Teks Hadis
Diriwayatkan dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَيُّمَا عَبْدٍ تَزَوَّجَ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهِ، فَهُوَ عَاهِرٌ
“Siapa pun budak yang menikah tanpa seizin tuannya, maka ia adalah pezina.” (HR. Ahmad, 22: 122; Abu Dawud no. 2078; At-Tirmidzi no. 1111, 1112. Dinilai hasan oleh Al-Albani)
Kandungan Hadis
Kandungan pertama
Budak dianggap lebih rendah daripada orang-orang merdeka, di antaranya adalah bahwa budak itu tidak memiliki harta. Jika budak diberikan harta, maka harta tersebut menjadi milik tuannya. Karena nikah adalah akad yang memiliki konsekuensi keuangan seperti mahar dan nafkah, maka urusan pernikahan budak diserahkan kepada tuannya.
Kandungan kedua
Para ulama berdalil dengan hadis ini bahwa seorang budak tidak boleh menikah kecuali dengan seizin pemilik atau tuannya. Jika budak tersebut menikah tanpa izin tuannya, maka pernikahan tersebut dinilai batil (tidak sah). Budak itupun dihukumi sebagai pezina. Yang dimaksud dengan,
عَاهِر
dalam hadis di atas adalah,
الزَّانِي
yaitu, pezina, bentuk jamaknya adalah (عُهَّار) (‘uhhaar), yang merujuk pada laki-laki yang melakukan zina. Adapun seorang wanita yang berzina disebut ‘aahirah (عاهرة), bentuk jamaknya adalah (عواهر) atau (عاهرات) (‘awaahir atau ‘aahiraat).
Batilnya pernikahan budak tanpa izin tuannya adalah karena diri budak tersebut di bawah penguasaan atau kepemilikan tuannya. Jika dia tersibukkan menunaikan hak-hak pasangannya, maka dia tidak akan mampu melayani tuannya dengan baik. Padahal, ketika sudah menikah, budak tersebut tentunya memiliki kewajiban-kewajiban yang harus dia tunaikan untuk pasangannya, seperti memberikan nafkah untuk istri, dan semacam itu.
Kandungan ketiga
Karena akadnya rusak (fasid), maka harus dibatalkan dan dilakukan pemisahan antara budak tersebut dengan wanita yang dinikahinya. Ibnu Hibban meriwayatkan secara mauquf bahwa Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu menemukan budaknya menikah tanpa izin darinya. Lalu beliau pun memisahkan keduanya, membatalkan akadnya, dan mencambuknya sebagai hukuman had. Ini karena dalam hadis di atas disebutkan bahwa ia adalah ‘aahir (pelaku zina).
Kandungan keempat
Mayoritas ulama tidak menjatuhkan hukuman had pada budak jika dia tidak mengetahui bahwa tindakan tersebut haram, dan mereka juga menyatakan bahwa anak yang lahir dari pernikahan tersebut dianggap sah karena dianggap sebagai perbuatan syubhat (tidak jelas keharamannya).
Kandungan kelima
Dalam Syarh Al-Iqna’ disebutkan bahwa tuan memiliki hak untuk memaksa budak kecilnya menikah, karena ia memiliki kewenangan penuh atas budak tersebut. Namun, tuan tidak memiliki hak untuk memaksa budak dewasa yang berakal menikah. Hal ini karena budak tersebut adalah orang yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan memiliki hak untuk menceraikan, sehingga dia tidak dapat dipaksa menikah seperti orang merdeka. Pernikahan adalah hak dan manfaat khusus untuk dirinya sendiri, maka ia tidak boleh dipaksa untuk menikah, kecuali jika ia sendiri yang menginginkannya. (Dikutip dari Taudhihul Ahkam, 5: 282)
Wallahu Ta’ala a’lam.
Baca juga: Menikah dengan Wanita Penyayang dan Banyak Anak
***
@22 Shafar 1446/ 28 Agustus 2024
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslimah.or.id
Catatan kaki:
Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 249) dan Taudhiihul Ahkam min Buluughil Maraam (5: 281-282).