, orang yang rida dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabb-Nya dan Islam sebagai agamanya serta (Nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya.” [6]
Pelajaran berharga
Beberapa pelajaran berharga yang dapat kita petik dari kisah di atas:
Pertama: Bersandar dan berserah diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sebaik-baik usaha untuk mendapatkan kebaikan dan kecukupan dari-Nya. [7] Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri telah menjanjikan hal ini dalam surah Ath-Thalaq ayat 3. Allah akan mencukupi orang yang senantiasa bertawakal kepada-Nya.
Kedua: Rida dengan segala ketentuan dan pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi hamba-Nya adalah termasuk bersangka baik kepada-Nya, dan ini merupakan sebab utama Allah Subhanahu wa Ta’ala akan selalu melimpahkan kebaikan dan keutamaan bagi hamba-Nya. Dalam sebuah hadis qudsi, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Aku (akan memperlakukan hamba-Ku) sesuai dengan persangkaannya kepada-Ku.” [8]
Makna hadis ini, bahwa Allah akan memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, dan Dia akan berbuat terhadap hamba-Nya sesuai dengan harapan baik atau buruk dari hamba tersebut. Maka hendaknya hamba tersebut selalu menjadikan baik persangkaan dan harapannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. [9]
Ketiga: Takdir yang Allah tetapkan bagi hamba-Nya, baik berupa kemiskinan atau kekayaan, sehat atau sakit, kegagalan dalam usaha atau keberhasilan, dan sebagainya, wajib diyakini bahwa itu semua adalah yang terbaik bagi hamba tersebut, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala maha mengetahui bahwa di antara hamba-Nya ada yang akan semakin baik agamanya jika dia diberikan kemiskinan, sementara yang lain semakin baik bila diuji dengan kekayaan, dan demikian seterusnya. [10]
Keempat: Imam Ibnu Muflih al-Maqdisi rahimahullah berkata, “Dunia (harta) tidaklah dilarang (dicela) pada zatnya (asalnya), tapi (dicela) karena (dikhawatirkan) harta itu akan menghalangi (manusia) untuk mencapai (rida) Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana kemiskinan, tidaklah dituntut (dipuji) pada zatnya, tapi karena kemiskinan itu (umumnya) tidak menghalangi dan menyibukkan (manusia) dari (beribadah kepada) Allah. Berapa banyak orang kaya yang kekayaannya tidak menyibukkannya dari (beribadah kepada) Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti Nabi Sulaiman ‘alaihissalam, demikian pula (sabahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) Ustman (bin ‘Affan) radhiyallahu ‘anhu dan Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu?! Dan berapa banyak orang miskin yang kemiskinannya (justru) melalaikannya dari beribadah kepada Allah serta memalingkannya dari kecintaan serta kedekatan kepada-Nya…” [11]
Kelima: Orang yang paling mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah orang yang mampu memanfaatkan keadaan apa pun yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala pilihkan baginya untuk meraih takwa dan kedekatan di sisi-Nya. Jika diberi kekayaan, dia bersyukur dan jika diberi kemiskinan, dia bersabar. Saudaraku, maka perhatikanlah bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda seperti berikut,
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ؛ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Alangkah mengagumkan keadaan seorang mukmin, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya). Dan ini hanya ada pada seorang mukmin. Jika dia mendapatkan kesenagan, dia akan bersyukur, dan itu adalah kebaikan baginya. Dan jika dia ditimpa kesusahan, dia akan bersabar, dan itu adalah kebaikan baginya.” [12] [13]
—
Penulis: Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A.
Artikel www.muslimah.or.id
Catatan kaki:
[1] Dalam kitab Siyar A’lam an-Nubala’, 3: 262.
[2] Dalam kitab al-bidayah wan Nihayah, 8: 39.
[3] Sebagaimana keterangan Ibnul Qayyim dalam kitab al-Fawa’id, hal. 141.
[4] HR. Bukhari no. 2988 dan Muslim no. 2961.
[5] Kitab Fiqhul Asma’il Husna, hal. 81.
[6] HR. Muslim no. 34.
[7] Sebagaimana keterangan Ibnul Qayyim dalam kitab Bada’i al-Fawa’id, 2: 776.
[8] HR. Bukhari no. 7066 (cet. Daar Ibni Katsir) dan Muslim no. 2675.
[9] Dalam kitab Faidhul Qadi’, 2: 312 dan Tuhfatul Ahwadzi, 7: 53.
[10] Sebagaimana keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab ‘Uddatush Shabirin, hal. 149-150.
[11] Kitab ad-Aadab asy-Syar’iyyah, 3: 469.
[12] HR. Muslim no. 2999.
[13] Disalin ulang oleh Eva Nurhidayati dari Majalah al-Mawaddah Vol. 72 Jumadal Ula 1435 H. Diterbitkan oleh Lajnah Dakwah Ma’had al-Furqon al-Islami.