Teks Hadis
Hadis pertama: Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ تُنْكَحُ الأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ، وَلاَ تُنْكَحُ البِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَكَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: أَنْ تَسْكُتَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Janganlah menikahkan seorang janda sebelum meminta persetujuannya, dan janganlah menikahkan anak gadis sebelum meminta izin darinya.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mengetahui izinnya?” Beliau menjawab, “Dia diam.” (HR. Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 1419)
Hadis kedua: Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا، وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ، وَإِذْنُهَا سُكُوتُهَا
“Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya; sedangkan anak gadis harus dimintai izin darinya, dan izinnya adalah diamnya.” (HR. Muslim no. 1421)
Hadis ketiga: Dalam lafal lain dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَيْسَ لِلْوَلِيِّ مَعَ الثَّيِّبِ أَمْرٌ، وَالْيَتِيمَةُ تُسْتَأْمَرُ، وَصَمْتُهَا إِقْرَارُهَا
“Seorang wali tidak memiliki hak atas janda, sedangkan anak gadis (yang sudah baligh) harus diminta persetujuannya, dan diamnya adalah persetujuannya.” (HR. Abu Dawud no. 2100, An-Nasa’i 6: 84, Ad-Daruquthni 3: 239. Dinilai sahih oleh Al-Albani)
Hadis keempat: Juga dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan,
أَنَّ جَارِيَةً بِكْرًا أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَذَكَرَتْ لَهُ أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ كَارِهَةٌ، فَخَيَّرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Seorang budak wanita yang masih gadis mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dia mengabarkan bahwa ayahnya telah menikahkannya dengan seseorang yang tidak dia sukai. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun memberikan pilihan untuknya.” (HR. Ahmad 4: 275, Abu Dawud no. 2096, dan Ibnu Majah no. 1875. Dinilai sahih oleh Al-Albani)
Kandungan Hadis
Kandungan pertama
Hadis-hadis di atas menunjukkan bahwa seorang wanita harus memberikan persetujuan terhadap laki-laki yang ingin dinikahkan dengannya oleh walinya. Untuk wanita yang berstatus janda, persetujuan yang jelas harus dinyatakan secara lisan, karena dia sudah berpengalaman dan mengetahui sifat (kondisi) pernikahan. Namun untuk wanita yang masih gadis, ia perlu dimintai izin, dan cukup (dianggap setuju dan rida) jika dia hanya diam. Jika dia diam, itu sudah dianggap sebagai tanda persetujuan. Sikap diam ini juga mempertimbangkan aspek kehormatan dan rasa malu yang harus dijaga oleh wanita yang masih gadis tersebut. Oleh karena itu, seorang gadis perlu disikapi sesuai dengan apa yang nyaman dan layak untuk dirinya. [1]
Namun, jika diamnya disertai dengan tanda-tanda ketidaksetujuan atau tidak rida, maka hal itu tidak boleh dianggap sebagai persetujuan. Harus diperhatikan petunjuk-petunjuk (indikasi) lain dalam situasi tersebut, apakah wanita tersebut rida (setuju) ataukah tidak.
Pada saat meminta izin, nama calon suami harus disebutkan dengan cara yang memungkinkan wanita tersebut mengenalinya, seperti menyebutkan nasabnya, pekerjaannya, dan hal-hal lain yang bermanfaat, agar dia bisa memahami situasinya dengan jelas. Intinya, penting untuk memberikan informasi yang cukup tentang calon suami agar wanita tersebut dapat membuat keputusan yang tepat dan mengetahui keadaan atau karakter calon suaminya dengan baik.
Baca juga: Larangan Menikahi Wanita dan Bibinya Sekaligus
Kandungan kedua
Para ulama telah sepakat, kecuali mereka yang memiliki pendapat syadz (aneh atau ganjil) dalam masalah ini, bahwa seorang wali tidak diperbolehkan memaksa seorang wanita janda yang sudah baligh dan berakal untuk menikah.
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
الثيب البالغة لا تُنكح إلا بإذنها باتفاق الأئمة
“Wanita janda yang sudah baligh tidak boleh dinikahkan kecuali dengan izinnya, menurut kesepakatan para imam.”
Beliau juga mengatakan,
البالغ الثيب لا يجوز تزويجها بغير إذنها، لا للأب ولا لغيره بإجماع المسلمين
“Wanita janda yang sudah baligh tidak boleh dinikahkan tanpa izinnya, baik oleh ayahnya maupun orang lain, berdasarkan ijmak (kesepakatan) kaum muslimin.” [2]
Para ulama berdalil dengan hadis-hadis yang telah disebutkan di atas. Selain itu, juga terdapat dalil penguat dari Al-Khansa binti Khidham Al-Anshariyah, bahwa ayahnya menikahkannya ketika dia sudah menjadi janda, dan dia tidak menyukainya. Maka dia datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membatalkan pernikahannya. (HR. Bukhari no. 5138)
Selain itu, para ulama juga berargumentasi dari sudut pandang akal (rasional) bahwa wanita janda yang baligh, bijaksana (bisa menimbang-nimbang segala sesuatunya dengan baik), dan memahami tujuan dari pernikahan, serta sudah berpengalaman, tidak boleh dipaksa untuk menikah seperti halnya laki-laki [3]. Dengan demikian, jika walinya menikahkan tanpa persetujuannya, maka akad tersebut dianggap batal. Namun, jika kemudian dia menyetujui akad tersebut, apakah perlu dilakukan akad ulang setelah persetujuannya? Ada dua pendapat ulama mengenai hal ini.
Kandungan ketiga
Para ulama berbeda pendapat mengenai boleh atau tidaknya memaksa wanita yang masih gadis yang sudah baligh dan berakal untuk menikah, dengan dua pendapat sebagai berikut:
Pendapat pertama: Wali diperbolehkan menikahkannya tanpa persetujuan darinya. Ini adalah pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i, Ishaq, dan pendapat yang terkenal dari mazhab Imam Ahmad rahimahumullah [4].
Mereka berdalil dengan hadis Ibnu Abbas radhiyallahu ‘amhuma yang telah disebutkan (hadis kedua dan ketiga). Sisi pendalilan yang mereka kemukakan adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membagi wanita menjadi dua kelompok, yaitu wanita janda dan gadis. Dan ketika beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan hak kepada salah satunya (yaitu, wanita janda), hal ini menunjukkan bahwa hak tersebut tidak berlaku untuk yang lainnya (yaitu, wanita yang masih gadis). Oleh karena itu, walinya lebih berhak dari gadis tersebut.
Jika tidak dipahami demikian, maka tidak ada faedahnya ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membedakan antara janda dan wanita yang masih gadis. Tidak pula bisa dipahami dari hadis tersebut bahwa faedah membedakan antara janda dan gadis adalah dalam konteks bagaimana cara meminta ijinnya. Mereka berpendapat bahwa dzahir hadis menunjukkan bahwa yang dibedakan adalah hak wali dari wanita tersebut [5]. Dengan demikian, meminta persetujuan dari wanita gadis dalam hal ini dianggap sebagai sesuatu yang dianjurkan (mustahabb), namun tidak wajib. [6]
Pendapat kedua: Seorang gadis tidak boleh dinikahkan kecuali dengan persetujuannya, dan walinya tidak boleh memaksanya. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Al-Auza’i, Ats-Tsauri, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syekh Abdurrahman As-Sa’di, dan Syekh Ibnu Baaz rahimahumullah. [7]
Mereka berdalil dengan hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas (hadis pertama). Sisi pendalilannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jelas-jelas melarang menikahkan gadis tanpa izinnya. Jika izinnya tidak dianggap, maka tidak ada alasan untuk menjadikannya sebagai syarat dalam pernikahannya.
Mereka juga berdalil dengan hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ketika seorang wanita yang masih gadis datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengungkapkan bahwa ayahnya telah menikahkannya, sementara dia tidak menyukainya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian memberikan pilihan kepadanya (hadis keempat).
Mereka juga berdalil dengan dalil akal (rasional) bahwa menikahkan seorang gadis ketika dia tidak rida itu bertentangan dengan prinsip-prinsip ushul (kaidah pokok dalam agama) dan akal sehat. Jika walinya tidak boleh memaksanya untuk menjual, menyewakan, atau membeli sesuatu tanpa izinnya, dan tidak boleh pula memaksanya untuk makan, minum, atau mengenakan pakaian yang tidak diinginkannya, maka bagaimana mungkin wali boleh memaksanya untuk berhubungan intim dan hidup dengan seseorang yang tidak wanita tersebut inginkan? Allah Ta’ala telah menetapkan bahwa di antara suami istri harus ada rasa kasih sayang. Jika hal ini ditempuh melalui pemaksaan, maka yang terjadi adalah munculnya kebencian dan tidak suka dari pihak wanita. Lalu, apa yang bisa disebut sebagai kasih sayang dalam keadaan tersebut? [8]
Para ulama telah sepakat bahwa akad yang dilakukan dengan paksaan, seperti jual beli, sewa menyewa, dan lainnya, adalah batal (tidak sah). Oleh karena itu, pendapat yang membolehkan menikahkan wanita gadis tanpa persetujuannya bertentangan dengan prinsip umum yang telah ditetapkan oleh syariat dan juga telah diakui oleh para ulama. [9]
Pendapat yang lebih tepat: Pendapat yang lebih tepat adalah pendapat kedua, karena dalil-dalilnya yang lebih kuat. Alasan lainnya, membedakan antara wanita janda (yang tidak boleh dipaksa) dan wanita yang masih gadis (yang boleh dipaksa) adalah membedakan dua hal yang seharusnya sama, sehingga tidak sesuai dengan qiyas. Hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu (hadis pertama) adalah teks eksplisit, sehingga lebih diutamakan daripada hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma (hadis kedua dan ketiga). Tidak ada perbedaan antara ayah dan wali lainnya dalam hal ini; ayahnya tidak boleh memaksanya untuk menikah dengan seseorang yang tidak dia inginkan.
Namun, jika seorang wanita ingin menikah dengan seseorang yang tidak pantas (tidak sekufu), walinya berhak untuk mencegahnya, karena ini adalah bagian dari wewenang wali dalam pernikahan. Keluarga harus saling berkonsultasi mengenai pernikahan anak perempuan mereka, dan ini memiliki banyak manfaat dan kebaikan.
Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. [10]
Baca juga: Budak Hanya Boleh Menikah dengan Seizin Tuannya
***
@10 Rabiul awal 1446/ 14 September 2024
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel Muslimah.or.id
Catatan kaki:
[1] Al-Mufhim, 4: 118.
[2] Al-Fataawa, 32: 29-39.
[3] Ahkaamuz Zawaaj, hal. 143.
[4] Bidayatul Mujtahid, 3: 15; Mughni Al-Muhtaj, 3: 149.
[5] Maksudnya, kalau wali dari wanita janda, maka harus meminta ijin (tidak boleh memaksa); sedangkan wali dari wanita gadis, maka tidak perlu meminta ijin.
[6] Syarh Az-Zarkasyi ‘ala Mukhtashar Al-Khiraqi, 5: 80.
[7] Al-Hidayah, 1: 196; Al-Mughni, 9: 399; Al-Fataawa, 32: 40, 52; Mukhtashar Tahdzib As-Sunan, 3: 40-42; Al-Mukhtarat Al-Jaliyah, hal. 103; Fataawa Ibnu Baaz, 20: 409-415.
[8] Al-Fataawa, 32: 25.
[9] Ahkaamuz Zawaaj, hal. 146.
[10] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 231-237). Kutipan-kutipan dalam hadis di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.