Teks Hadis
Dari Judamah binti Wahb radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَنْهَى عَنِ الْغِيلَةِ، حَتَّى ذَكَرْتُ أَنَّ الرُّومَ وَفَارِسَ يَصْنَعُونَ ذَلِكَ، فَلَا يَضُرُّ أَوْلَادَهُمْ
“Sesungguhnya saya bertekad untuk melarang “al-ghilah”. Akan tetapi, saya perhatikan orang-orang Romawi dan Persia melakukan “al-ghilah”, namun hal itu tidak membahayakan anak-anak mereka.” (HR. Muslim no. 1442)
Kandungan Hadis
Kandungan pertama
Apa yang dimaksud dengan “al-ghilah”? Yang dimaksud dengan “al-ghilah” adalah suami yang tetap menyetubuhi istri saat sang istri berada dalam periode menyusui anaknya; atau sang istri yang hamil lagi ketika masih menyusui anaknya (karena disetubuhi sang suami ketika masih dalam periode menyusui anak). Dalam bahasa Arab, akar kata dari al-ghilah menunjukkan makna marabahaya (dharar) dan kebinasaan. Disebut al-ghilah karena praktek tersebut diyakini akan menyebabkan bahaya pada air susu ibu (ASI) akibat dari pencampuran air mani dari suami saat menyetubuhi sang istri. Sehingga hal itu akan menyebabkan bahaya pada anak yang masih minum ASI. Atau jika istri hamil lagi akibat persetubuhan tersebut, hal itu akan menyebabkan anak yang sedang dikandung menjadi cacat akibat terkena air mani. Ini di antara keyakinan yang dianut oleh masyarakat jahiliyah jaman dulu.
Kandungan kedua
Hadis ini menunjukkan bolehnya seorang suami menyetubuhi istri ketika istri sedang dalam periode menyusui anaknya atau sedang hamil. Tidak ada bahaya (dampak negatif) sebagai akibat dari perbuatan tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam awalnya memiliki tekad untuk melarang praktek al-ghilah, karena perbuatan itu termasuk perbuatan yang dibenci oleh masyarakat pada umumnya ketika itu. Banyak di antara mereka yang menyebutkan bahaya dari perbuatan tersebut.
Akan tetapi, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak jadi melarang perbuatan al-ghilah. Hal ini karena beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melihat praktek masyarakat Persia dan Romawi yang ternyata melakukan al-ghilah. Padahal, kaum Persia dan Romawi itu fisiknya kuat dan anaknya juga banyak. Hal ini menunjukkan bahwa al-ghilah itu tidak terbukti membahayakan mereka, alias sekedar mitos orang Arab ketika itu. Sehingga hal itu menunjukkan bahwa harusnya dampaknya pun sama terhadap orang Arab, yaitu sama-sama tidak berbahaya.
Dari sahabat Sa’d bin Abu Waqash radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan bahwa seorang laki-laki datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata,
إِنِّي أَعْزِلُ عَنِ امْرَأَتِي
“Sesungguhnya saya telah melakukan ‘azl terhadap istriku (yang sedang menyusui).”
Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya,
لِمَ تَفْعَلُ ذَلِكَ؟
“Mengapa kamu lakukan hal itu?”
Laki-laki tersebut menjawab,
أُشْفِقُ عَلَى وَلَدِهَا، أَوْ عَلَى أَوْلَادِهَا
“Saya kasihan terhadap anaknya atau anak-anaknya (maksudnya, khawatir jika anaknya menjadi cacat).”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَوْ كَانَ ذَلِكَ ضَارًّا ضَرَّ فَارِسَ وَالرُّومَ
“Seandainya hal itu membahayakan, niscaya telah membahayakan orang-orang Persia dan Romawi.” (HR. Muslim no. 1443)
Kandungan ketiga
Dalam hadis ini terdapat dalil bolehnya berdalil dengan perbuatan (praktek) orang-orang non-muslim dalam perkara-perkara duniawi atau adat kebiasaan. Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengambil manfaat dari praktek orang-orang Romawi dan Persia terkait masalah kesehatan. Sehingga tidak masalah (boleh) apabila kita mengambil manfaat (belajar) dari praktek pengobatan atau praktek kesehatan orang-orang non-muslim ketika memang terbukti suatu perkara itu membahayakan atau bermanfaat untuk kesehatan. Atau, kita mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan mereka bahwa perkara tertentu itu membahayakan kesehatan sehingga harus dijauhi. Jika kita tahu mereka melakukan suatu praktek tertentu, dan terbukti tidak menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan, maka tidak masalah jika kita mengikuti praktek mereka.
Demikian pula dalam perkara-perkara duniawi yang lainnya. Misalnya, ketika mereka memiliki ilmu pengetahuan tentang industri yang bermanfaat untuk masyarakat kaum muslimin, maka tidak masalah jika kita belajar dari mereka. Hal ini tidak termasuk dalam tasyabbuh yang terlarang. Wallahu Ta’ala a’lam.
Baca juga: Menikah dengan Wanita Penyayang dan Banyak Anak
***
@BA, 22 Zulkaidah 1445/ 31 Mei 2024
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslimah.or.id
Catatan kaki:
Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 358-361).