Teks Hadis
Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُ بِالْبَاءَةِ، وَيَنْهَى عَنِ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيدًا، وَيَقُولُ: تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ، إِنِّي مُكَاثِرٌ الْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kita untuk menikah dan melarang dari hidup membujang (tabattul) dengan larangan yang keras. Beliau bersabda, “Menikahlah dengan wanita yang al-wadud (penyayang) dan al-walud (subur atau banyak anak). Karena sesungguhnya aku akan membanggakan diri dengan sebab (banyaknya jumlah) kalian di depan para Nabi pada hari kiamat.” (HR. Ahmad, dinilai sahih oleh Ibnu Hibban.)
Kandungan Hadis
Kandungan pertama
Yang dimaksud dengan al-wadud adalah wanita yang sangat mencintai dan menyayangi suaminya. Dia juga dicintai oleh suaminya karena memiliki banyak kebaikan dan akhlak yang mulia. Wanita yang memiliki sifat al-wadud menunjukkan bahwa dia memiliki sifat dan karakter yang baik dan mulia. Sifat tersebut akan menghalanginya dari mengumbar pandangan kepada laki-laki lainnya, dan akan mendorongnya untuk sangat memperhatikan kebutuhan-kebutuhan suaminya. Sehingga, sang suami pun dapat lebih menjaga pandangan dan kemaluannya. Dengan demikian, sifat tersebut memiliki kebaikan (maslahat) yang banyak.
Adapun al-walud adalah wanita yang mempunyai banyak anak (alias wanita yang subur). Hal ini pada umumnya diketahui melalui keadaan ibu dan kerabatnya yang lain, apakah memiliki banyak anak keturunan ataukah tidak. Hal ini karena sifat tersebut sangat mungkin terwariskan.
Dalam hadis tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggabungkan antara dua sifat tersebut. Karena jika hanya memiliki sifat al-walud, tanpa al-wadud, maka tidaklah dimotivasi untuk menikah dengannya. Demikian pula, jika hanya memiliki sifat al-wadud, tanpa al-walud, maka tujuan yang Nabi sebutkan tidak akan tercapai, yaitu membanggakan diri dengan sebab banyaknya umat beliau shallallahu ‘alaihi wasallam di hadapan para Nabi dan umat terdahulu pada hari kiamat.
Kandungan kedua
Di dalam hadis ini, terkandung motivasi untuk menikah, karena di dalamnya terkandung maslahat (kebaikan) yang besar. Di antara maslahat tersebut adalah memperoleh keturunan, jumlah umat muslim menjadi banyak, dan juga tercapainya keinginan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berbangga diri di hadapan para Nabi dan umat-umat terdahulu pada hari kiamat. Selain itu, juga terwujudnya anak dan keturunan yang merupakan penyejuk hati dan penenteram jiwa.
Allah Ta’ala berfirman,
وَاللّهُ جَعَلَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً وَجَعَلَ لَكُم مِّنْ أَزْوَاجِكُم بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ
“Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rizki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?” (QS. An-Nahl: 72)
Kandungan ketiga
Hadis ini merupakan dalil larangan tabattul (tidak menikah atau hidup membujang) bagi orang yang memiliki kemampuan untuk menikah, dengan niat untuk menyibukkan diri dalam beribadah atau menuntut ilmu agama (thalabul ‘ilmi), atau niat-niat semacam itu. Larangan ini menunjukkan konsekuensi hukum haram. Oleh karena itu, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
وَيَنْهَى عَنِ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيدًا
“ … dan melarang dari hidup membujang (tabattul) dengan larangan yang keras.”
Hidup membujang tidaklah termasuk dalam sunah para Rasul. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجاً وَذُرِّيَّةً
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (QS. Ar-Ra’d: 38)
Hidup membujang juga bertentangan dengan iradah kauniyah Allah Ta’ala, karena Allah Ta’ala menghendaki dimakmurkannya alam semesta ini, dan hal itu tidak mungkin tercapai kecuali dengan menjaga keturunan manusia. Sedangkan menjaga keturunan tidaklah bisa diperoleh kecuali melalui jalan menikah. Selain itu, tidak menikah dengan alasan untuk sibuk beribadah atau belajar agama adalah bentuk kerahiban. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggandengkan antara perintah untuk menikah dengan larangan kerahiban dalam hadis dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
تَزَوَّجُوا ، فإِنِّي مُكَاثِرٌ بكم الأمم يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، ولاتكونوا كرهبانية النصارى
“Menikahlah kalian, karena sesungguhnya aku akan membanggakan diri dengan sebab (banyaknya jumlah) kalian di depan umat terdahulu pada hari kiamat. Dan janganlah kalian (menjalani) kerahiban sebagaimana kerahiban kaum Nasrani.” (HR. Al-Baihaqi 7: 78. Dinilai hasan oleh Al-Albani dengan jalur penguatnya di Ash-Shahihah, 4: 385)
Kandungan keempat
Hadis ini merupakan salah satu dalil yang berkaitan dengan pembahasan hukum keluarga berencana (KB). Akan tetapi, pembahasan tentang hukum tersebut membutuhkan rincian tersendiri dan tidak tercakup dalam tulisan ini. Wallahu Ta’ala a’lam.
Baca juga: Menikahlah, Engkau Akan Dapatkan Semua Keutamaan Ini!
***
@BA, 5 Zulkaidah 1445/ 13 Mei 2024
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel Muslimah.or.id
Catatan kaki:
Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 180-183).