Kelima, syariat melarang kita untuk meminta-minta kepada orang lain kecuali darurat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ
“Barangsiapa meminta-minta kepada orang lain dengan tujuan untuk memperbanyak kekayaannya, sesungguhnya ia telah meminta bara api; terserah kepadanya, apakah ia akan mengumpulkan sedikit atau memperbanyaknya” (HR. Muslim no. 1041).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
إِنْ الْمَسْأَلَةَ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ إِلَّا أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِي أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ
“Sesungguhnya, meminta-minta itu adalah topeng yang dikenakan seseorang pada dirinya sendiri, kecuali bila seseorang meminta kepada penguasa atau karena keadaan yang sangat memaksa” (HR. At-Tirmidzi no. 681, ia berkata: “hasan shahih”).
Maka tidak boleh seorang penuntut ilmu meninggalkan bekerja dan mencari nafkah kemudian ia meminta-minta kepada orang lain dan mengharapkan bantuan kepada orang lain.
Keenam, bolehnya seseorang untuk meninggalkan bekerja dan fokus menuntut ilmu syaratnya dua:
1. Ia benar-benar orang yang fokus menuntut ilmu atau mengajarkannya, bukan sambilan atau paruh waktu.
2. Ada orang yang menafkahinya tanpa ia harus meminta-minta.
Inilah kasus yang ada dalam hadits di atas.
Ibnu Muflih rahimahullah mengatakan,
مثل المحب للعلم مثل العاشق ، فإن العاشق يهتم بمعشوقه ، ويهيم به ، وكذلك المحب للعلم ، فكما أن العاشق يبيع أملاكه ، وينفقها على معشوقه فيفتقر كذلك محب العلم فإنه يستغرق في طلبه العمر فيذهب ماله ، ولا يتفرغ للكسب
“Permisalan orang yang mencintai ilmu adalah seperti orang yang sedang jatuh cinta. Karena orang yang jatuh cinta akan bersemangat untuk sibuk dengan yang dicintainya. Demikianlah orang yang mencintai ilmu. Sebagaimana orang yang jatuh cinta bersedia menjual seluruh hartanya demi menafkahi yang dicintainya bahkan sampai ia miskin. Demikian juga orang yang mencintai ilmu, ia menghabiskan umurnya untuk tenggelam dalam ilmu, sampai-sampai hilang hartanya, dan tidak sempat lagi untuk bekerja”.
Beliau juga mengatakan,
وقد كان للعلماء قديما حظ من بيت المال يغنيهم ، وكان فيهم من يعيش في ظل سلطان كأبي عبيد مع ابن طاهر ، والزجاج مع ابن وهب ، ثم كان للعلماء من يراعيهم من الإخوان
“Dan terkadang pada ulama zaman dahulu mereka mendapatkan gaji dari Baitul Mal yang mencukupi mereka. Sebagian mereka ada yang dinafkahi orang lain atas perintah pemerintah seperti Abu Ubaid yang dinafkahi oleh Abu Thahir, juga seperti Az Zujaj yang dinafkahi oleh Ibnu Wahb. Kemudian sebagian ulama juga ada yang dinafkahi oleh saudaranya” (Al Adabus Syar’iyyah, 1/238)
Syaikh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al Abbad hafizhahullah menjelaskan:
فطالب العلم إذا ساعده من عنده المال أتاها فرصة ليزداد في الطلب و التحصيل إذا لم يجد طالب العلم كفايته
“Maka para penuntut ilmu jika ada orang yang punya harta bermaksud untuk membantunya, maka hendaknya ia ambil kesempatan tersebut. Sehingga ia bisa terus menambah ilmunya, jika memang ia tidak memiliki kecukupan (untuk memenuhi kebutuhan hidup)” (Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=Ee-X6a8vrXg).
Ini juga yang dipahami oleh Dewan Fatwa Islamweb, mereka mengatakan:
وبناءً على ذلك، فإنه لا مانع مما يفعله الشخص المذكور ما دام الذي يأتيه كافياً لسد حاجته وحاجة من تلزمه نفقته
“Berdasarkan penjelasan di atas, maka tidak mengapa seorang penuntut ilmu yang disebutkan di atas meninggalkan bekerja jika memang ada orang yang mencukupi kebutuhannya dan ada orang yang menanggung nafkahnya” (Fatwa Islamweb nomor 21790).
Kesimpulannya, penuntut ilmu jika memiliki banyak harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya dan keluarganya, tidak mengapa ia meninggalkan aktifitas bekerja dan fokus dengan ilmu. Demikian juga, jika ada orang lain yang berkomitmen untuk memenuhi kebutuhannya dan keluarganya.
Namun jika kondisinya tidak demikian, tidak boleh ia meninggalkan bekerja mencari nafkah, lalu kemudian meminta-minta kepada manusia dan mengharapkan apa yang ada di tangan orang lain.
Wallahu a’lam.
***
Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslimah.or.id
Subhanallah,